Pada bentala, binar arunika menyorot. Pendarnya menyebar ke pelosok. Laksana lukisan niskala, bedanya ini nampak kasat pada netra, amat raya, selesa.
Kehidupan seorang wanodya, bermastatuin di desa aksa akan ingar-bingar. Diapit dua jenggala di timur dan baratnya.
Ia istimewa, unik dengan kepribadiannya. Ciri fisiknya keturunan dari sang umma. Kulit gelap dengan rambut ikal. Acap temannya mencela hanya karenanya. Ia dirundung di sekolah, hanya guru yang memperlakukan dengan semestinya.
Baca Juga: Menjadi Seorang Ibu Rumah Tangga, Mahasiswa dan Penulis Cerpen Antologi. Kok Bisa?
Semua guru menyayangi Tisa, tak jarang para guru memuji Tisa lantaran prestasinya. Tisa memiliki kemampuan menghafal lebih besar dibanding murid lain, daya ingatnya tinggi. Sebab itu ia lebih cepat menguasai pelajaran.
Tisa yang dikenal trengginas. Memilih untuk melanjutkan sekolah di SMK. Kendati jarak dari rumah yang terbilang tidak dekat, tetap ia tempuh demi rengkuh cita. Besar tekad Tisa, Tisa sadar ini mesti disertai dedikasi tinggi. Tak sekadar karsa tanpa usaha.
Farhan, ketua geng sekaligus ketua kelas X TAB 1. Beranggotakan Tio dan Adi, mereka bertiga yang selalu merundung Tisa di kelas. Seluruh murid di kelas adalah laki-laki, kecuali Tisa. Karena memang jarang ada perempuan yang memilih jurusan Teknik Alat Berat.
Teman sekelas Tisa yang lain tau akan perundungan itu, namun mereka bersikap acuh dan memilih bungkam, tidak melawan. Tidak ada yang berani membela Tisa karena Farhan tandingan nantinya.
Pagi hari di sekolah. Hari ini Jumat, masuk jam pelajaran pertama Matematika. Datang Bu Sifa memberi soal trigonometri sebagai latihan menghadapi ujian Senin depan.
“Silahkan yang bisa menjawab maju ke depan tulis di papan,” ujar Bu Sifa.
Akhirnya Tisa maju mengerjakan soal itu dengan lancar dan jawabannya benar. Matematika memang ia jagonya.
“Benar, hebat Tisa memang pintar,” puji Bu Sifa.
“Terima kasih Bu,” jawab Tisa senang.
Mendengar pujian yang dilontarkan Bu Sifa kepada Tisa. Semakin membara rasa iri ingin menyaingi dalam hati Farhan. Farhan memutar otak berusaha memecahkan soal kedua, namun tetap ia tak bisa.
Karena tidak ada lagi yang mau maju selain Tisa, sisa soalnya dikerjakan bersama. Di akhir jam pelajaran, Bu Sifa menyampaikan pesan bahwa Bu Dina sedang rapat dan menitipkan tugas yang harus dikumpulkan besok sebagai salah satu syarat diperbolehkan mengikuti PAS (Penilaian Akhir Semester) pada semester genap ini.
Baca Juga: Lewat Minat dan Hobi, ini Kisah Inspiratif Rega Agistilava
Kebetulan Bu Dina tengah pergi, trio pem-bully beraksi. Farhan menyerut pensil hingga didapat ujungnya sangat lancip. Langsung dilambungkan pensil itu dan mendarat tepat di kepala Tisa. Bak jarum terkena kulit, Tisa tak berkutik meski sedikit sakit. Tabah menghadapi ulah bocah tengik. Kekacauan yang diperbuat merendahkan tabiat.
Tisa diam saja tidak melapor pada guru yang ada. Selagi masih begini Tisa memilih tak peduli, fokus demi gapai mimpi. Sabar membiarkan, ikhlas tanpa membalas. Jangankan memberi balas lebih keras, ia hanya menerima. Bukannya tak berdaya, memang ia tak punya karsa guna menghina tindak semena-mena yang menimpa dirinya.
Seperti biasa di mana lagi kalau bukan di situ. Ruang jitu yang penuh ribuan buku. Cukup untuk Tisa menjauh dari riuh gaduh, lalu justru mengindahkan waktu berburu ilmu baru.
