Isu mengenai agama adalah isu yang sangat hangat dan sensitif untuk diperbincangkan di muka publik, terutama di sebuah platform yang terdiri atas orang-orang dari agama yang masing-masing memiliki sudut pandang dan latar belakang berbeda-beda dalam menanggapi sebuah permasalahan. Mengumpulkan orang-orang dari berbagai macam latar belakang dan agama kemudian diperintahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Mengapa agama itu ada? Mengapa Tuhan itu ada?’ adalah sebuah hal yang kurang tepat untuk dibahas, terutama mengingat setiap agama itu memiliki pandangan dan ajaran yang berbeda-beda.
Kita pasti bertanya-tanya “Platform macam apa yang diperbincangkan?” Jawabannya sederhana, yaitu sebuah mata kuliah dengan nama ‘World Religions’ yang berarti agama dunia. Sebagian dari kita pasti ada yang berkata “Bukankah toleransi antar umat beragama itu baik? Bukankah mengenal agama yang satu dengan yang lain itu merupakan contoh kita agar tidak bersikap rasis? Bukankah hidup itu indah jika berwarna?” Ingat yang dibahas di sini bukanlah tentang membenci pelajarannya, tapi hanya kritik mengenai pelajarannya yang menurut kebanyakan orang tidaklah tepat untuk mengumpulkan banyak orang dari latar belakang agama berbeda dikumpulkan di suatu platform untuk mendiskusikan hal-hal yang sedikit berbau liberal.
Mengapa Tidak Harus Ada
Ada beberapa alasan mengapa saya kurang setuju dengan mata pelajaran ‘Agama Dunia’ ini. Pertama, saya setuju dengan tujuan ‘toleransi’ dalam mata pelajaran ini, hanya saja setiap agama memiliki cara pandang dan ajaran-ajaran yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, bagi sebagian ulama, tidaklah boleh mengucapkan ‘Selamat natal’ dalam agama Islam karena sama saja seperti kita meyakini dan mengakui ajaran agama orang lain. Contoh lain adalah LGBT. Agama Hindu, Buddha dan Konghucu tidak terlalu keras dalam melarang homoseksual dan LGBT. Sedangkan agama Islam dan Kristen sangat keras melarangnya, bahkan dianggap sebagai kejahatan dan dosa, serta dikutuk oleh Tuhan.
Islam melarang praktik menyimpang LGBT sebagai perbuatan terlaknat dan merupakan dosa besar. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf. Hal tersebut sangat jelas dilarang, malah kita dianjurkan untuk menghargai hak dan keberadaan mereka di muka bumi ini. Sebenarnya ada banyak contoh pertentangan-pertentangan di dalam suatu agama di mana yang lain menganggapnya sah-sah saja. Saya tidak tahu apakah anda (para pembaca) adalah seorang liberalis yang mengatasnamakan ‘toleransi’ dan ‘open minded’ dalam sehari-hari anda, tapi ingatlah, semua orang memiliki kepercayaan yang berbeda-beda dan kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk sedikit mencicipi istilah ‘liberalisme’ dalam beragama.
Tidak hanya itu, tujuan seperti ingin mencuci pikiran (braingwashing). Para mahasiswanya itu terlihat jelas seakan-akan para tenaga pengajar ingin mahasiswanya untuk memahami dan mempelajari bahwa agama di luar yang mayoritasnya mereka anut lebih mengajarkan toleransi dan kebahagiaan dalam hidup. Kata-kata dan kalimat-kalimat yang membanding-bandingkan ajaran suatu agama terhadap agama lain, yang seharusnya tidak harus diucapkan, malah dianggap seperti hal yang lumrah untuk diucapkan. Contoh; “Dalam agama Islam, wanita tidak boleh menjadi Imam solat, tetapi dalam ajaran Sikhism. Wanita diperbolehkan menjadi Imam solat yang mengindikasikan Sikhism lebih menghargai hak-hak wanita daripada agama Islam.”
Kurikulum Liberalis
Ketiga, kondisi ini juga turut diperparah oleh ‘tenaga pengajar’ yang mengarah kepada hal-hal yang berbau ‘liberal’ di mana kita tidak tahu dia sebenarnya berada di pihak yang mana. Mengapa saya katakan demikian? Di Indonesia dengan kurikulum yang dibentuk masih berkiblat pada negara barat yang sekuler dan liberal sehingga membentuk karakter mahasiswa juga tenaga pendidik menjadi kebarat-baratan alias sekuler dan liberal. Pendidikan yang sekuler, menghilangkan aspek keagamaan dalam dunia pendidikan, jikapun ada itu hanya 0,001 % dari bagian proses belajar.
Universitas bertaraf internasional seperti Sampoerna yang sudah jelas mengikuti kurikulum ala-ala barat seperti negara Amerika Serikat, pastilah lebih menghilangkan unsur keagamaan (sekulerisme) dalam prosesnya. Jika tenaga pengajar hanyalah menyampaikan soal toleransi dan bersikap benar-benar netral dengan memposisikan dirinya sebagai penengah, mungkin tujuan sebenarnya dari mata kuliah tersebut benar-benar tersampaikan dengan baik. Kenyataan malah berkata lain, beberapa tenaga pengajar malah ingin membuat semua hal terlihat sah-sah saja, seolah-olah toleransi adalah hal dapat ditanggapi ‘sebebas’ itu.
Ofensif dan Defensif Agama Ibarat Buah Simalakama
Mengapa dikatakan ‘Ofensif dan Defensif ibarat buah simalakama’? Karena bersifat ofensif dan defensif itu serba salah. Ibarat pedang bermata dua, bersifat ofensif ataupun defensif hanya akan melukai orang lain, atau melukai diri sendiri. Ketika kita ingin memberikan kritik (bersifat ofensif), terhadap jalannya proses pembelajaran, bahan ajaran yang sedang diberikan, ataupun terhadap guru/dosen yang bertanggungjawab atas mata pelajaran. Kita sebenarnya hanya akan menimbulkan masalah jika kita ingin meluruskan sesuatu sesuai dengan ajaran dan kepercayaan agama kita sendiri. Mengapa? Karena di dalam platform itu, tidak hanya diisi oleh orang dari kalangan mayoritas. Seperti Muslim, tetapi juga dari kalangan agama minoritas lainnya, seperti Nasrani, Budha, ataupun Hindu yang secara jelas memiliki dasar pemikiran dan kepercayaan yang berbeda-beda. Sehingga, untuk mengkritik sesuatu sesuai dengan kepercayaan yang kita terima itu sangat susah.
Sama halnya jika kita yang dikritik, atau ada suatu hal yang mungkin menyinggung ajaran dalam agama kita. Bersifat membela (bersifat defensif) seakan-akan menjadi hal yang dianggap berlebihan bagi sebagian orang, atau istilah kerennya baper (bawa perasaan). Orang lain akan berkata bahwa sifat defensif kita hanyalah kita yang terlalu membawa perasaan kita pada platform itu, sehingga untuk bersifat membela agama sendiri dianggap sebagai hal yang berlebihan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, toleransi itu penting, tapi jangan kebablasan dalam meneguknya. Mata kuliah ini sebenarnya baik dan sangat berguna untuk kita generasi milenial, terutama di zaman globalisasi yang semakin berkembang ini. Menurut saya, setiap agama haruslah berada pada lingkungannya masing-masing karena masing-masing agama saling klaim kebenaran (truth claim). Pertanyaannya, apakah boleh mata kuliah ini dijadikan bagian dari kurikulum kampus? Ya tentu saja boleh, asal sesuai takarannya dan tidak liberal. Tenaga pengajar juga harus pandai menjadi penengah dan bersifat benar-benar netral terhadap mahasiswanya. ‘Ingat, kita umat beragama, janganlah liberal’.
Muhammad Afriansyah Nasution
Mahasiswa Sampoerna University
Editor: Sitti Fathimah Herdarina Darsim
Baca Juga:
Religion in My View
Pentingnya Penerapan Nilai Moderasi Beragama
Menyimak Generasi Z Berbicara tentang Toleransi Beragama