Tren “GRRR” di TikTok: Antara Hubungan Hiburan, Kreativitas, dan Tantangan Literasi Digital

Tren "GRRR" di TikTok: Antara Hubungan Hiburan, Kreativitas, dan Tantangan Literasi Digital
Sumber: unsplash.com

Fenomena tren sound TikTok “GRR” yang viral di awal tahun 2025 merupakan hal menarik bagaimana budaya populer digital merefleksikan dan berinteraksi dengan struktur kekuasaan dan ideologi dalam masyarakat kontemporer.

Melalui perspektif Cultural Studies, khususnya Teori Hegemoni Antonio Gramsci, saya bisa melihat bagaimana tren ini bukan sekadar hiburan, melainkan arena pertarungan makna, identitas, dan kekuasaan.

TikTok sebagai platform global yang sangat dominan di Indonesia (dengan penggunaan mencapai lebih dari 150 juta pada 2025) mencerminkan hegemoni media digital yang mengontrol produksi dan distribusi budaya populer.

Tren sound “GRR” yang viral bukan hanya produk kreatif pengguna, tetapi juga hasil dari algoritma dan strategi pemasaran TikTok yang mengarahkan apa yang dianggap populer dan layak konsumsi.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks Gramsci, ini adalah bentuk dominasi ideologis di mana platform memegang kendali atas narasi budaya yang beredar, membentuk kesadaran dan preferensi massal.

Namun, pengguna terutama generasi muda juga melakukan resistensi melalui kreativitas mereka.

Mereka mengadaptasi sound “GRR” untuk mengekspresikan identitas, emosi, dan bahkan kritik sosial secara tersirat.

Baca Juga: Apakah Kita Mengonsumsi TikTok atau TikTok yang Mengonsumsi Kita?

Misalnya, dalam bentuk video, sound ini dipakai untuk menampilkan sikap pemberontakan, kebebasan berekspresi, atau penolakan terhadap norma sosial tertentu.

Ini menunjukkan bahwa meskipun ada dominasi platform, pengguna tetap memiliki ruang untuk negosiasi makna dan resistensi budaya.

TikTok sebagai media sosial video pendek memungkinkan produksi makna yang cepat dan masif.

Tren “GRR” menjadi diskursus yang tersebar luas, di mana makna sound ini bervariasi tergantung konteks penggunaannya.

Media ini memfasilitasi interaksi antara produsen dan konsumen budaya yang tidak lagi pasif, melainkan aktif dalam membentuk narasi.

Namun, karena algoritma TikTok mengutamakan konten yang viral dan mudah diterima, ada kecenderungan homogenisasi makna yang bisa memperkuat ideologi dominan, misalnya norma kecantikan, gender, atau gaya hidup tertentu.

Baca Juga: TikTok Mengandung Konten Negatif? Yakin?

Tren “GRR” juga berkaitan dengan politik identitas, terutama dalam hal gender dan kelas.

Banyak pengguna muda menggunakan sound ini untuk mengekspresikan identitas gender non-normatif atau menampilkan gaya hidup urban yang aspiratif.

Namun, karena TikTok didominasi oleh kelompok usia muda perkotaan yang relatif homogen secara sosial ekonomi, representasi yang muncul cenderung terbatas dan bisa mengabaikan keragaman kelas dan ras yang lebih luas.

Ini menunjukkan bagaimana struktur kekuasaan media digital bisa mereproduksi ketimpangan representasi.

Meski ada dominasi ideologi dan hegemoni, tren “GRR” menunjukkan potensi emansipatoris lewat kreativitas pengguna yang menentang norma dan membuka ruang diskusi alternatif.

Praktik budaya ini memungkinkan ekspresi diri yang sebelumnya terpinggirkan dan memperkuat solidaritas kelompok minoritas atau marginal.

Namun, potensi ini harus diiringi dengan kesadaran kritis agar tidak terjebak dalam konsumsi pasif atau komodifikasi budaya yang justru mengukuhkan status quo.

Baca Juga: TikTok dan Fenomena Penggunanya di Indonesia: Sebuah Catatan Kritis

Fenomena tren TikTok “GRR” mengingatkan bahwa budaya populer adalah medan pertempuran ideologi yang kompleks.

Untuk mengoptimalkan potensi emansipatorisnya, perlu ada upaya edukasi media yang mengajarkan pengguna untuk memahami bagaimana algoritma dan kekuasaan media bekerja, serta mendorong produksi konten yang kritis dan inklusif.

Selain itu, pengembangan platform yang lebih demokratis dan transparan dalam pengelolaan konten dapat mengurangi dominasi ideologi hegemonik.

Selain pendekatan hegemoni Gramsci, Teori Cultural Studies yang menekankan agen dan praktik budaya seperti Stuart Hall bisa dipakai untuk menyoroti peran aktif pengguna dalam negosiasi makna.

Praktik emansipatoris bisa diwujudkan melalui komunitas digital yang mengorganisir diri untuk melawan stereotip dan diskriminasi, serta memproduksi narasi alternatif yang lebih inklusif.

Pendekatan ini menempatkan pengguna bukan hanya sebagai objek dominasi, tetapi juga subjek perubahan sosial.

Baca Juga: Persepsi Masyarakat terhadap Representasi Pria Androgini di TikTok: Analisis Wacana Kritis pada Konten Fendi Beau

Tren sound TikTok “GRR” mencerminkan relasi kekuasaan media digital yang hegemonik, namun juga membuka ruang resistensi dan ekspresi identitas yang berpotensi emansipatoris.

Untuk memaksimalkan potensi perubahan sosial, diperlukan kesadaran kritis pengguna dan reformasi dalam pengelolaan platform digital agar budaya populer bisa menjadi alat pembebasan, bukan hanya reproduksi dominasi.

 

Penulis: Paquita Meyvanka Secand
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses