Jika melek aksara menjadi hal biasa, minat baca adalah hal yang istimewa. Sekedar mengeja telah menjadi kebiasaan, namun gemar membaca merupakan keistimewaan.
Tahukah kalian dalam hal minat baca, Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia. Tetapi dari belakang, hanya lebih unggul satu dari negara di Afrika Selatan, Botswana.
Dalam tajuk World’s Most Literate Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 9 Maret 2016, Indonesia menempati posisi kedua dari bawah. Hal ini menyebabkan Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang telah disurvei.
Pernyataan ini pun diperkuat dengan fakta yang diungkap oleh UNESCO mengenai minat baca masyarakat Indonesia yang sangat memprihatinkan, yakni hanya mencapai 0,001%. Itu artinya dari 1.000 orang di Indonesia hanya 1 orang yang benar-benar rajin membaca.
Selain itu, Survei Progamme for International Student Assessment (PISA) pada 2015, memosisikan Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara. Selama kurun waktu 2012-2015, skor PISA untuk membaca hanya naik 1 poin dari 396 menjadi 397.
Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat sepuluh terbawah.
Jika kita perhatikan data tersebut, presentase kenaikan minat baca dalam rentang waktu tiga tahun tidak begitu signifikan. Bahkan yang lebih miris, hanya mengalami peningkatan 1 poin saja.
Kendati demikian, yang perlu kita garis bawahi adalah bagaimana Indonesia bisa menjadi negara kedua terbawah yang minat bacanya rendah. Apakah hanya sekedar sulitnya akses buku yang dapat terjangkau.
Apa yang Menyebabkan Indonesia Jadi Salah Satu Negara yang Minat Bacanya Rendah?
Menurut Chairil Abdini, Dosen Universitas Indonesia mengatakan bahwa setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan minat baca Indonesia rendah, yaitu:
1. Gizi Buruk
Dalam masalah gizi ini, Indonesia termaksud 36 negara yang berkontribusi terhadap 90% masalah gizi dunia. Dalam Riset Kesehatan Dasar atau Riskedas 2013 yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dari Kementerian Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia sekitar 19,6 persen. Juga tubuh pendek (stunting) bahkan naik menjadi 36,8%.
2. Kualitas Pendidikan
Hasil uji kompetensi guru tahun 2015 hanya mencapai rata-rata 53,02%.
3. Infrastruktur Pendidikan
Indonesia masih berada jauh dari Singapura, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Dalam hal ini belum banyak sekolah yang memfasilitasi listrik dan laboratorium komputer, akses terhadap internet, dan teknologi komunikasi informasi.
4. Rendahnya Minat Baca
Menurut Chairil, setelah kemerdekaan Indonesia kewajiban membaca buku sudah tidak ada. Padahal saat Indonesia belum lepas dari para penjajah, Siswa AMS (SMA untuk pribumi) mewajibkan setiap siswanya untuk membaca 25 judul buku.
Terlepas dari keempat faktor tersebut, ada satu faktor utama yang masih menjadi kendala bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan minat bacanya.
Berdasarkan Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dilansir dari konde.co, ternyata penyebab masih rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah karena kurangnya akses untuk membaca, yaitu fasilitas perpustakaan, terutama pada daerah-daerah terpencil.
Data Kemendikbud juga menyebutkan, Indonesia bagian timur, seperti Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Barat memiliki tingkat literasi yang sangat rendah.
Adakah Dampak Negatif dari Rendahnya Minat Baca?
Jika hal ini terus dibiarkan, tidak dipungkiri akan ada banyak sekali dampak negatif bagi masyarakat Indonesia yang masih enggan untuk membaca. Sebab apabila kita rajin membaca maka pengetahuan kita akan bertambah.
Hal ini akan berdampak pada kualitas hidup sehingga tak salah bila membaca bisa menjauhkan seseorang dari kebodohan, dan kebodohan akan menghindarkan orang tersebut dari kemiskinan. Sayangnya belum banyak orang yang menyadari hal ini.
Berbagai hal pun akan dirasakan bagi orang-orang yang minim dalam literasi, seperti kurangnya pengetahuan dan wawasan, sedikit kosakata baru, sulit public speaking, dan masih banyak dampak negatif lainnya.
