Apakah Anak Usia Dini Wajib Bisa Calistung? Bahaya di Balik Memaksa Anak Usia Dini Belajar Calistung

Calistung
Ilustrasi: pixabay.com

Nuna adalah seorang murid di salah satu TK favorit di Kota Salatiga. Pagi hari itu dia bertanya kepada mamanya, “Mama, ini hari apa?” Mamanya menjawab, “Ini hari Rabu, dek.” Mendengar jawaban mamanya itu spontan ekspresi wajahnya berubah.

Dengan mata nanar dan hampir menangis dia berkata, “Mama, aku tidak mau berangkat sekolah! Aku tidak mau ikut baca tulis. Aku belum hafal, takut kalau disuruh maju tidak bisa.”

Situasi yang hampir serupa ternyata juga dialami oleh Meta, seorang murid TK yang bersekolah di TK favorit di Solo. Dengan wajah memelas dia berkata kepada mamanya, “Mama, aku tidak mau masuk sekolah. Aku capek disuruh tulis banyak.”

Baca Juga: Membangkitkan Semangat Literasi dan Numerasi melalui Program Kerja Pojok Calistung KKN Kampus Mengajar UAD

Bacaan Lainnya

Dua situasi di atas mungkin memberikan gambaran bagaimana pelajaran membaca dan menulis sangat menakutkan dan melelahkan bagi mereka. Lantas, bagaimana realitas praktik pembelajaran Baca, Tulis, dan Berhitung (Calistung) pada anak-anak PAUD di Indonesia?

Nuna dan Meta mungin mewakili sebagian kecil contoh dari anak-anak TK lainnya yang merasakan pengalama serupa. Saat ini kita melihat banyak anak usia dini (berumur di bawah 7 tahun) yang sudah bisa membaca. Mengapa hal ini terjadi?

Sebagian besar orang tua merasa bangga jika anaknya sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung di usia dini. Hal ini bukan tanpa sebab, karena anggapan jaminan anak siap memasuki sekolah dasar apabila sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung selepas dari taman kanak-kanak.

Ditambah lagi dengan banyak SD mensyaratkan calon peserta didiknya untuk bisa membaca saat memasuki bangku kelas 1. Berangkat dari alasan inilah orang tua berharap guru TK sudah mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung sedari dini.

Akibatnya banyak TK memasukkan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung ke dalam kurikulum sekolah mereka. Selain itu sekolah berlomba-lomba mendapatkan predikat sebagai ”TK Favorit”. Apa yang dijadikan tolak ukur sekolah favorit?

Akan dianggap sebagai TK favorit jika lulusan-lulusannya sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung saat masuk SD. Inilah realitas yang sesungguhnya terjadi. Realitas yang menyedihkan dan mengkhawatirkan.

Apakah ini artinya tidak boleh mengajarkan anak belajar membaca, menulis, dan berhitung? Apakah salah jika anak usia dini belajar Calistung? Bukankah kemampuan membaca, menulis, dan berhitung juga merupakan salah satu bentuk kognitif yang harus dikembangkan?

Menjadi tidak boleh dan salah apabila Calistung diajarkan secara langsung (tanpa metode bermain), karena ini sama saja dengan “sebuah praktik pemaksaan”.

Piaget mengatakan bahwa perkembangan kognitif anak terjadi secara bertahap. Perkembangan kognitif pada satu tahap merupakan lanjutan dari perkembangan kognitif tahap sebelumnya. Proses kognitif anak-anak dapat berkembang dari waktu ke waktu, dapat berkembang dalam menanggapi lingkungan, dan diperbarui dengan paparan informasi baru.

Baca Juga: Calistung: Baca, Tulis, Berhitung Merupakan Upaya untuk Mencerdaskan Anak atau Sebaliknya?

Pada teori ini, anak diprediksi memiliki kematangan secara kuantitas maupun kualitas berdasarkan tahapan-tahapan yang dilaluinya. Anak usia dini (2-6 tahun) berada pada Tahap Pra-operasional. Pada fase ini, anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Cara berpikir anak pada pertingkat ini pun bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis.

Dari paparan ini, berarti proses belajar harusnya sesuai dengan tingkat pencapaian perkembangan kognitif, keinginan, serta kesiapan diri anak.

Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Sementara itu, anak usia dini juga memiliki karakteristik: 1) bersifat unik; 2) berada dalam masa potensial; 3) bersifat relatif spontan; 4) cenderung ceroboh dan kurang perhitungan; 5) bersifat aktif dan energik; 6) egosentris; 7) memiliki rasa ingin tahu yang kuat; 8) berjiwa petualang; 9) anak usia dini memiliki imajinasi dan fantasi yang tinggi; dan 10) anak usia dini cenderung mudah frustasi dan memiliki rentang perhatian yang pendek.

Dengan melihat definisi dan karakteristik yang dimiliki anak usia dini maka proses pembelajaran PAUD yang sesuai adalah metode belajar aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan untuk membangkitkan rasa ingin tahu anak, memotivasi anak untuk berpikir kritis, menemukan hal-hal baru, dan memiliki kemampuan memecahkan masalah.

Dengan prinsip belajar anak PAUD yang aktif, kreatif, dan menyenangkan, ini berarti tidak dibenarkan adanya paksaan dalam proses belajar. Namun dalam kenyataannya tidak demikian yang terjadi di lapangan saat mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung.

Materi Calistung diberikan secara langsung, tidak dengan metode bermain yang menyenangkan. Guru melakukan metode drilling, menghafal, bahkan memberikan penilaian berupa angka ini nyatanya ditemui dalam proses belajar Calistung pada PAUD.

Baca Juga: Tumbuhkan Minat Baca, Mahasiswa Uhamka Revitalisasi Pojok Baca SDN Cilentung 1 Banten dalam Kegiatan KKN-DIK

Jelas sangat bertolak belakang dengan prinsip pembelajaran PAUD yang seharusnya. Memaksakan anak usia dini belajar membaca, menulis, dan berhitung ternyata membawa dampak buruk dan berbahaya bagi perkembangan mental mereka.

  1. Takut dan trauma – anak dapat mengalami rasa takut dan trauma belajar Calistung. Menangis dan mogok sekolah adalah contoh nyata reaksi mereka
  2. Stres – ketakutan yang berkepanjangan dapat membuat mereka stres, menjadikan mereka minder, tidak percaya diri, dan mudah menyerah
  3. Malas belajar – anak usia dini mengalami proses belajar yang melelahkan dan tidak menyenangkan. Alih-alih menyerap apa yang diajarkan, anak justru menjadi malas belajar. Karena pengalaman yang tidak menyenangkan, dipaksa, akhirnya menjadi sebuah keharusan bukan atas kesiapan, kemauan, dan kesanggupan sendiri.
  4. Mental Hectic – memaksa anak usia dini menguasai Calistung dapat menyebabkan anak terkena “Mental Hectic”, yaitu anak menjadi pemberontak.
  5. Rendahnya minat baca anak – memaksakan anak usia dini belajar Calistung membuat mereka tidak menyukai kegiatan membaca. Saat ini dampak ketidaksukaan membaca terlihat dari rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Diketahui, minat baca anak Indonesia tergolong mengenaskan. Sehingga, digolongkan sebagai tragedi nol buku. Rata-rata yang dibaca anak Indonesia per tahunnya hanya 27 halaman. Jauh dari peringkat pertama Finlandia yang membaca 300 halaman dalam 5 hari.
  6. Menghambat perkembangan otak kanan anak – memaksakan anak usia dini belajar Calistung dapat menghambat perkembangan otak kanan anak. Otak kanan merupakan tumbuhnya berkembangnya kreativitas. Jadi memaksa anak usia dini belajar Calistung berarti secara tidak langsung membunuh daya kreativitas anak.

Kita tentunya tidak mau anak usia dini Indonesia mengalami dampak buruk dari memaksakan belajar Calistung di usia mereka. Dibutuhkan kesadaran untuk bisa memahami bahwa kemampuan Calistung (baca, tulis, hitung) merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa usia SD. 

Ini berarti tidak dibenarkan memaksa anak usia dini untuk menguasai kemampuan tersebut. Seyogyanya kita sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat saling bersinergi untuk menciptakan support system lingkungan belajar yang menyenangkan bagi anak-anak usia dini, memperkenalkan (bukan memaksakan) kegiatan Calistung dengan cara yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Baca Juga: Pengembangan Ruang Perpustakaan Sebagai Penunjang Program GLS di SDN Tempuran II Pasrepan

Mari mewujudkan anak usia dini Indonesia yang merdeka. Merdeka mendapatkan hak mereka untuk bermain, merdeka untuk mendapatkan kesempatan belajar sesuai dengan kesiapan dan minat mereka, merdeka untuk bereksplorasi, berekspresi, dan berkreasi.

Penulis: Yusnita Nanda Andriyani Saputra
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Kristen Satya Wacana

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses