Revolusi Islam Sebagai Produk Politik

Indonesia merupakan negara yang mengakui adanya agama. Terbukti dari sila pertama dasar negara Indonesia, yakni Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Sebagai hal mendasar yang diakui oleh negara, agama menjadi aspek penting dalam arus laju negara Indonesia.

Di antara enam agama yang diakui di Indonesia, Islam adalah agama yang paling banyak dipeluk oleh warga negara Indonesia. Bahkan, Indonesia menjadi negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, melebihi Arab Saudi –negara asal agama Islam. Menurut statistik, lebih dari 80% warga negara Indonesia memeluk agama Islam, hal ini telah disuarakan sejak Orde Baru dan menunjukkan angka riil bahwa Indonesia adalah negara dengan warga negara mayoritas muslim. Namun, pada masa Orde Baru isu-isu mengenai Islam tidak berkembang pesat karena adanya larangan politik identitas islam –utamanya pada Partai Politik.

Tidak hanya di Indonesia, isu-isu mengenai agama –khususnya Islam juga berkembang di Eropa. David Levering Lewis dalam God’s Crucible: Islam and the Making of Europe menyatakan bahwa Barat dipandang sebagai penanggungjawab terupuruknya Islam di Asia Tenggara dan menjadi penyebab munculnya persoalan di Asia Tenggara. Hal ini didasari dengan anggapan bahwa penjajah –bangsa Eropa adalah kafir, kemudian penjajahan tidak hanya berlingkup pada pola fisik, melainkan penjajahan terhadap mental. Adanya ketidaksukaan terhadap apa yang dibawa bangsa Barat memunculkan Islam yang kemudian berevolusi menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan massa untuk melakukan perlawanan.

Bacaan Lainnya

Pada tahun elektoral 2019, berbagai isu-isu tentang Islam berkembang dengan buas. Menelisik dari tingginya angka pemeluk agama Islam di Indonesia,  Islam yang semula menjadi kekuatan untuk melawan hal-hal yang kontradiktif dengan rambu-rambu moral, berevolusi lagi menjadi sebuah komoditas politik. Contoh yang paling kasatmata adalah calon wakil presiden dari kubu 01 yang kini menjadi wakil presiden terpilih Indonesia, yakni Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin, beliau dengan titel Ketua Majelis Ulama Indonesia menjadi salah satu metode untuk mengamankan suara dari Nahdlatul Ulama (NU) yang berjumlah besar di Indonesia. Selain itu, bagaimana tes baca Al-Qur’an yang ditujukan pada Calon Presiden menjadi suatu polemik di masa kampanye, dan program-program yang mengusung kepentingan muslim sebagai penguat kampanye.

Tidak hanya dalam ranah politik, tanpa disadari, Islam telah menjadi titel untuk produk-produk dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Misalnya, Bank Syari’ah, produk-produk yang mengatasnamakan ‘halal’ dan mengikuti sunnah Rasulullah seperti kulkas dengan titel halal hingga pasta gigi.

Fenomena-fenomena pergerakan Islam juga menjadi suatu ‘produk’ baru-baru ini. Mengulik kembali aksi 22 Mei, sosok Amien Rais berkomentar dengan menggunakan Islam sebagai kekuatan untuk menggerakkan massa melalui opini-opininya, seperti mengatakan Polisi menembaki umat Islam seperti PKI, meminta pertanggungjawaban dengan mengatasnamakan umat Islam, dan yang paling mencengangkan bagi penulis adalah beredarnya poster dengan judulIfhtor Akbar 21-22 Mei” dengan setlist kegiatan berupa peringatan Nuzulul Qur’an, Perang Badar, Fathu Makkah dan diiringi dengan tagar provokatif, yakni #KedaulatanRakyatvsRezimPenghianat. Ada pula tagar yang membuat penulis sedikit memicingkan mata, tagar tersebut memuncaki peringkat Trending di Twitter, menyebut bahwa ‘aksi’ 22 Mei adalah bentuk “mewakili rakyat”

Pertanyaan penulis, siapa yang diwakili?

Tidak mengherankan apabila terjadi pembatasan akses sosial media. Hal tersebut berguna untuk membatasi hoaks yang mungkin beredar, bahkan dapat memprovokasi rakyat dengan narasi-narasi sok revolusioner yang membonceng isu-isu tentang agama. Walaupun pada faktanya, banyak pihak yang dirugikan dengan adanya hal tersebut dan tidak menutup kemungkinan akan diadakan kembali putusan seperti itu.

Agama sebagai isu yang sensitif, melebihi sensitivitas isu suku, ras, dan kelas sosial menjadi pemantik ampuh untuk menggerakkan massa. Hal ini disadari maupun tidak disadari telah berkembang di Indonesia, khususnya pada tahun politik elektoral 2019. Sebagaimana dapat ditelaah dari ucapan Amien Rais yang menggunakan penggunaan Islam sebagai produk persenjataan politiknya, yaitu, “…polisi-polisi yang berbau PKI menembaki umat Islam secara ugal-ugalan,” dan “Saya atas nama umat Islam meminta pertanggungjawabanmu.”.

Jika sosok tersebut mengutamakan kepentingan rakyat, maka dirinya tidak perlu mengatasnamakan agama. Korban tertembak dapat disebut sebagai ‘warga yang tertembak’ dan tidak perlu menggunakan ‘umat Islam’ sebagai pemantik, terlebih menyinggung perkara sensitif seperti PKI yang dapat memicu banyak gerakan-gerakan yang mengancam persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.

Selain itu, tidak dibenarkan adanya penggunaan narasi yang mengusung satu agama saja ketika di Indonesia ada 6 agama yang diakui. Apapun tujuan dari kegiatan yang dilakukan, tidak benar bahwa mencampurkan agama untuk mencapai tujuan yang diinginkan, mengingat sensitivitas isu agama dan besarnya jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia. Kedaulatan memang berada di tangan rakyat, tetapi hak-hak minoritas perlu diperhatikan, dan tidak benar bila agam dijadikan suatu ‘produk’ untuk memantik pendukung.

Dyah Ajeng Putri Auralia
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta

Baca juga:
Devide et Impera; Islam Tersekat, Indonesia Darurat
Islam dan Negara: Kegamangan Pemerintahan Era Jokowi dalam Menjaga Dinamisasi Kehidupan Politik di Indonesia
Kebangkitan Dunia Islam, Pesan Politik Kunjungan Raja Salman ke Indonesia

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI