Berkaca dari Kasus Rasisme Ambroncius Nababan terhadap SARA sebagai Alat Pemecah Bangsa

Kasus Rasisme Pemecah Bangsa
Sumber: SatukanIndonesia.com

Kembali terjadi kasus tuturan kebencian SARA yang menyerang eks Komosioner Komnas HAM, Natalius Pigai, oleh Ketua Umum Projamin, Ambroncius Nababan, Senin, 25 Januari 2021. Direktorat Tindak Pidana Saber Bareskrim Polri menetapkan Ambroncius sebagai tersangka kasus rasisme tersebut dan menahannya di Rutan Bareskrim Polri.

Pada laman akun sosial media Facebook miliknya, Ambroncius memosting foto wajah Natalius Pigai yang disamakan dengan gambaran gorila. “Edodoeee pace. Vaksin ko bukan sinovac pace tapi ko pu sodara bilang vaksin rabies. Sa satuju pace,”. Begitulah isi caption yang tertera pada postingan Ambroncius tersebut yang berupa nada sindiran kepada Natalius Pigai.

Postingan itu pun mendadak ramai dibincangkan di media sosial dan memunculkan ancaman karena dinilai sebagai tindakan rasisme. Kemudian setelah itu, beberapa pihak turut mengajukan laporan ke polisi antara lain Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Papua Barat (PB) yang melancarkan informasi di Polda Papua Barat dengan nomor LP/17/I/2021/Papua Barat pada 25 Januari.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Mengakui Kelompok Minoritas sebagai Kesatuan Indonesia

Pimpinan Tindak Pidana Siber Bareskrim Brigjen Slamet Uliandi menyatakan bahwa, konsep prognosis dilakukan selama kelompoknya melihat unggahan Ambrincius Nababan pada Facebook saat Januari 2021. Polri melihat postingan itu berupa sesuatu yang tidak patut diposting pada media sosial sebab mengandung SARA.

Bareskrim Polri kemudian mengimplementasikan konsep responsibilitas melalui analisis pada postingan Ambroncius Nababan itu. Kemudian, perkara ini dialihkan ke Bareskrim agar dapat tertanggulangi secara Akurasi.

Bareskrim langsung meluncurkan pemanggilan dan pemeriksaan kepada Ambroncius Nababan. Pemeriksaan kerap dilaksanakan pada saksi dan ahli bahasa, ahli ITE, serta ahli pidana. Kemudian gelar perkara dilaksanakan, dan berawal dari Ambroncius lalu ditetapkan sebagai tersangka. Dia lalu dijemput tim Bareskrim Polri. Sesudah pemeriksaan, dilaksanakan penahanan kepada Ambroncius dimulai pada 27 Januari 2021.

Ambroncius Nababan terancam dikenakan beberapa pasal karena perbuatannya itu melalui hukuman penjara lebih dari 5 tahun. Dia disinyalir melakukan tindak pidana ujaran kebencian yang mengindikasikan untuk menumbuhkan rasa kebencian atau konflik satu sama lain serta bagian masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Pasal 16 juncto Pasal 4 huruf b ayat (1) dan juga Ambroncius telah melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana ia menyebarluaskan gambar di media sosial dengan tujuan menyatakan kebencian atau penghinaan akan suatu atau sebagian golongan rakyat Indonesia.

Baca Juga: Persoalan HAM Masa Lalu, Kini dan Nanti

Pada kasus Ambroncius Nababan, ejekan bernada SARA yang dilakukan olehnya ini selain mencoreng nama baik Natalius Pigai, juga dinilai telah melukai hati masyarakat Papua. Ambroncius Nababan menyebut Natalius Pigai sebagai Gorila dan kadrun gurun.

Sebagai aktivis dan juga putra asli papua Natalius Pigai merupakan sosok yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Papua, apalagi kritikannya yang belakangan ini cukup keras dan mendalam kepada pemerintah.

Ambroncius mengatakan bahwa unggahan dalam kasusnya itu di awali dengan kekesalannya akan afirmasi Natalius yang menolak vaksin Sinovac dan lebih memilih vaksin dari luar negeri. Dan dalam kondisi yang emosional, ia kemudia mencari sesuatu yang bisa diunggah terkait Natalius, “Saya cari ini apa yang kira-kira bisa diposting untuk mengkritik beliau secara satire. Jadi saya lihat pas ada foto beliau dengan seekor gorilla,” kata Ambroncius.

Sumber: SuaraJakarta.id

Ia mengakui bahwa foto Natalius yang dimiripkan dengan gorila itu marak beredar di internet  dan asli bukan buatan dirinya. Ia mengakui hanya membuat caption untuk postingan itu. Dan tujuan dia memosting hal tersebut sebenarnya bukan bertujuan untuk menghina masyarakat Papuan melainkan ditujukan untuk pribadi Natalius Pigai.

“Selama pemerintahan Joko Widodo, pembantaian, pembunuhan dan kejahatan HAM di Papua cenderung didasari rasisme. Kita harus hapuskan rasisme. Negara memelihara dan mengelola rasisme sebagai alat pemukul tiap orang yang berseberangan dengan kekuasaan. Rasisme telah menjadi kejahatan kolektif negara pada Rakyat Papua, Bangsa Melanesia.” Natalius Pigai (korban rasisme)

Baca Juga: Kemerdekaan Indonesia Tahun 2020, Apakah Hanya di Bibir Saja?

Rasisme seperti pada kasus Ambroncius sering kita jumpai hampir setiap harinya, apalagi di era kemajuan teknologi global ini khusus dalam dunia media sosial. Kasus rasisme terhadap SARA dapat dilakukan oleh siapa pun dengan mudahnya, hanya melihat sesuatu yang berbeda atau yang tidak setara dengan hal pada umumnya saja, orang-orang sudah bisa menanggapi hal tersebut dengan negatif. Perilaku tersebut merupakan contoh sikap rasisme yang sering ditemui.

Dalam kasus Ambroncius, rasisme interpersonal berupa pelecehan adalah tindakan yang sungguh tercela. Dalam kehidupan bersosial ada baiknya kita lakukan dengan kebijaksanaan dan penuh tanggung jawab. Memikirkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya adalah cara terbaik untuk menyaring hal-hal apa yang akan kita lakukan saat ini. 

Tindakan rasisme merupakan hal yang harus di stop secepatnya agar kehidupan berbangsa dan bernegara tetap berjalan harmonis. Dengan melihat segala hal dari sudut pandang orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan merupakan langkah untuk menghentikan tindakan rasisme ini.

Kita menyadari bahwa setiap orang diciptakan Tuhan berbeda-beda, oleh karena itu kita jangan terpaku dengan pandangan pribadi saja namun harus berpikir luas lagi bagaimana cara menanggapi hal-hal yang berbeda dengan diri kita. Dan kita harus lebih bijak lagi dalam merespons perbedaan tersebut dengan cara-cara yang lebih bijak dan lebih baik.

Hana Berin Simarmata
Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI