Trauma merupakan kondisi yang dialami seseorang pada saat hal yang buruk terjadi kepada mereka. Hal ini merupakan respons secara emosional yang dialami orang tersebut dan menyebabkan mereka untuk tersiksa secara emosi, ingatan, kecemasan, dll terhadap peristiwa tertentu. Kejadian traumatis berbeda-beda tiap orang karena tiap orang memiliki tingkat toleransi dan cara menghadapi yang berbeda-beda.
Hasil survey Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyatakan bahwa satu dari tiga remaja di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Jumlah dari hasil survey ini setara dengan kurang lebih 15,5 juta remaja yang ada di Indonesia, angka ini merupakan angka yang sangat besar.
Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM merupakan peneliti utama I-NAMHS. Menurut Profesor Siswanto, remaja-remaja tersebut yang memiliki gangguan mental mengalami gangguan dala, kegiatan sehari-hari mereka yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang dimiliki.
Professor Siswanto juga memaparkan bahwa hanya 2,6% dari remaja tersebut yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka.
Kejadian traumatis bagi saya adalah KDRT (Kekertasan Dalam Rumah Tangga) yang saya alami dan amati pada saat usia playgroup dan SD. Kejadian tersebut merupakan waktu saya dihukum dengan disabet menggunakan ikat sabuk karena tidak mengerjakan PR dan saya sering melihat salah satu kakak saya selalu diancam untuk disabet saat melakukan kesalahan. Meskipun tangan saya yang disabet langsung dioleskan salep karena mereah setelah itu oleh ibu saya yang menyabet dan merupakan satu-satunya kejadian yang saya alami mengenai hal ini, kejadian ini sangat membekas pada saya.
Saya juga pernah mengalami beberapa kejadian lain seperti saat saya bercanda dengan kakak sepupu saya waktu saya usia SD dan dia SMP atau SMA. Hal yang terjadi waktu itu adalah saya dicekik dan dibuat ketakutan untuk tidak melakukan hal itu, bahkan hal ini terjadi dua kali. Tentu hal ini membuat saya ketakutan dan tidak berani melakukan hal yang macem-macem lagi.
Sejak saat itu saya memiliki ketakutan atau kecemasan yang berlebihan berbuat salah atau lebih tepatnya diamarahi. Saya selalu merasa sangat cemas saat saya melakukan kesalahan, terlebih lagi saat saya dimarahi yang membuat saya kewalahan pada rasa takut dan bersalah yang muncul. Hal ini nampak jelas pada peristiwa yang saya alami pada saat saya di jenjang SMA.
Pada waktu tersebut, saya dimarahi oleh orang seusia saya karena kejadian yang saya tidak ingat dengan jelas dan merasa tidak melakukannya, tetapi karena dia marah dan terlihat serius hal yang pertama saya rasakan adalah takut dan bersalah. Setelah dimarahi saya tidak bisa melepaskan pikiran saya dari hal tersebut dan takut pada orang tersebut yang pada akhirnya saya menangis karena saya kewalahan dengan rasa takut dan rasa bersalah yang saya alami pada saat itu.
Selain itu, hal ini juga nampak pada saat teman-teman saya bercanda pura-pura marah yang saya tidak dapat pahami dan menjadi tegang sendiri. Saya juga mengalami kesulitan untuk mencegah rasa cemas yang berlebihan terhadap kesalahan yang saya lakukan karena hal tersebut akan selalu muncul dipikiran saya untuk waktu yang cukup lama (beberapa hari) sepele apapun kesalahan tersebut.
Reaksi-reaksi yang dialami saat seseorang mengalami trauma beragam. Beberapa hal utama yang saya alami adalah sebagai berikut
- Rasa takut, panik, dan cemas.
- Depresi dan memiliki perasaan bersalah yang berlebihan.
- Berusaha menghindari berbagai hal yang mengingatkan terhadap kejadian traumatis.
- Sulit berhenti untuk memikirkan apa yang telah terjadi sehingga stres.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut, terdapat beberapa hal yang saya lakukan untuk mengatasinya
- Mempercayai bahwa yang lalu sudah berlalu dan tidak bisa dirubah
- Membuat candaan atas hal yang saya alami dan tidak terlalu menganggap serius
- Menghindari hal yang dapat membuat orang marah dan menjauhi orang yang memarahi saya (takut)
Maka dari itu, berdasarkan pengalaman saya, saya mnghimbau orang tua atau sosok pendidik untuk sebisa mungkin tidak menggunakan kekerasan saat mendidik anak. Hal ini karena kejadian pada saat kecil akan membekas pada anak tersebut baik secara sadar atau tidak dan akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Jangan gunakan alasan bahwa itu tegas dan disiplin untuk menunjukkan rasa sayang karena mau anaknya tumbuh menjadi orang yang benar, ada cara lain yang dapat dilakukan selain kekerasan. Bahkan tegaspun tidak masalah asalkan tidak meluapkan amarah apalagi menggunakan kekerasan pada anak.
Referensi
Hapsari, A. (27 Oktober 2022). Trauma Psikologis. hellosehat.com. https://hellosehat.com/mental/gangguan-kecemasan/trauma/
Saputra, A. (8 Juli 2021). Bisa Terjadi Pada Siapa Saja, Trauma Adalah?. aido.id. https://aido.id/health-articles/bisa-terjadi-pada-siapa-saja-trauma-adalah/detail
Gloria. (24 Oktober 2022). Hasil Survei I-NAMHS: Satu dari Tiga Remaja Indonesia Memiliki Masalah Kesehatan Mental. ugm.ac.id. https://www.ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia-memiliki-masalah-kesehatan-mental