Perkembangan teknologi dan masifnya penggunaan media sosial di kalangan anak muda semestinya menjadi peluang untuk menyebarkan semangat positif, kreativitas, dan inklusivitas.
Namun, yang terjadi tidak selalu demikian. Fenomena bullying dan hate speech atau ujaran kebencian justru kian marak, terutama di ruang digital yang kerap kali bebas dari pengawasan.
Kondisi ini menjadi kekhawatiran tersendiri terhadap pembentukan karakter generasi muda Indonesia.
Apa Itu Bullying dan Hate Speech?
Bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan secara berulang dan bertujuan untuk menyakiti atau merendahkan orang lain, baik secara fisik maupun verbal.
Sementara hate speech atau ujaran kebencian merupakan bentuk ekspresi yang menyerang seseorang berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, atau identitas lainnya.
Di era digital, bullying telah berevolusi menjadi cyberbullying (perundungan digital)—yaitu tindakan menyakiti orang lain melalui pesan teks, komentar negatif di media sosial, meme, atau bahkan penyebaran informasi pribadi tanpa izin.
Baca Juga: Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Perundungan (Bullying) di Kalangan Anak-Anak
Normalisasi Kekerasan Verbal di Kalangan Remaja
Di lingkungan sekolah, kampus, dan media sosial, bentuk bullying dan ujaran kebencian sering kali dianggap sebagai “bahan bercanda” atau “saling ejek biasa.”
Padahal, tindakan tersebut bisa meninggalkan luka psikologis yang dalam dan berdampak jangka panjang.
Bayangkan seorang siswa yang setiap hari menerima komentar, seperti “gendut,” “nggak pantas tampil,” atau “orang miskin jangan ikut-ikutan tren.”
Kalimat-kalimat ini mungkin tampak sepele bagi pelaku, tapi bisa menghancurkan kepercayaan diri dan membentuk trauma jangka panjang bagi korban.
Kata-kata bernada rasis, body shaming, ejekan terhadap latar belakang ekonomi, agama, hingga orientasi seksual, sering dilontarkan tanpa berpikir panjang.
Lebih menyedihkannya, banyak pelaku justru berasal dari kelompok usia muda yang seharusnya menjadi motor perubahan sosial yang lebih adil dan inklusif.
Baca Juga: Meminimalisir Tingkat Bullying dan Hate Speech di Lingkungan Sekolah
Dampak Psikologis dan Sosial yang Serius
Berbagai riset menunjukkan bahwa korban bullying berisiko mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan, bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Mereka juga cenderung kehilangan kepercayaan diri, menarik diri dari lingkungan sosial, dan kesulitan berprestasi di bidang akademik maupun kehidupan sosial.
Di sisi lain, penyebaran ujaran kebencian juga memicu perpecahan sosial dan memperkuat stereotip negatif di tengah masyarakat.
Dalam jangka panjang, ini menjadi penghalang bagi upaya menciptakan generasi yang toleran, sehat secara mental, dan produktif.
Tantangan di Era Digital
Kebebasan berekspresi di media sosial sering disalahgunakan sebagai alasan untuk melontarkan komentar kasar atau menyerang pribadi orang lain.
Platform digital, seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi ruang yang rentan terhadap penyebaran konten negatif, hinaan, hingga doxing (penyebaran data pribadi tanpa izin).
Sayangnya, kesadaran akan etika berinternet atau digital citizenship masih rendah.
Banyak anak muda yang belum memahami batas antara kritik dan serangan personal, antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian.
Peran Keluarga, Sekolah, dan Pemerintah
Mengatasi bullying dan hate speech bukan hanya tanggung jawab korban, tetapi memerlukan kerja sama berbagai pihak.
- Keluarga harus menanamkan nilai empati dan menghargai perbedaan sejak dini.
- Sekolah perlu membangun budaya toleransi dan menyediakan layanan konseling yang mudah diakses siswa.
Baca Juga: Etika Komunikasi Generasi Z di Zaman Sekarang Beserta Contoh Kasus
- Pemerintah melalui kebijakan dan edukasi harus memperkuat literasi digital dan perlindungan anak di ruang siber.
Saatnya Bergerak Bersama
Melawan bullying dan hate speech adalah upaya kolektif. Kita tidak bisa hanya menunggu perubahan dari sistem atau otoritas, tetapi harus memulainya dari lingkungan terdekat.
Jangan diam saat melihat teman dirundung. Jangan anggap kata-kata kasar sebagai “bumbu bercanda.” Jadilah suara bagi mereka yang dibungkam.
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Jika setiap individu mulai bersikap lebih bijak dan berempati di dunia maya, maka generasi kita bisa tumbuh menjadi generasi yang kuat, saling mendukung, dan pantang menjatuhkan satu sama lain.
Membangun generasi muda yang sehat secara mental, toleran, dan berempati adalah kunci untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Dunia maya maupun dunia nyata seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siapa pun untuk menjadi dirinya sendiri—tanpa takut disakiti atau dijatuhkan.
Penulis: Shipsapp 1
1. Erenzkya Ru (2451027)
2. Fyonna Napermanty (2431083)
3. Rendy (2441008)
4. Muhammad Restu Saputra (2442009)
5. Vivian (2441135)
6. Derrick Ho (2431066)
7. Nilam Haitika (2442010)
8. Jorel Ferys Silalahi (2451086)
9. Kevin (2441216)
10. Fiona (2441144)
11. Noges Vacin (2431070)
12. Rauf Amarullah (2451093)
13. Jelvin (2431041)
14. Angelina Ng (2441287)
Mahasiswa Universitas Internasional Batam
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News