Menurut Syarifudin Yunus, pegiat literasi sekaligus Pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka, rendahnya budaya literasi masyarakat akan memiliki dampak yang fundamental yaitu pendidikan yang tidak berkualitas, tingginya angka putus sekolah, merebaknya kebodohan, meluasnya kemiskinan, meningkatnya angka kriminalitas, rendahnya produktivitas kerja, serta rendahnya sikap bijak dalam menyikapi informasi.
Lantas Bagaimana Solusinya?
Adanya masalah-masalah tersebut menjadi tugas bagi Pemerintah selaku pembuat program dan kebijakan. Selain itu, guru, dosen, perpustakaan sebagai lembaga baca, maupun orang tua juga seharusnya berperan aktif agar minat baca pelajar serta masyarakat tumbuh dan berkembang. Berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan:
1. Orang Tua dan Guru Mengambil Peran Memahamkan Siswa Giat Membaca
Menumbuhkan minat baca dimulai sejak dini, yaitu pada anak-anak. Anak-anak sekarang lebih menyukai media gawai daripada membuka buku. Oleh karena itu, peran orang tua adalah mutlak agar anak-anaknya rajin membaca.
Orang tua bisa memilihkan bahan-bahan bacaan yang menarik yang memberikan wawasan dan pengetahuan. Selain orang tua, guru juga mesti mengambil peran agar siswa di kelas lebih aktif dan berinisiatif mencari bahan bacaan.
2. Perpustakaan Lebih Inovatif Menyediakan Bahan Bacaan
Cara untuk meningkatkan minat baca berikutnya yaitu pada inovasi bahan bacaan itu sendiri. Kebanyakan perpustakaan menyediakan lebih banyak literatur ilmiah dan text-book tanpa memperhitungkan gejala atau dinamika kekinian.
Siswa sekarang lebih menyukai komik daripada buku sejarah, padahal buku sejarah juga isinya menceritakan fakta. Karena itu perpustakaan sebaiknya juga menyediakan buku-buku bacaan ilmiah yang dikemas dengan menarik namun tetap mengedepankan unsur fakta dan pengetahuan. Misalnya buku-buku sejarah yang dibuat dalam bentuk komik.
3. Kerja Sama Pemerintah, Penulis, dan Publisher Membuat Buku Bacaan yang Menarik dan Edukatif
Selain mendorong peran orang tua, guru, dan perpustakaan, kerja sama antara Pemerintah dengan penulis dan penerbit juga bisa mendorong meningkatnya minat baca masyarakat Indonesia.
Terlebih dahulu dilakukan survei minat berdasarkan kelompok umur, misalnya umur 4-7 tahun menyukai bacaan berisi gambar-gambar lucu, umur 8-12 tahun menyukai pelajaran ilmiah dengan desain cerita dan gambar ilustrasi yang menarik, umur 13-15 tahun lebih menyukai buku bacaan komik fiksi tapi menyisipkan unsur-unsur mata pelajaran, umur 17-18 tahun menyukai komik, umur 19-25 tahun lebih menyukai novel, usia 26-35 tahun lebih menyukai topik tips, umur 36 ke atas lebih menyukai topik berita dan artikel kesehatan.
Dengan mengklasifikasikannya, Pemerintah bisa membuat kebijakan, dan penulis serta penerbit juga bisa membuat dan menerbitkan buku-buku yang sesuai klasifikasi umur.
4. Program Gemar Baca di Lingkungan Pemerintah
Bukan cuma mendorong minat baca bagi pelajar saja yang perlu didorong, tapi juga minat baca di lingkungan pemerintah. Ini karena jajaran Pemerintah lebih berkutat pada tupoksi kerjanya sehingga sangat jarang membaca buku.
Oleh karena itu, Pemerintah perlu melakukan gerakan membaca di lingkungan pemerintah, misalnya hari Jumat sore melakukan aktivitas membaca di perpustakaan kelurahan selama 1 jam, sebagai alternatif kegiatan pelatihan dan pengembangan.
5. Mengadakan Event Pameran Buku Murah
Bagi sebagian kalangan, harga buku cukup mempengaruhi daya beli meskipun punya minat baca tinggi. Bagi sebagian lagi akan melakukan apa saja agar buku yang diminatinya bisa dimiliki. Dengan melakukan pameran, siapa pun berkesempatan memiliki buku kesayangan. Pemerintah, pihak ketiga maupun pegiat literasi bisa terlibat di dalamnya dengan melakukan promosi serta membiayai penyelenggaraannya.
6. Membentuk Forum dan Komunitas Literasi
Cara lain menumbuhkan minat baca adalah dengan membentuk komunitas baca dan forum pegiat literasi. Siapa pun bisa bergabung di dalamnya, mulai pelajar, mahasiswa, maupun penyuka buku.
Pengurus menentukan agenda-agenda yang menarik, misalnya Pekan Baca di mana setiap Sabtu atau Minggu komunitas menyelenggarakan kegiatan baca bersama di daerah-daerah tertentu antara lain di Kelurahan atau di Balai Desa.
Dengan kegiatan ini warga di sekitar lokasi kegiatan akan tertarik dan ikut bersama-sama membaca buku-buku yang dibawa oleh komunitas.
7. Bangun Gerakan Giat Membaca
Nah, membangun sebuah gerakan gemar membaca bisa jadi alternatif cara meningkatkan minat baca dan keingintahuan masyarakat tentang isi dari media baca. Secara legal, kegiatan ini sebaiknya dicanangkan oleh Pemerintah melalui program baik program daerah maupun gerakan nasional.
Panitia dalam gerakan ini dapat berasal dari latar belakang apa saja, baik dari tenaga pendidik, anggota DPRD, tokoh masyarakat, hingga ibu-ibu PKK di Kelurahan/Desa.
Jadi Mengapa Kita Harus Membaca?
Karenanya, membaca bukan lagi jadi satu hal yang harus kita hindari. Justru semakin banyak kita membaca maka ilmu yang akan kita serap dapat semakin luas.
Mengutip dari laman yogyapos.com yakni seorang Jurnalis sekaligus Duta Baca Indonesia Periode 2016-2021, Najwa Shihab mengatakan bahwa membaca mempengaruhi kemampuan otak dalam mencerna informasi. Bahkan ada banyak sekali manfaat membaca yang mungkin tidak disadari.
Ketika membaca, orang akan punya waktu lebih untuk berpikir. Karena di otak terdapat tombol post yang mampu memahami makna bacaan. Berbeda dengan menonton film atau mendengarkan musik, sel-sel di otak tidak maksimal digunakan.
“Membaca membuat hidup lebih bahagia, sampai-sampai aktivitas membaca dijadikan sebagai sebuah terapi kejiwaan (bibliotheraphy). Di Yunani Kuno dulu, perpustakaan dianggap sebagai tempat menyembuhkan gangguan kejiwaan. Psikiater Sigmund Freud merekomendasikan membaca bagi orang-orang yang mengalami depresi atau gangguan mental. Membaca buku selama enam menit dapat menurunkan level stress dan membuat otot rileks,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian, lanjut Najwa, membaca juga membuat orang tidak cepat pikun, karena sel-sel otaknya selalu digunakan. Di samping itu, orang akan mencapai usia 3 tahun lebih lama daripada mereka yang tidak membaca.
Penelitian lain menyebutkan, membaca buku lebih dari 3,5 jam per minggu menurunkan risiko kematian sampai 23 persen, sedang membaca buku hingga 3,5 jam per minggu menurunkan risiko kematian hingga 17 persen. Membaca mempengaruhi kemampuan bertahan hidup karena bisa meningkatkan kemampuan kognitif.
“Namun membaca buku jenis fiksi meningkatkan teori pikiran, yakni keyakinan, keinginan, dan niat guna memahami kenapa seseorang melakukan sesuatu atau bagaimana seseorang bertindak. Dengan menyelami tokoh di buku fiksi, kita belajar hidup serta mengalami kehidupan orang lain. Kita bisa lebih memahami emosi orang lain dan ini punya peran penting bagi perkembangan kecerdasan sosial seseorang,” paparnya.
Oleh karena itu, mari menjadi masyarakat yang mulai gemar dalam literasi. Sebab dengan membaca buku kita dapat ke tempat-tempat yang tidak pernah dikunjungi, ke perasaan yang tidak pernah kita rasakan, juga pembelajaran yang belum pernah kita pelajari sebelumnya.
Penulis:
- Lapina Lena
- Della Meira
- Ilham Arifin
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Bina Bangsa
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News