Fenomena game online di Indonesia merajalela di setiap kalangan usia, mengingat kecepatan perkembangan teknologi di era sekarang pasti tidak mungkin terlepas dengan perkembangan internet.
Game online adalah salah satu perkembangan teknologi berbasis internet, di mana seseorang bisa bermain dan berbaur dengan teman atau orang lain melalui aplikasi game yang terhubung dengan internet. Game online tidak hanya dimainkan oleh anak anak, tetapi juga dengan remaja dan orang dewasa.
Karena sifatnya yang bisa dimainkan kapanpun dan di manapun, membuat game online menjadi populer untuk dimainkan sebagai sarana penghibur atau pelepas waktu luang.
Game online menyuguhkan banyak fitur fitur yang bisa membuat seseorang menjadi adiksi pada game online karena apa yang diberikan itu menarik serta memudahkan pemain dalam bermain dan berinteraksi dengan pemain lain.
Terdapat fitur mic dan chat yang memudahkan pemain untuk untuk saling berbicara atau bertukar pesan antar satu sama lain secara bersamaan, dengan tujuan agar memudahkan pemain untuk bisa mengatur strategi bermain atau berkenalan baik dalam berkelompok atau perseorangan.
Cara bermain suatu game juga memicu terjadinya adiksi game online. Contohnya game online yang bertemakan peperangan atau pertarungan antar pemain dengan pemain lainnya. Pemain bisa bermain secara perseorangan atau bekerja sama dengan pemain lainnya secara bersama sama untuk memenangkan pertarungan.
Terkadang saat bermain seseorang lebih gampang untuk tersulut emosi ketika mengalami kesulitan atau kekalahan saat bermain karena beberapa faktor seperti faktor internet yang lambat, susunan tim yang berantakan, musuh yang sangat kuat, teka-teki yang sulit, kekalahan point, dan lainnya.
Walaupun begitu seseorang juga bisa mengalami kesenangan saat bermain seperti tim yang kompak, musuh yang mudah, mengerjakan misi bersama teman, mendapatkan hadiah, dan banyak lagi.Â
Karena faktor tersebut banyak orang yang mengalami adiksi game online, karena merasakan kesenangan serta adrenalin yang terpicu sebab adanya rasa persaingan atau kompetitif dalam bermain yang membuat seseorang akan terus bermain tidak peduli waktu yang terbuang sia-sia hanya sekedar mendapatkan apa yang diinginkan sejak awal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, anak usia 0-18 tahun mendominasi pasar game online dengan persentase 46,2%.
Menurut data dari Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet (APJII) berjudul Survei Penetrasi dan Perilaku Internet 2023, mayoritas pengguna game online menghabiskan waktu bermain lebih dari 4 jam per hari.
Dengan data tersebut sudah menunjukkan betapa banyaknya remaja yang kemungkinan bisa mengalami adiksi game online, yang di mana remaja akan bisa juga berperilaku toxic saat bermain karena tersulut emosi.
Dalam hal ini, usia remaja yang paling disoroti dengan rentang usia 12-24 tahun menurut WHO. Erikson seorang psikolog Jerman terkemuka mengemukakan delapan tahap perkembangan psikososial, di mana masa remaja termasuk dalam tahap “Identitas versus Kebingungan Identitas.”
Baca Juga:Â Sosialisasi Dampak Kecanduan Bermain Game Online Terhadap Motivasi Belajar dan Perkembangan Bahasa Anak
Pada tahap ini, remaja berusaha menemukan identitas diri mereka, dan teman sebaya berperan penting dalam proses ini. Interaksi dengan teman membantu remaja memahami diri mereka dan membangun kepercayaan diri.
Teori tersebut bisa menggambarkan betapa ngerinya game online yang bisa menjadi tempat sarangnya remaja dalam mencari identitas dan berinteraksi bersama teman yang bisa memahami diri mereka dalam mencari jati diri.
Hal ini menjerumuskan remaja pada adiksi game online, adiksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ketergantungan secara fisik dan mental terhadap suatu zat atau perilaku, kecanduan dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.Â
Remaja yang mengalami kecanduan game online cenderung menunjukkan peningkatan agresivitas. Waktu bermain yang lama juga berhubungan dengan perilaku bullying, baik secara online maupun di kehidupan sehari-hari.
Hal ini sering kali terjadi dalam game kompetitif, di mana pemain melakukan trashtalk yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dan bullying terhadap pemain lain.
Ada juga yang namanya Trolling, yaitu tindakan bermain dengan cara yang mengganggu atau menjahili teman satu tim, serta taunting (menghina musuh), merupakan bentuk lain dari perilaku toxic. Tindakan ini sering kali didorong oleh sifat kompetitif dan frustasi saat bermain, terutama ketika hasil permainan yang tidak memuaskan.
Perilaku toxic yang muncul di kalangan remaja akibat kecanduan game online dapat memiliki dampak yang signifikan dan merugikan, baik bagi individu yang terlibat maupun bagi lingkungan sosial mereka.
Baca Juga:Â Bahaya Kecanduan Game Online Untuk Para Remaja
Salah satu dampak paling mencolok adalah gangguan kesehatan mental, di mana remaja yang menjadi korban cyberbullying atau perilaku agresif lainnya mengalami stres, kecemasan, dan penurunan kepercayaan diri.
Selain itu, perilaku toxic seperti trash talking dan trolling dapat menciptakan suasana kompetitif yang tidak sehat, mengurangi semangat tim, dan menyebabkan konflik di antara pemain.
Hal ini sering kali berujung pada isolasi sosial, di mana remaja lebih memilih berinteraksi di dunia maya daripada membangun hubungan yang sehat di kehidupan nyata.
Dampak jangka panjang dari perilaku ini juga mencakup normalisasi tindakan agresif dan kurangnya empati, yang dapat mempengaruhi cara remaja berinteraksi dengan orang lain di masa depan.Â
Oleh karena itu, penting untuk mengatasi perilaku toxic ini agar tidak mengganggu perkembangan sosial dan emosional remaja.
Jika adiksi game online pada remaja bisa di atasi akan memberikan dampak penurunan perilaku agresif dan toxic pada diri remaja sehingga menciptakan diri individu yang lebih produktif dan lingkungan hidup yang sehat baik dalam diri maupun sosial.
Jadi kesimpulannya, game online menjadi populer karena menawarkan hiburan yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja, dengan fitur interaksi yang menarik.
Meskipun memberikan kesenangan. adiksi terhadap game ini sering kali menyebabkan perilaku toxic, seperti agresivitas dan bullying, terutama dalam konteks permainan kompetitif.
Baca Juga:Â Dampak Buruk Game Online terhadap Psikologi Mahasiswa
Remaja, yang berada dalam tahap perkembangan psikososial kritis, sering mencari identitas diri melalui interaksi di dunia maya, yang dapat memperburuk kecanduan dan perilaku negatif.
Dampak dari perilaku toxic ini tidak hanya mempengaruhi individu tetapi juga lingkungan sosial mereka, menciptakan suasana kompetitif yang tidak sehat dan mengurangi empati.
Oleh karena itu, penting untuk menangani masalah ini agar remaja dapat berkembang secara sosial dan emosional dengan lebih baik, menciptakan individu yang lebih produktif dan lingkungan yang sehat.
Penulis: Nur Aulia (202410230110162)
Mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News