Lovenduski mengatakan bahwa yang menjadi pembeda dalam masalah-masalah perwakilan politik kurang jelas dibanding di bidang-bidang advokasi perempuan lain. Ini disebabkan oleh tatanan perwakilan politik yang berkembang melalui kompromi dan kesepakatan, di mana ide-ide dan hak-hak saling tumpang tindih dan definisi-definisi asli dikaburkan.
Pengaruh yang berbeda-beda dari kedua dasar feminis kadang-kadang dianggap tegas. Bagi banyak pengkritik sikap kesetaraan menyarankan bahwa klaim-klaim perempuan untuk perwakilan politik bila berhasil, akan mengubah mereka menjadi laki-laki politik.
Sebaliknya sikap perbedaan memuat akibat bahwa, dalam jumlah yang cukup kehadiran para wakil perempuan akan mengubah praktik dan hakikat politik. Di satu pihak, sesuai dengan argumen-argumen perbedaan para feminis menentang pemisahan antara kehidupan publik dan privat, sekurang-kurangnya dalam teori, yang merupakan batas antara politik dan kegiatan-kegiatan lain.[1]
Baca Juga: Kesetaraan Gender terhadap Kaum Perempuan
Selanjutnya dapatlah dilihat bahwa dalam argumen yang pertama, perwakilan politik perempuan mengharuskan runtuhnya pemisahan antara yang publik dan privat, itu terjadi karena munculnya perubahan dalam kelembagaan.
Sedangkan menurut argumen yang kedua, klaim-klaim atas perwakilan perempuan dipenuhi oleh keterlibatan jumlah perempuan yang memadai dalam lembaga-lembaga yang sudah ada. Kehadiran yang melibatkan penerimaan akan peraturan permainan yang sudah ada, dituntut bila peraturan yang baru harus dibuat.
Kesetaraan diperlukan bila perbedaan harus dikompensasi dan perbedaan harus diakui bila kesetaraan harus dicapai. Elizabeth Frazer mengemukakan bahwa:
“Konsepsi gender, baik yang implisit maupun eksplisit, dalam pelbagai sistem pemikiran itu bukanlah unsur kebetulan, melainkan unsur yang penting, dan bukan pula unsur yang tidak bermakna. Seluruh analisis bersifat preskriptif (analisis itu mengemukakan gagasan sistematis tentang bagaimana masyarakat seharusnya diatur). Namun demikian gagasan-gagasan itu merasuk (walaupun secara tidak sempurna) ke dalam konstitusi, sistem hukum, dan lembaga-lembaga sosial politik lainnya, serta ke dalam budaya populer di masyarakat. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa gagasan-gasan itu bersifat konstitutif.”[2]
Sehingga pembentukan teori politik feminis harus memperhitungkan fenomena sosial yang berada di luar ruang lingkup negara dan sistem politik tradisional. “Hidup” dan “tradisi” sangat penting karena sering merongrong kepentingan perempuan.
Secara khusus, nilai-nilai di jantung hubungan seksual tradisional sangat penting. Ada cara untuk melakukan hal-hal yang biasa bukan hanya nilai dan ide. Feminis memusatkan perhatian pada posisi perempuan di pasar tenaga kerja dan perumahan, yang kita lihat dalam konteks posisi perempuan di “dunia domestik”.
Elizabeth Fraser secara aktif menunjukkan bahwa teori politik feminis mencakup peristiwa dan perubahan dalam pemerintah negara bagian dan kebijakan pemerintah, perubahan legislatif, pemodelan dan penelitian empiris tentang hubungan dengan hubungan sosial.
Penulis: Muhammad Al Chudry (2010832007)
Mata Kuliah: Perempuan dan Politik
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas
Editor: Ika Ayuni Lestari
[1] Ibid., 62.
[2] Stevi Jackson & Jackie Jones (ed)., Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra,
1998), 91.