Dua pekan terakhir, kita diskusi terkait dengan UKT. Dimana dengan akan datangnya tahun akademik pada Juli mendatang, maka siswa sekolah menengah yang menyelesaikan pendidikan, akan berpindah ke bangku kuliah.
Dalam masa-masa pendaftaran ulang itulah kemudian kita mempercakapkan kalau tidak disebut dengan meributkan, soal biaya kuliah yang justru di perguruan tinggi negeri mengalami kenaikan yang signifikan.
Warganet menyebutnya meroket, dimana ada perguruan tinggi yang menaikkan tiga kali lipat, atau bahkan menembus angka puluhan juta. Kenaikannya tidak lagi dapat diikuti sesuai dengan kemampuan ekonomi calon mahasiswa.
Dengan elegan, mahasiswa menemui Komisi X DPR RI dan menyampaikan pandangan dan sesekali protes. Begitu pula elemen civil society juga melaksanakan pelbagai diskusi.
Sebagaimana halnya Pemuda ICMI, dan akhir pekan lalu Guru Besar & Doktor Insan Cita menyelenggarakannya akhir pekan. Begitu pula dengan elemen masyarakat lainnya.
Sehari yang lalu, Senin, 27 Mei 2024, setelah bertemu Presiden RI, Joko Widodo, Mentri Pendidikan menyampaikan taklimat pers bahwa kenaikan UKT dibatalkan.
Tentu ini sebagai obat sementara. Tetapi tidak bisa digunakan selamanya. Tetap saja, UKT yang mahal sekalipun itu pendidikan tersier yang tidak masuk dalam kerangka wajib belajar, wajib murah.
Sekalipun untuk orang kaya. Posisi kaya di sini adalah orang tua, dan bukan anaknya. Kalau justifikasi UKT kaya untuk orang kaya, maka sejak awal kita membedakan posisi orang tua peserta didik. Namun, bagi mereka yang berpunya memiliki kesempatan untuk menyumbang.
Maka, Majelis Wali Amanat, Dewan Penyantun, atau nama dengan fungsi membantu memikirkan perkembangan perguruan tinggi, perlu mulai menggalang pendanaan tidak dari semata-mata UKT saja.
Bahkan, seperti praktik Universitas Muhammadiyah Maumere yang membolehkan mahasiswa membayar dengan hasil bumi yang dipanen. Atau juga UKT yang tidak mencapai angka 2 juta. Sebagaimana Universitas Muhammadiyah Barru, untuk program studi teknik sekalipun, tetap saja UKT dengan angka Rp. 1.500.000.
Sementara itu, tersedia pembiayaan pendidikan yang disebut Beasiswa Mandiri. Di Unmuh Barru, Mahasiswa diberi kesempatan untuk tidak membayar UKT sampai sarjana. Namun, mereka memiliki kesempatan magang di kampus, dengan membantu pekerjaan akademik universitas.
Begitu pula di IAIN Sorong, Papua Barat Daya. Dibuka satu kelas untuk para penyuluh yang sudhah senior. Mereka dibebaskan dari pembayaran UKT, juga sampai sarjana. Kuliahnya tatap muka, dilaksanakan sekali sepekan. Sementara materi belajar lainnya disediakan daring. Sehingga mereka tetap berkiprah di masyarakat, bekerja sebagai penyuluh. Pada saat yang sama berkesempatan mendapatkan keilmuan secara formal.
Saat kelas itu berjalan, masih ada istilah uang honor untuk memeriksa soal. Dosen-dosen kemudian tidak dibayar sama sekali, dengan penjelasan bahwa program ini sebagai pengabdian masyarakat. Dosen tetap senang, bisa mengajar dengan sks yang sesuai tuntunan BKD, sementara masyarakat juga meraih sarjana dengan tanpa biaya.
Ini menunjukkan bahwa pembiayaan pendidikan tidak semata-mata hanyalah soal uang. Tetapi juga bisa dengan sumbangsih tenaga bersama, dan disertai dengan kebijakan.
Suatu waktu penulis berkonsultasi ke staf kementerian keuangan. Penulis bertanya “bolehkah mahasiswa tidak membayar UKT?”. Penulis mencatat jawabannya “boleh saja, tetapi ada surat keputusan yang diterbitkan bagi mahasiswa yang dibebaskan UKT”.
Maka, lagi-lagi soal manajemen belaka. Bukan soal uang saja. Sehingga pendidikan tinggi tetap terlayani. Betapa sedihnya membaca pernyataan pejabat bahwa pendidikan tinggi bukanlah kewajiban. Sementara kita dari kalangan tertentu, tidak dapat mengakses pekerjaan tanpa ijazah sarjana.
Terakhir, tidak saja soal kemerdekaan. Tetapi saat yang sama, kita perlu juga bersama-sama dalam mengisi kemerdekaan, termasuk dalam kaitan Merdeka Belajar. Merdeka dari urusan uang.
Penulis: Ismail Suardi Wekke
Dosen Pascasarjana IAIN Sorong
Ikuti berita terbaru di Google News