Salahkah Bersuara? Salahkah Ravio Patra?

ravio patra
Foto: Tribunnews.com

Isu panas negeri yang masih dikaji hingga saat ini adalah kasus Ravio Patra. Peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi ini dikabarkan ditangkap pada Rabu 22 April lalu atas tuduhan penyebaran berita onar, kebencian, dan penghasutan. Singkat cerita, pesan singkat berisi berita onar itu beredar melalui kontak whatsapp Ravio pada pukul 14.35 WIB. Isi pesan itu kiranya begini “Krisis sudah saatnya membakar! Ayo kumpul dan ramaikan 30 aprol aksi penjarahan nasional serentak, semua toko yang ada di dekat kita bebas dijarah”.

Membaca dari tata bahasa dan maknanya, benar jika pesan singkat tersebut merupakan pesan yang provokatif. Namun, tentu saja bukan Ravio dalang dari penyabaran berita onar ini, whatsapp yang telah dilaporkan diretas belum juga ditemukan siapa pelaku peretasannya. Tapi tetap saja, dalam masa penelusuran dan penyidikan, Ravio harus mendekam. Sekali lagi, aktivis negeri kita harus merasakan hukum Indonesia. Hal ini membuat masyarakat kembali berspekulasi akan kembalinya kekuasaan Oligarki. Salahkah kita jika bersuara?

Ravio dikenal sebagai orang yang aktif dalam mengkritik pemerintah. Kritikannya tersebar tak hanya di media sosial namun juga di media massa elektronik dan pers. Baru-baru ini kritikan Ravio jatuh pada kinerja salah satu Stafsus Millenial Presiden, Billy Mambrasar, yang ia duga terlibat dalam konflik kepentingan pada proyek pemerintah di Papua. Kritikan ini disampaikan di akun twitternya @raviopatra. Selain itu, kritikan mengenai kinerja penanganan Covid-19 pun juga ia layangkan melalui media Tirto yang pada intinya berisi tentang kurangnya transparansi pemerintah dalam penyampaian data rasio kematian Covid-19 dan cenderung menyesatkan. Dua hal ini menunjukkan betapa aktifnya Ravio dalam melakukan penyampaian kritik.

Koalisi LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, KontraS, ICW, dan sejumlah lembaga bantuan hukum lainnya telah berusaha memberi pendampingan hukum untuk Ravio, hingga pada akhirnya, pada 24 April 2020 lalu, Ravio dibebaskan dengan berstatus sebagai saksi. Kejadian penangkapan ini dinilai sebagai contoh buruk penegakan hukum di Indonesia. Karena bagaimanapun, bukanlah sebuah keadilan namanya jika masyarakat yang menyampaikan pendapatnya senantiasa dikebiri atas nama kriminalisasi dan terpenjara. Bukankah seharusnya polisi lebih jeli dalam penganalisaan antara pelaku dan korban?

Saat ini penyelidikan terus bergulir seiring dengan dikirimkannya ponsel Ravio ke laboratorium forensik. Hal ini dilakukan sebagai upaya pendalaman fakta bahwa benar adanya ponsel milik Ravio telah diretas. Selanjutnya barulah proses hukum yang sebenarnya akan dilakukan kepada dalang intelektual penyebaran pesan onar tersebut. Kini waktu yang akan menjawab profesionalisme kepolisian negeri dalam mengungkap kasus. Waktulah juga yang akan menjawab apakah benar masih tajam hukum di negeri kita tercinta ini. Apakah benar masih bertaji, ataukah hanya tajam ke golongan tertentu saja?

Akhir kata pada intinya, bagaimanapun, suara adalah hak setiap warga negara atas nama demokrasi, maka darinya, tak ada kata salah untuk bersuara. Hal yang dilakukan Ravio dalam mengkritik kinerja pemerintah adalah bagian dari opini dan caranya berekpresi dalam menyampaian pendapat. Sama halnya seperti Ravio, setiap orang memiliki hak yang sama untuk bersuara. Jadi, untuk kalian di luar sana, masihkah ragu untuk berpolitik dan melakukan kritisi? Jika masih ragu, yuk sekarang mari kita kaji bersama sama terebih dahulu kasus ini, menurutmu, apa salah Ravio Patra? Bisa bantu saya menemukan jawabannya?

Dara Ginanti
Mahasiswa Sampoerna University

Baca juga:
Meme: Penghambat atau Pendukung Demokrasi?
Dimensi Sosial dan Keagamaan: Studi Kasus Penunggangan Aksi Mahasiswa dalam Demonstrasi Penolakan RUU
Meruwat dan Merawat Kembali Demonstrasi Mahasiswa

Kirim Artikel

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI