Bayangkan seorang ibu di Papua yang kehilangan anaknya karena konflik bersenjata, atau mahasiswa yang dipukuli aparat yang seharusnya mengayomi saat menyuarakan aspirasi di depan gedung parlemen. Mereka bukan seorang kriminal, hanya rakyat biasa yang ingin meluruskan demokrasi negara.
Tapi mengapa mereka dibalas dengan kekerasan? Apakah hal ini wajah negara yang berlandaskan “Kemanusiaan yang adil dan beradab”? Atau coba kita pikir baik-baik, apa gunanya Pancasila dipajang di setiap ruang kelas dan kantor pemerintahan kalau yang melanggar etika Pancasila tersebut adalah jajaran orang yang seharusnya menjadi teladan?
Tahun demi tahun, laporan kekerasan yang dilakukan aparat terus bertambah, di sisi lain, korupsi yang dilakukan pejabat tetap menjadi “momok” yang sulit dihilangkan. Semua ini terjadi di negeri yang katanya adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, masihkah nilai etika Pancasila masih ada di Indonesia pada masa kini?
Pancasila bukan hanya dasar negara semata, namun Pancasila juga merupakan moral kompas dan etika yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kandungan nilai-nilai yang ada di dalamnya, seperti keadilan, kemanusiaan, musyawarah, dan ketuhanan, semestinya bisa menjadi pegangan utama dalam setiap dalam setiap policy maupun perilaku pejabat publik. Namun kenyataan yang ada di lapangan tidak mencerminkan sama sekali nilai-nilai tersebut.
Pemerintahan negara kita saat ini masih menghadapi dan akan menghadapi banyak tantangan, terutama dalam menjunjung dan pengimplementasian nilai etika moral Pancasila. Mulai dari korupsi yang merajalela dan merugikan triliunan Rupiah, politik uang, hingga kebrutalan aparat yang mengikis rasa keadilan masyarakat.
Mungkin ini bisa menjadi salah satu contoh dari pencorengan nama baik Pancasila adalah kasus korupsi di tubuh Pertamina, khususnya dalam pengelolaan minyak mentah dan impor BBM. Kasus korupsi yang merugikan negara sebanyak triliunan rupiah.
Ketika harga minyak melonjak dan masyarakat harus menanggung beban ekonomi yang makin berat, justru ada oknum yang ada dalam tubuh BUMN yang mengambil keuntungan pribadi dari sektor yang seharusnya menopang hajat hidup orang banyak.
Tindakan ini jelas sangat bertentangan dengan sila kedua, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta kelima tentang “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Di sisi lain, praktik politik uang, nepotisme, dan kurangnya transparansi juga memperlihatkan bagaimana sila keempat tentang “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan” semakin jauh dari kenyataan. Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa meski Pancasila sering digunakan, implementasikan masih sangat lemah.
Namun, yang tak kalah mengkhawatirkan adalah kebrutalan aparat negara. Beberapa tahun terakhir, masyarakat sering menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh aparat, baik dari kepolisian maupun militer, terhadap warga sipil.
Misalnya, dalam menangani unjuk rasa, banyak video dan laporan yang menunjukan tindakan represif aparat terhadap demonstran, bahkan yang berunjuk rasa secara damai.
Di Papua, konflik antara aparat dan masyarakat sipil seringkali memakan korban jiwa, dan belum banyak dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial yang terkandung dalam sila kedua dan kelima.
Penanganan aparat yang represif juga menjadi cermin bahwa negara belum sepenuhnya bertransformasi menjadi pelindung warga, tetapi kadang justru menjadi ancaman bagi hak-hak sipil.
Kritik terhadap kebrutalan aparat ini bukan berarti membenci institusinya. Justru sebaliknya, kritik adalah bentuk kepedulian agar institusi negara menjalankan tugasnya dengan benar. Kita tidak ingin aparat menjadi alat kekuasaan yang menekan suara rakyat.
Kita ingin mereka menjadi pelindung dan pengayom, seperti yang seharusnya tertulis dalam nilai-nilai Pancasila. Jika aparat negara mampu bersikap lebih humanis, menghargai hak asasi, dan mengedepankan dialog, maka kepercayaan masyarakat akan meningkat dengan sendirinya.
Masalahnya, mengapa hal-hal ini terus terjadi? Di satu sisi, ada yang bilang bahwa ini adalah warisan dari budaya kekuasaan Orde Baru yang represif. Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum juga membuat para pelaku kekerasan dan pelanggaran etika merasa aman.
Baca Juga: Maraknya Korupsi yang Terungkap dan Lunturnya Nilai Pancasila: Di mana Letak Sumber Permasalahannya?
Ketika aparat melakukan pelanggaran, seringkali proses hukumnya tertutup dan tidak transparan. Akibatnya, rasa keadilan masyarakat semakin terkikis. Budaya feodal dalam birokrasi juga memperkuat jarak antara rakyat dan penguasa, sehingga suara masyarakat sering kali diabaikan.
Selain itu, pendidikan etika dan moral di lingkungan birokrasi dan institusi negara belum menjadi prioritas utama. Padahal, etika bukan hanya pelajaran di kelas, tapi harus menjadi budaya dalam pengambilan keputusan. Banyak pejabat publik yang seolah lupa bahwa mereka digaji dari uang rakyat dan bekerja untuk kepentingan rakyat.
Ketika mereka menyalahgunakan jabatan, mereka bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mengkhianati nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila seharusnya hidup dalam setiap kebijakan, keputusan, dan tindakan negara, bukan hanya dihafal saat upacara bendera.
Jadi apa sih yang bisa jadi solusi pengembalian marwah Pancasila di tengah-tengah dilema pelanggaran etika-etikanya. Pertama, perlu adanya reformasi menyeluruh dalam pendidikan dan pelatihan aparat negara, termasuk TNI dan Polri.
Mereka harus dibekali bukan hanya dengan senjata dan kekuatan fisik saja, tetapi dengan nilai-nilai etika kemanusian, empati, dan pengendalian diri. Penguatan kurikulum etika dan HAM menjadi sangat penting agar tindakan mereka tidak lepas dari tanggung jawab moral.
Pelatihan ini juga harus dilakukan secara berkelanjutan dan diawasi secara ketat. Kedua, tumbuhkan kesadaran kepada rakyat Indonesia bahwa kita harus bisa mengawasi dan juga mengkritisi aparat dan pemerintah jika mulai melenceng dari nilai etika dari Pancasila.
Penulis:
1. Almay Filardho Candra Ahyadi
2. Muhammad Rafsyaa Rizki Ramadhan
3. Muhammad Rifqy Pramudya
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya
Aktif juga di Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya, Kementerian Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa & Kementerian Seni dan Olahraga dan Badan Eksekutif Mahasiswa Kementerian Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News