Single Cell Protein: Solusi Potensial Ketahanan Pangan Indonesia yang Terlupakan?

Single Cell Protein
Single Cell Protein: Solusi Potensial Ketahanan Pangan Indonesia yang Terlupakan?

Saat ini dunia tengah menghadapi krisis pangan global, bahkan semakin hari sumber protein konvensional seperti daging dan kedelai menjadi lebih sulit untuk didapatkan. Dunia perlahan-lahan mulai beralih ke alternatif yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Salah satu moda penghasil protein yang cukup menonjol akhir-akhir ini adalah Single Cell Protein (SCP), sumber protein yang diperoleh dari mikroorganisme seperti alga, ragi, bakteri, dan jamur. SCP sangatlah menguntungkan karena produksinya tidak memerlukan lahan luas dan juga kondisi iklim tertentu, sehingga menjadi produk yang sangat fleksibel dalam proses produksinya.

Sayangnya, di Indonesia, potensi besar ini masih belum dilirik serius. Padahal, SCP bisa menjadi solusi krusial untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

Indonesia yang notabenenya negara agraris, sebenarnya memiliki banyak peluang untuk mengembangkan SCP. Limbah agroindustri pangan seperti molase tebu, air kelapa, ataupun limbah tahu dapat dimanfaatkan sebagai substrat murah dan melimpah untuk fermentasi mikroorganisme penghasil protein.

Bacaan Lainnya

Artinya, dengan memanfaatkan SCP kita tidak hanya mengatasi masalah kekurangan protein, tetapi juga sekaligus mengatasi permasalahan limbah pangan organik.

Sebagai gambaran, Produksi SCP dapat memanfaatkan limbah sebagai sumber makanan (substrat) yang mana hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular. Lalu apa yang menyebabkan pengembangannya cukup “terlupakan” di Indonesia?

Permasalahan pertama adalah terkait persepsi masyarakat Indonesia. Istilah “protein dari mikroba” masih terdengar sangat asing terutama untuk khalayak umum, bahkan cenderung dinilai kurang higienis.

Mispersepsi ini menjadi penanda bahwasannya edukasi publik terkait perkembangan sains masih terlalu minimalis, padahal sudah ada banyak produk fermentasi yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, seperti tempe atau kecap, yang sejatinya juga melibatkan mikroorganisme.

Baca Juga: Inovasi Fermentasi dan Pemanfaatan Limbah Pangan: Solusi Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan di Era Pertumbuhan Populasi

Permasalahan kedua adalah rendahnya perhatian riset dan investasi pemerintah dalam pengembangan bidang ini. Saat ini Indonesia sedang mengalami efisiensi anggaran besar-besaran dan tentu lembaga riset dan pendidikan juga menjadi target efisiensi tersebut, sehingga biaya untuk riset, terutama untuk SCP yang notabene merupakan teknologi yang baru dikenalkan, tentu menjadi semakin terhambat.

Meski demikian, beberapa universitas dan lembaga riset telah mulai mengkaji SCP, tetapi arah pengembangan teknologi ini masih terlalu sporadis dan belum terkoordinasi dalam skala nasional.

Indonesia belum memiliki arah pengembangan/ roadmap pengembangan SCP yang jelas untuk menjadikannya salah satu strategi menjaga Ketahanan Pangan Nasional.

Permasalahan ketiga adalah keterbatasan infrastruktur dan teknologi produksi skala besar. Dengan terbatasnya investasi maka terbatas pula insentif untuk pengembangan SCP. Produksi SCP membutuhkan pengendalian proses yang presisi agar kualitas dan keamanannya terjamin.

Tanpa dukungan teknologi yang mumpuni dan juga kemitraan dengan industri, pengembangan SCP sulit bersaing dengan produk impor atau protein konvensional yang harganya lebih mapan di pasaran.

Meski pengembangan SCP dihadapkan pada berbagai tantangan, ini bukanlah alasan untuk terus mengabaikan potensi SCP. Justru, di tengah krisis pangan, ketergantungan impor kedelai, dan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, seharusnya Indonesia sudah harus mulai berani mengadopsi solusi nonkonvensional.

Pemerintah perlu mendorong integrasi riset SCP dalam program ketahanan pangan dan menyediakan ekosistem pendukung mulai dari regulasi, insentif, hingga kolaborasi dengan industri pangan.

Di saat negara-negara seperti Finlandia dan Belanda telah mengembangkan SCP berbasis CO₂ dan hidrogen sebagai langkah menuju net-zero protein production, Indonesia seharusnya tidak tertinggal.

Baca Juga: Aquaponik sebagai Solusi Ketahanan Pangan bagi Masyarakat Indonesia

Kita memiliki kekayaan biodiversitas mikroba lokal, ketersediaan substrat murah yang cukup melimpah, serta kebutuhan protein yang terus meningkat. SCP bukanlah sekadar alternatif, tapi potensi nyata.

Mungkin saat ini produk SCP belum terlihat di toko-toko, tapi jika diberi ruang berkembang, SCP bisa menjadi tulang punggung baru pangan masa depan Indonesia. Maka pertanyaannya bukan lagi “bisakah SCP menjadi solusi?”, tetapi menjadi “Bagaimana kita bisa lebih memanfaatkan SCP?”.

Penulis: Yohan Ariesto
Mahasiswa Ilmu Pangan IPB University

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses