Ketahanan pangan selama ini kerap dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah atau petani semata.
Padahal, ketahanan pangan adalah persoalan kolektif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk konsumen.
Konsumen memiliki kekuatan besar dalam membentuk arah sistem pangan melalui pilihan konsumsi sehari-hari.
Setiap keputusan membeli, memilih produk, hingga menentukan tempat berbelanja sesungguhnya adalah tindakan yang berdampak langsung terhadap rantai pasok pangan, keberlanjutan produksi, hingga kondisi sosial-ekonomi petani lokal.
Dengan kata lain, ketahanan pangan nasional tidak hanya ditentukan dari produksi, tetapi juga dari pola konsumsi masyarakat.
Oleh karena itu, kesadaran dan kepedulian terhadap produk lokal menjadi langkah strategis dalam memperkuat fondasi ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Baca Juga:Â Single Cell Protein: Solusi Potensial Ketahanan Pangan Indonesia yang Terlupakan?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai impor bahan pangan Indonesia pada tahun 2023 mencapai lebih dari Rp100 triliun.
Kedelai, gandum, bawang putih, dan daging sapi adalah contoh bahan pangan yang masih sangat bergantung pada pasokan luar negeri.
Ketergantungan ini menjadikan Indonesia rentan terhadap gangguan distribusi global, fluktuasi harga, dan krisis pasokan, seperti yang terjadi saat pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Gangguan tersebut berdampak langsung pada harga bahan pangan di dalam negeri dan menurunkan daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan.
Selain aspek ekonomi, ketergantungan terhadap pangan impor juga menyimpan risiko serius terhadap ketersediaan pangan di masa darurat.
Ketika jalur logistik terganggu atau terjadi lonjakan harga global, negara tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pasokan luar.
Baca Juga:Â Aquaponik sebagai Solusi Ketahanan Pangan bagi Masyarakat Indonesia
Oleh karena itu, membangun sistem pangan yang berbasis pada sumber daya lokal merupakan kebutuhan strategis jangka panjang.
Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan alam luar biasa dan potensi besar dalam menghasilkan pangan lokal.
Di berbagai wilayah, masyarakat telah lama mengembangkan produk pangan khas, seperti sagu di Papua dan Maluku, singkong di Jawa, porang di Sulawesi, hingga sorgum di Nusa Tenggara Timur.
Komoditas tersebut tidak hanya bernilai gizi tinggi, tetapi juga adaptif terhadap iklim lokal dan bisa menjadi alternatif pengganti bahan pangan impor.
Sebagai contoh, gandum yang diimpor besar-besaran dipakai untuk membuat roti, mi instan, dan kue, padahal sagu dan singkong bisa menjadi bahan alternatif yang sehat dan lebih ramah lingkungan.
Produk-produk lokal seperti tempe, jagung lokal, kelor, maupun buah-buahan tropis, seperti salak, manggis, dan rambutan juga memiliki keunggulan dari sisi kesegaran, nilai gizi, dan ketersediaan sepanjang tahun.
Baca Juga:Â Produk Lokal, Karya Anak Bangsa: Saatnya Berdayakan Negeri Sendiri
Sayangnya, persepsi masyarakat terhadap produk lokal sering kali belum positif.
Banyak yang menganggap produk lokal kurang menarik, kurang higienis, atau tidak modern, sehingga lebih memilih produk impor yang terlihat lebih mewah karena kemasan dan mereknya.
Peran konsumen menjadi sangat penting untuk mengubah pola pikir dan arah permintaan pasar.
Konsumen yang sadar dan aktif memilih produk lokal secara tidak langsung memberikan sinyal kuat kepada pelaku pasar untuk meningkatkan distribusi, kualitas, dan branding produk lokal.
Misalnya, dengan membeli beras organik dari petani lokal melalui platform daring, atau memilih sayuran segar dari pasar tradisional ketimbang produk impor di supermarket, konsumen telah mendorong peningkatan permintaan produk lokal secara berkelanjutan.
Hal ini memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani, pelaku UMKM pangan, serta pelestarian sistem pertanian lokal yang lebih beragam.
Meningkatnya permintaan terhadap produk lokal mendorong petani dan produsen kecil untuk berinovasi.
Mereka akan terpacu untuk meningkatkan kualitas, pengemasan, dan keamanan produk agar bisa bersaing secara sehat di pasar.
Di sisi lain, pelaku distribusi dan industri makanan juga akan tertarik mengadopsi bahan lokal jika konsumen menunjukkan minat yang tinggi.
Hal ini membuka peluang besar untuk mengembangkan ekosistem pangan nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
Selain dari sisi ekonomi dan keberlanjutan produksi, konsumsi produk lokal juga memberikan manfaat lingkungan yang signifikan.
Produk pangan impor sering kali menempuh ribuan kilometer dari negara asal ke rak-rak toko di Indonesia.
Proses ini membutuhkan energi besar dalam bentuk bahan bakar, pengemasan, pendinginan, dan penyimpanan.
Semua itu berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim global.
Sebaliknya, produk lokal biasanya didistribusikan dalam jarak yang lebih pendek, memerlukan energi lebih rendah, dan memiliki jejak karbon yang lebih kecil.
Dengan memilih produk lokal, konsumen juga ikut berperan dalam menurunkan emisi dan melestarikan lingkungan.
Konsumsi produk lokal bukan hanya mencerminkan pilihan ekonomis dan ramah lingkungan, tetapi juga merupakan bentuk pelestarian budaya bangsa.
Makanan tradisional yang berbasis bahan lokal adalah bagian dari identitas dan warisan budaya Indonesia.
Setiap daerah memiliki makanan khas yang diwariskan turun-temurun dan mencerminkan kearifan lokal.
Misalnya, penggunaan daun kelor di NTT, fermentasi tempe di Jawa, atau olahan ikan asap di Maluku adalah kekayaan kuliner yang tidak ternilai.
Jika masyarakat terus bergantung pada produk impor dan makanan cepat saji modern, maka kekayaan budaya kuliner Indonesia bisa tergerus oleh globalisasi.
Konsumen memiliki peran penting dalam menjaga agar tradisi kuliner tersebut tetap hidup melalui pilihan konsumsi yang sadar dan berakar pada produk lokal.
Dalam konteks ini, peran generasi muda sangat krusial. Sebagai generasi yang aktif di media sosial dan memiliki pengaruh besar terhadap tren konsumsi, generasi muda bisa menjadi motor penggerak kampanye cinta produk lokal.
Institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, perlu menanamkan nilai-nilai ketahanan pangan dan cinta produk lokal melalui kurikulum, seminar, maupun kegiatan kewirausahaan sosial.
Kantin kampus yang menyajikan makanan dari bahan lokal atau koperasi mahasiswa yang menjual produk petani setempat adalah contoh konkrit yang dapat mengedukasi sekaligus mempromosikan konsumsi lokal.
Pemerintah memiliki peran strategis dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan produk lokal.
Subsidi produksi, pelatihan petani, bantuan teknologi pertanian, serta penguatan pasar lokal melalui promosi yang masif dapat menjadi kunci keberhasilan.
Pemerintah juga perlu memperkuat infrastruktur distribusi agar produk lokal bisa menjangkau konsumen dengan harga terjangkau dan kualitas terjaga.
Selain itu, regulasi yang melindungi produk lokal dari dominasi produk impor yang tidak seimbang perlu diberlakukan untuk menciptakan pasar yang adil.
Perusahaan swasta dan pelaku industri juga dapat mengambil bagian dengan bermitra langsung dengan petani lokal dan menciptakan rantai pasok yang lebih pendek dan adil.
Saat ini, berbagai startup dan platform digital sudah mulai menghubungkan petani langsung ke konsumen, memotong rantai distribusi, dan meningkatkan efisiensi pasar.
Kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil menjadi kunci utama dalam membangun ketahanan pangan nasional yang mandiri dan inklusif.
Masyarakat bisa memulai dari hal kecil. Misalnya, membiasakan diri berbelanja di pasar tradisional seminggu sekali, mencoba resep masakan berbasis bahan lokal, atau berbagi pengalaman positif tentang produk lokal di media sosial.
Konsumen juga bisa menjadi agen edukasi bagi keluarga dan komunitas sekitarnya. Semakin banyak orang yang sadar dan terlibat, semakin kuat sistem pangan nasional kita.
Ketahanan pangan bukan semata tentang produksi, tetapi tentang keberlanjutan, keadilan, dan kedaulatan.
Dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan krisis ekonomi, membangun kekuatan dari dalam negeri adalah langkah bijak.
Dukungan terhadap produk lokal adalah bentuk kontribusi nyata setiap individu dalam menjaga masa depan pangan Indonesia.
Dengan dimulai dari pilihan sehari-hari, konsumen bisa menjadi pilar penting bagi ketahanan pangan yang tangguh, berkelanjutan, dan berakar pada kekayaan bangsa sendiri.
Penulis: Ade Risky
Mahasiswa Prodi Agribisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News