Petugas perpustakaan bertanya, “Mengapa Tisa tidak bermain dengan temannya yang lain? Yang lain selalu berkumpul bersama ketika tiba jam istirahat.”
Tisa menjawab, “Tidak apa-apa Pak, saya lebih suka menghabiskan waktu istirahat dengan membaca buku di perpustakaan. Saya juga kerap membawa bekal makanan dari rumah. Sebab itu saya jarang ke kantin sekolah.”
Dibarengi senyum tipis. Perutnya berkelik. Terdengar geriak-geriuk. Sesungguhnya semua hanya simulakra belaka. Berkedok menambah ilmu, sebenarnya tujuan asli bukan hanya itu. Ada kebenaran di balik kebenaran yang dihadirkan.
Usai pulang sekolah hanya Tisa yang bertugas piket di kelas. Semua siswa melimpahkan tanggungannya pada Tisa. Tisa menjalani rutinitas seperti ini setiap hari, tanpa ada yang mau mengulurkan tangan.
Setiap pergantian mata pelajaran juga Tisa yang akan membersihkan papan tulis. Tanpa terpaksa, ya kesadaran saja karena tidak ada yang berkenan padahal ini merupakan sebuah kebaikan. Tisa tidak pernah berbuat jahat kepada yang lain, bahkan kerap membantu jika ia mampu.
Baca Juga: Resensi Buku: 3 Some Karya Hendri Yulius, Joe Andrianus, dan Nunkie Handa
Hingga pada saat pulang, selepas keluar gerbang. Ditusuk-tusuk permukaan air gelas mineral dengan pensil hingga didapat banyak bolongan. Secara tiba-tiba muncul air memancur dari belakang. Ditoleh Tisa ternyata seperti biasa, sudah bisa diduga, ulah nakal Farhan bersama dua pengikutnya.
Benar buruk laku dan tebal hati mereka bertiga. Persis pancuran air dari shower ketika gelas di genggaman diremas. Misi usil geng itu berhasil. Tetap memilih diam, malah tambah semakin tertikam.
Sesampainya di rumah, Tisa mengganti seragamnya dan membawa perkakas melukis menuju danau. Mencoba menyamarkan luka dengan goresan warna-warna. Mencoba menindih sedih yang kian terasa pedih. Derita melampaui tara.
Tisa lebih suka pergi ke danau di dalam hutan dibanding mengurung diri di kamar dan menghabiskan lembaran ribu tisu. Ia sering ke danau untuk melaung. Berteriak sekencang-kencangnya guna melepaskan semua beban. Seakan-akan itulah penawar paling mujarab untuk keadaannya kala ini.
Angin terhempas dengan keras hingga kencang dersiknya cukup lantang berkunjung di telinga. Selain menenangkan, di sepanjang garis bibir danau dipenuhi hiasan bunga pancarona nan adiwarna. Itu yang membuat Tisa betah di danau, melihat bunga yang menari, melambai tatkala terhembus angin, seakan mencoba menghibur Tisa yang sedang sendirian. Ia termenung layaknya bunga gulana.
“Mereka tidak putus-putusnya merisakku dengan berbagai olokan.”
Batin Tisa berteriak. Tetes air matanya merebak. Belum hirap kesedihannya, terlihat jumantra mengeluarkan cemeti dewa. Seketika menjungkar keluar tutur bergema, bahana menggelegar, hingga bentala bergetar.
Ia memandang ke atas. Nampak langit semakin lindap merona kehitaman. Tisa bergegas meringkas perkakas bekas melukis. Ia beranjak balik menuju bilik cilik nan sempit berukuran 3 meter kubik. Belum rampung dipasang keramik, namun ia set dengan unik sehingga nampak menarik. Setidaknya dapat memberi ketenangan meski ruang tak selapang awang-awang.
Di sepanjang jalan Tisa mengingat Tuhan. Istighfar adalah pembuka jalan, sambil menyeka air matanya. Ia tak ingin orang lain melihatnya melelehkan air mata. Pikiran Tisa kembali berkelana. Nuraninya berbicara.
Muncul senandika, “Bersama kesulitan ada kemudahan. Iman adalah kehidupan. Cukuplah Tuhan menjadi penolongku dan Tuhan adalah sebaik-baiknya pelindung. La tastaslim! La tahzan! La taghdab! Jangan bersedih atas cercaan dan hinaan orang. Jangan bersedih karena gangguan orang lain dan maafkanlah orang yang berbuat jahat kepada kita. Bersedih berlebihan tidak diajarkan syariat dan tidak bermanfaat.”
Baca Juga: Permasalahan Penulisan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Setelah keluar dari hutan, tidak sengaja Tisa melihat Farhan, Tio, dan Adi berjalan sambil membicarakan tugas dari Bu Dina.
“Bos udah ngerjain tugas tadi? Besok mesti dikumpulkan loh bos,” ucap Tio.
“Iya bos, hari ini nggak usah ngopi dulu kita, besok Senin ulangan, tugas tadi belum kukerjakan nanti nggak bisa ikut ulangan seperti semester kemarin lagi,” tambah Adi.
“Alah, aku nggak mau ngerjakan, takut sekali kalian, besok nggak akan dikumpulkan gurunya pasti lupa.”
“Jangan gitu bos, kalo nggak bisa ikut ulangan kan bahaya,” sahut Adi.
“Yaudah kalo kalian nggak mau ikut ngopi, aku ngopi sendiri,” tutup Farhan.
Inisiatif Tisa tumbuh pada percakapan yang tak sengaja ia dengar.
Keesokan harinya di sekolah, Bu Dina meminta tugas itu dikumpulkan dan baru mereka diberi kartu PAS.
“Heh Tio, Adi, kalian udah ngerjain?” tanya Farhan.
“Udah bos,” jawab Tio dan Adi kompak.
“Gimana sih kalian, tugas buat aku mana?” tagih Farhan.
Tio dan Adi hanya diam sambil menggeleng.
“Gawat!! Terus gimana nih aku Senin nggak bisa ikut ulangan,” Farhan gelisah.
Hatinya risau bercampur cemas. Datang Tisa dari depan mengulurkan sebuah kertas pada Farhan.
“Nih, tugas buat kamu udah aku buatin,” cakap Tisa.
Farhan menerima kertas itu dan tidak berucap apa pun. PELIK! Ia heran mengapa Tisa sudi berbuat baik, meski sering diusik. Ia selalu mencela mencerca Tisa. Insinuasi yang hampir tiap hari ia produksi demi memaki. Apa yang ia jumpai? Mengapa senantiasa menghargai? Benar sekali! Ini manusia berhati bidadari. Farhan merasa candala.
Timbul penyesalan, “Betapa sangat jahat diri selama ini, betapa mulia hatinya masih mau menolongku.”
Mesti ada wiyata di setiap peristiwa. Tandas sudah rasa benci pada Tisa. Lantas, Farhan meminta maaf kepada Tisa. Farhan sadar akan defleksi yang ia lakukan. Ia mengakui peringai keji nir budi sepanjang ini. Dengan kebesaran hati, Tisa memaafkan Farhan dan teman lainnya.
Baca Juga: Angkatan 2000an Disebut Sebagai Sastra Indonesia Mutakhir, Mengapa?
Tidak ada lagi perundungan. Kelas X TAB 1 berubah drastis. Menjadi tenteram dan damai. Semua murid sering bermain bersama ketika jam istirahat, mereka juga ke kantin bareng. Tisa dan lainnya kini berteman baik.
Mereka kerap mengerjakan tugas, belajar kelompok di rumah Tisa, bahkan membuat konten video kreatif yang belakangan tengah nge-tren di kalangan remaja. Hari-hari Tisa kini dipenuhi canda tawa bahagia.
Seperti biasa di kala senja, Tisa suka menikmati swastamita. Di mana kala saujana dipenuhi sandyakala.
Kemudian Tisa tersadar, “Kebaikan dan kesabaran akan selalu berbuah manis. Kebaikan akan membawa anugerah dalam bentuk yang paling indah dan mengubah hidup kita pada titik yang paling baik. Tidak penting menjadi sempurna, yang penting bisa berguna dan bermakna.”
Penulis:
Celciandy Kharisma Yuriko Putri
Mahasiswa Tadris Matematika UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi