Wujud Nyata Perjuangan Ibu Rini Seorang Disabilitas dalam Mengenyam Pendidikan di Tengah Keterbatasannya

Disabilitas
Ibu Rini seorang tuna daksa yang tinggal di Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember.

Keberadaan kelompok difabel sering hadir di tengah-tengah masyarakat. Keberadaan mereka sering kali direndahkan oleh sebagian masyarakat. Masyarakat menganggap keberadaan mereka sebagai sebuah aib.

Seperti pada pernyataan Ibu Rini seorang tuna daksa yang tinggal di Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember.

“Keberadaan para difabel ini kadang tidak diterima oleh masyarakat, bahkan keluarganya menganggap mereka sebagai aib. Tapi, saya bersyukur orang tua saya mau menerima saya dan mau mengenalkan saya pada saudara-saudaranya,” tutur Ibu Rini.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: PPK HMP Pendidikan Geografi Atlantis Gelar Peningkatan Kapasitas Desa Paseduluran Melalui Digitalisasi Sistem Evakuasi Bencana Erupsi Merapi Ramah Difabel

Seorang disabilitas sebenarnya sangat membutuhkan support dari orang tua, hal ini penting untuk memperkuat mental anak tersebut. Sebaliknya, apabila keluarga tidak mendukung anak difabel untuk mampu bertahan hidup dalam keterbatasannya maka akan berdampak pada keterpurukan mental anak difabel.

Ibu Rini adalah penyandang disabilitas yang sudah berkeluarga. Ia dikaruniai satu anak perempuan yang masih balita. Suaminya bekerja sebagai buruh dan sangat mendukung Ibu Rini di tengah keterbatasannya sebagai tuna daksa. Dalam kehidupan sehari-hari Ibu Rini cukup kesulitan dalam beraktivitas.

Ia harus memakai bantuan tongkat dan kursi beroda ketika hendak berjalan. Sebagai perempuan difabel, Ia sangat mandiri dalam hal keuangan keluarga. Pasalnya Ibu Rini bekerja sebagai penjahit di rumahnya sendiri.

Di sela-sela keterbatasannya, Ia tidak hanya bekerja sebagai penjahit, namun juga menyediakan lapangan kerja bagi orang-orang difabel yaitu menjadikan kelompok difabel sebagai asisten penjahit.

Penyandang disabilitas sering kali diidentikkan dengan kelompok masyarakat yang tidak mampu. Mereka diidentikkan dengan kelompok yang memiliki perekonomian rendah yang berdampak pada sulitnya akses pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan penuturan Ibu Rini, dulunya Ia terlahir sebagai anak normal. Akan tetapi, karena minimnya pengetahuan orang tua dalam menangani anak yang sakit, Ia menjadi lumpuh pada bagian kaki kanannya.

“Saya dulu terlahir seperti anak normal, tapi pada saat itu saya sakit pasca imunisasi yang membuat orang tua saya panik. Hal ini membuat orang tua saya membawa saya ke bidan, lalu saya disuntik sama bidannya. Kondisi tersebut membuat badan saya semakin panas, hingga menyebabkan kelumpuhan pada kaki di sebelah kanan. Akhirnya, jadilah saya sekarang perlu bantuan tongkat dan kursi beroda untuk menjalankan aktivitas sehari-hari,” ungkap Ibu Rini.

Di tengah keterbatasannya, Ibu Rini tidak pernah menyerah dalam mengakses pendidikan. Hal ini Ia buktikan dengan sukses bisa mengenyam pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai pada perguruan tinggi. Uniknya, Ia menempuh pendidikan di sekolah umum bukan di sekolah luar biasa.

Baca Juga: Tim SMART Difabel Menggiatkan Pelatihan Ekonomi Kreatif untuk Penyandang Disabillitas

Di dalamnya, Ia kerap mengalami berbagai hambatan dan tantangan. Hambatan yang dimaksud adalah untuk masuk ke sekolah umum perlu memenuhi persyaratan tertentu bahkan kebanyakan anak difabel tidak diterima di sekolah umum.

Hambatan ini tidak membuat Ibu Rini menyerah untuk terus mengenyam pendidikan. Pada saat SMA, Ia tinggal di asrama yang jauh dari sekolahnya. Tiap hari Ia perlu menggunakan sepeda gayung untuk pergi ke sekolah, kemudian perlu mengendarai bus kota dengan tarif Rp100, untuk sampai ke sekolah tersebut.

Jarak dari sekolah ke tempat tinggalnya cukup jauh. Hal ini, membuat Ibu Rini perlu berangkat dini hari agar tidak terlambat di sekolah. Meski demikian, Ia tetap saja terlambat karena keterbatasan fisik yang membuat Ia kesulitan dalam berjalan.

Untungnya, pihak sekolah kerap memberikan toleransi pada Ibu Rini. Di samping terdapat hambatan, Ibu Rini juga sering dihadapkan pada tantangan ketika mengenyam pendidikan. Tantangan tersebut berangkat dari perlakukan deskriminasi dari sekolahnya.

Ia juga sering mendapatkan pem-bully-an dari teman-temannya karena kondisi fisiknya yang berbeda. Berbagai tantangan dan hambatan ini tidak menyurutkan semangat Ibu Rini untuk terus berjuang dalam hal mengakses pendidikan.

Tindakan yang dilakukan Ibu Rini ini selaras dengan teori tindakan sosial yang dinarasikan oleh Max Weber Ritzer, dalam buku berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Weber menjelakan tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi pada tujuan atau motif dari aktor.

Dalam hal ini, Weber mengelompokkan tindakan sosial menjadi empat, yaitu tindakan rasional instrumentasl, tindakan rasionalitas nilai, tindakan afektif, dan tindakan tradisional.

Tindakan yang dilakukan Ibu Rini sesuai dengan tindakan rasional instrumental, yaitu aktor tidak hanya menilai cara yang baik untuk mencapai tujuannya tetapi juga menentukan nilai dan tujuan itu sendiri.

Dalam realitas tersebut, tujuan atau motif yang dilakukan Ibu Rini secara rasional untuk mematahkan konstruksi masyarakat mengenai keberadaan kelompok difabel sebagai aib yang tidak perlu diberdayakan.

Baca Juga: Tekad Kuat Penyandang Difabel Sebagai Ajang Pembuktian Diri

Ia secara sadar mampu mengubah stigma masyarakat bahwa anak difabel bisa hidup secara mandiri dan tidak bergantung pada bantuan orang lain.

Dalam mengakses pendidikan, kelompok difabel sering kali diberikan beasiswa secara penuh dari pemerintah. Dalam konteks Jember, pada saat Ibu Faida masih menjadi Bupati Jember, beliau mendukung secara penuh keberadaan anak difabel.

Khususnya mendukung pendidikan difabel di Kecamatan Ambulu dan Panti. Bupati Jember ini memberikan beasiswa secara gratis di UNIPAR (Universitas PGRI Argopuro).

“Beasiswa ini biasanya berupa uang saku sebesar Rp6.900.000 dan SPP sebesar Rp5.000.000. Tapi untuk angkatan sekarang uang saku bertambah menjadi Rp7.000.000. Tapi sekarang kan bupatinya sudah ganti, beasiswa yang diterima anak difabel berkurang menjadi Rp5.000.000,” tutur Ibu Rini.

Dari sekian banyak perguruan tinggi di Jember, nyatanya hanya UNIPAR yang bisa menerima anak penyandang disabilitas.

Keberadaan kelompok difabel di desa ini pun belum terdata secara maksimal. Pemerintah Kecamatan Sumbersari kurang memberi dukungan pada pendidikan anak difabel. Hal ini didasarkan pada ketidaktahuan pihak kecamatan mengenai jumlah anak difabel di desa ini.

Sesuai dengan perkataan Ibu Rini, “Kemarin saya mendatangi kantor kecamatan untuk meminta data orang-orang difabel untuk kepentingan pelatihan, tapi mereka tidak tahu-menahu. Malah kemarin tanya balik ke saya,” tuturnya.

Penulis: 
1. Evayanti Yuliana Putri
2. Irdiansyah Firky Prasetyo
3. Faizah Malikal Bulgis

Mahasiswa Universitas Jember

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI