Belajar Dari Kasus Rachel Vennya: Mengurangi Kebisingan Dunia Digital dengan Bijak Bermedia Sosial

belajar bijak bermedia sosial

Beberapa pekan terakhir ini, muncul berita mengenai selebgram kondang Rachel Vennya yang dikabarkan kabur karantina setelah pulang dari Amerika bersama kekasihnya Salim Nauderer dan managernya Maulida. Berita ini bermula dari sebuah unggahan salah satu warga net yang mengklaim bahwa ia bekerja di Wisma Atlet Pademangan di bagian pendataan.

Dari unggahannya tersebut ia mengatakan bahwa seharusnya Rachel karantina selama delapan hari, namun ia kabur setelah tiga hari menjalani karantina. Unggahan tersebut tidak berhenti di situ saja, banyak sekali warga net yang kemudian membagikannya lagi ke platform lain sehingga berita ini menjadi viral.

Selain itu, beberapa oknum justru menjadikan berita itu sebagai ladang penyebaran hoaks sehingga beritanya menjadi simpang siur. Munculnya beberapa berita hoaks tersebut juga menghasilkan dampak yang besar bagi Rachel yaitu banyaknya ujaran kebencian atau hatespeech yang diarahkan kepadanya serta teman-temannya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Munculnya berita yang simpang siur tersebut beberapa dipatahkan oleh Rachel pada wawancaranya dengan Boy Willian di kanal Youtube pribadi milik Boy William, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan ujaran kebencian yang diterima Rachel.

Baca Juga: Berkaca dari Kasus Rasisme Ambroncius Nababan terhadap SARA sebagai Alat Pemecah Bangsa

Besarnya pengaruh yang dimiliki Rachel membuat banyak sekali warga net yang meramaikan berita ini di berbagai kanal media sosial serta banyaknya permintaan dari warga net agar Rachel diperiksa oleh kepolisian. Akhirnya, Rachel, kekasihnya Salim serta manajernya Maulida diselidiki oleh pihak yang berwajib, dan pada Rabu, 11 November 2021 mereka resmi ditetapkan menjadi tersangka kasus kekarantinaan dan kesehatan.

Berita Hoaks dan Hate Speech

Berkaca dari kasus tersebut, maka ada dua pokok pikiran yang berhubungan, yakni hoaks dan juga ujaran kebencian. Hoaks jika diartikan menurut KBBI daring memiliki arti sebagai berita bohong.

Dewasa ini banyak sekali berita bohong atau hoaks yang tersebar di masyarakat yang tentunya membingungkan dan simpang siur sehingga terasa bias untuk dikenali mana berita yang benar dan palsu. Tujuan penyebaran hoaks beragam, namun pada umumnya hoaks bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring opini, membentuk persepsi.

Hoaks juga disebarkan sebagai bahan lelucon atau sekedar iseng, menjatuhkan pesaing (black campaign), promosi dengan penipuan, fitnah, kritik tajam, penyebar kebencian, dan lain sebagainya. Dilansir dari CNN Indonesia bahwa dalam data yang dipaparkan Kominfo menyebutkan ada 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian.

Seperti yang sudah dikutip di atas terdapat beberapa tujuan dari penyebaran hoaks satu diantaranya ialah menggiring opini negatif pada masyarakat seperti kritik tajam yang akan merambat pada penyebaran pesan kebencian atau ujaran kebencian (hate speech).

Hate speech (ucapan penghinaan atau kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok lainnya dalam berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.

Permasalahan Rachel Vennya yang bermula dari hoaks yang kemudian merambat pada ujaran kebencian (hate speech) membuat dunia digital menjadi bising, kita sering sekali menemukan beritanya yang simpang siur di berbagai kanal media sosial mulai dari Instagram, Twitter, Facebook, Youtube, sampai aplikasi yang saat ini sedang banyak digemari yaitu tik tok.

Baca Juga: Bahaya Media Sosial dalam Pembentukan Karakter Anak pada Masa Pandemi Covid-19

Ramainya warga net yang membuat postingan, berita, atau bahkan yang hanya menyebarkan saja membuat kita menjadi lebih sering menemukan berita tersebut, bagi orang-orang yang tidak mengerti permasalahan yang sebenarnya menjadi rentan untuk terprovokasi oleh berita-berita tersebut.

Banyak sekali literasi yang menjelaskan penyebab dari kebisingan dunia digital (penyebaran hoaks dan ujaran kebencian) ini, seperti yang dilansir dari akurat.co bahwa terdapat lima poin penyebab kebisingan dunia digital yaitu revolusi media sosial (keterbukaan informasi dan tingginya konsumsi media sosial), literasi media yang minim serta kurangnya kritis terhadap informasi, dan pengguna media sosial yang menjadi pengedar informasi tanpa mampu melacak kebenarannya.

Era Post Truth

Dua poin terakhir ada yang disebut dengan Era Post Truth dan Konflik Horizontal, kedua hal tersebut menjadi alasan yang paling berpengaruh dan krusial di dunia digital, berita yang mengedepankan Era Post Truth tidak mengedepankan kebenaran, namun lebih ke kedekatan emosional dan keyakinan informasi yang disebarkan. Lalu konflik horizontal adalah peredaran informasi atau berita kebencian, dan kecenderungan pada bullying sosial.

Kebisingan dunia digital ini tentunya tidak lepas dari dampak yang terjadi baik itu dari pembaca ataupun dari seseorang yang dibicarakannya. Dampak psikologis adalah yang paling pertama terasa, bagi pembacanya dampak psikologis ini bisa berupa munculnya rasa kecewa, takut, dan bahkan rasa benci kepada orang yang dibicarakannya.

Dampak psikologis bagi seseorang yang dibicarakannya bisa berupa perasaan cemas, takut, malu, marah, bahkan menjadi traumatis ketika membaca berita mengenai dirinya.

Bagaimana mengurangi kebisingan dunia digital (penyebaran hoaks dan ujaran kebencian)? Tentunya sudah banyak sekali literatur yang membahas mengenai hal itu, seperti bacaan mengenai upaya literasi digital, workshop, dan seminar mengenai bahaya hoaks dan ujaran kebencian.

Namun pada kenyataannya, perkembangan informasi yang begitu cepat dan mudah seperti saat ini akan sulit untuk membuat semua orang berhenti membuat berita hoaks ataupun menyebarkan ujaran kebencian.

Baca Juga: Apa Sih Pengaruh Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental?

Bijak Menggunakan Media Sosial

Cara yang paling mudah bagi kita adalah dengan memulainya dari diri sendiri, mulailah bijak dalam bermedia sosial dengan selalu menyaring informasi dan berita, ada istilah saring sebelum sharing yang sangat cocok dengan upaya tersebut.

Selain itu juga ada yang disebut dengan prinsip-prinsip menggunakan media sosial untuk mewujudkan upaya bijak dalam bermedia sosial, melansir dari jurnal Al-Mishbah yang berjudul Islam dan Etika Bermedia Sosial.

Ada beberapa batasan yang bertujuan untuk membentuk tata krama dalam berkomunikasi secara verbal, antara kebebasan untuk beraspirasi dan tanggung jawab sosial dapat diselesaikan dengan melakukan pencarian prinsip yang bermanfaat sebagai batasan penerapan kebebasan. Berikut adalah empat prinsip yang bisa diterapkan:

  1. Paternalism principle, berdasarkan prinsip ini media memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Dari istilah “we are what we read or view” yang berarti kita menjadi apa yang kita baca atau tonton. Maka, masyarakat harus dapat memberikan kontrol terhadap pesan ataupun konten yang bertebaran di media sosial. Dengan hal ini pula hal-hal yang merugikan publik dapat dicegah.
  2. Harm principle, prinsip ini menyatakan bahwa kebebasan dalam berinteraksi juga perlu dibatasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari tindakan yang merugikan dan menyakiti seseorang.
  3. Offense principle, artinya dalam menyampaikan pesan juga dibutuhkan batasan- batasan tertentu, karena seseorang tidak dianjurkan untuk menimbulkan kegelisahan bagi orang lain.
  4. Moral principle, merupakan salah satu prinsip yang utama untuk diterapkan dalam bermedia sosial dan berinteraksi dengan masyarakat. Karena baik buruknya moral ditentukan oleh masyarakat. Dengan kata lain, individu berpotensi melakukan kesalahan jika masyarakat mengatakan bahwa yang ia lakukan adalah suatu kesalahan.

Berdasarkan pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa kebijakan kita dalam bermedia sosial akan berpengaruh bagi diri sendiri dan juga orang lain. Mengurangi kebisingan dunia digital bisa dimulai dari diri sendiri dengan melakukan hal kecil seperti menelaah informasi atau berita yang didapatkan dan tersebar di media sosial, serta tidak sembarangan share informasi yang belum tahu kebenarannya. Mari saling menjaga martabat diri dan orang lain dengan menjadi bijak berkomunikasi di media sosial.

Farah Salsabila
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI