Bursa Perdagangan Karbon Apakah akan Menjawab Permasalahan Lingkungan dan Hutan?

Bursa Perdagangan Karbon
Ilustrasi Bursa Perdagangan Karbon (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Pada tanggal 26 September 2023 lalu Pemerintah telah resmi meluncurkan perdagangan karbon melalui bursa karbon.

Presiden Jokowi memimpin langsung pembukaan tersebut. Ini merupakan salah satu kontribusi nyata Indoensia di dalam memerangi krisis iklim yang juga merupakan permasalahan global.

Hal ini juga merupakan target nasional yang berupa carbon neutral pada tahun 2060. Disebutkan bahwa perkiraan potensi dari perdagangan karbon ini sebesar 3.000 triliun rupiah.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dana ini yang kemudian akan disalurkan keberbagai program-program yang ramah lingkungan untuk mengurangi efek gas rumah kaca dan krisis iklim.

Pertanyaannya kemudian, apakah bisa program ini membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan lingkungan secara simultan untuk menangani krisis iklim?

Apakah kekhawatiran tentang greenwashing yang selama ini dilontarkan para aktivis lingkungan akan menjadi kenyataan?

Apakah program-program ini hanya akan dimiliki oleh segelintir orang saja? Tentu pertanyaan-pertanyaan yang lain masih banyak lagi, dan tentu belum bisa dijawab saat ini.

Ide perdagangan karbon pertama kali muncul dalam pembicaraan internasional tentang perubahan iklim pada tahun 1990-an.

Pada saat itu, Protokol Kyoto (1997) adalah perjanjian internasional pertama yang menciptakan kerangka kerja untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dalam protokol ini, negara-negara yang memiliki target emisi harus mencapainya atau membeli kredit karbon dari negara lain yang berhasil mengurangi emisinya.

Secara global bentuk perdagangan karbon ada beberapa macam antara lain Clean Development Mechanism (CDM) yang memungkinkan negara-negara dengan target emisi untuk mendapatkan kredit karbon dengan berinvestasi dalam proyek-proyek berkelanjutan di negara-negara berkembang.

Emission Trading System (ETS) atau Sistem Perdagangan Emisi yang melibatkan alokasi kuota emisi kepada perusahaan atau lembaga pemerintah dan memungkinkan mereka untuk memperdagangkan izin emisi. Salah satu ETS yang terkenal yaitu di Uni Eropa yang mulai berlaku sejak 2005.

Di Indonesia sejarah perdagangan karbon dimulai sejak meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004.

Setelah itu banyak proyek-proyek CDM yang masuk ke Indonesia termasuk didalamnya proyek-proyek energi terbarukan, pembuatan energi dari biomassa, dan proyek pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Pada tahun 2010, Indonesia memulai inisiatif Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

Program ini bertujuan untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan, terutama melalui penghentian deforestasi dan degradasi hutan.

Selain itu, di Indonesia juga ada partisipasi beberapa perusahaan dan lembaga yang secara sukarela melakukan kegiatan proyek karbon, dimana mereka secara sukarela mengkompensasi emisi mereka dengan menginvestasikannya dalam proyek-proyek berkelanjutan dan mendapatkan kredit karbon sukarela.

Produk terbaru perdagangan karbon di Indonesia yaitu melalui bursa karbon. Untuk memfasilitasi dan mendukung program tersebut Pemerintah telah menyiapkan beberapa peraturan yaitu:

Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Untuk Pencapaian Target Kontribusi yang ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Peraturan mentri terkait yaitu:  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 7 tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.

Peraturan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan juga telah menyiapkan kebijakannya tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 14 tahun 2023.

Di dalam peraturan tersebut menjelaskan unit karbon yang diperdagangkan pada bursa karbon terdiri dari:

  1. Persetujuan Teknis Batas Atas dan Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU);
  2. Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK);
  3. Unit karbon lain yang ditetapkan oleh Menteri terkait.

Pengertian PTBAE yaitu penetapan batas atas emisi GRK bagi pelaku usaha dan/atau penetapan kuota emisi dalam periode penaatan tertentu bagi setiap pelaku usaha.

Sedangkan SPE-GRK yaitu surat bukti pengurangan emisi oleh pelaku usaha dan/atau pelaku kegiatan yang telah melalui pengukuran, pelaporan dan verifikasi, serta tercatat dalam Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) dalam bentuk nomor dan/atau kode regstrasi.

Lalu bagaimana cara mendapatkan unit karbon pada poin 1 dan 2 dapat dilihat pada peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 7 tahun 2023 tentang tata cara perdagangan karbon sektor kehutanan.

Dari segi peraturan terkait bursa karbon, bagaimana menjalankannya, siapa pihak pihak yang melakukannya, apa saja langkah-langkah yang diperlukan sepertinya sudah cukup lengkap dan terarah.

Namun perlu dicatat bahwa program ini masih tergolong baru dan belum semuanya memahami dengan benar pengertian, proses, teknis di dalam prosedur perdagangan bursa karbon tersebut.

Berkaca dari berbagai program yang telah dilaksanakan untuk menanggulangi masalah kerusakan lahan dan hutan.

Ada poin penting yang perlu dicatat agar program yang baru tidak bernasib sama dengan pendahulunya antara lain:

  1. Pentingnya memberi informasi yang lengkap dan utuh yang disampaikan kepada stakeholder dan masyarakat terdampak program
  2. Mencegah keterlibatan pihak yang hanya mencari keuntungan sesaat dari adanya program tersebut
  3. Meningkatkan komunikasi yang intensif dengan berbagai pihak yang terlibat, serta
  4. Pengawasan dan pelaporan secara transparan dan jujur pada program yang berjalan,

Maka masih menjadi pekerjaan rumah bagi pihak-pihak yang terkait untuk mensosialisasikan program ini dengan cepat, tepat dan utuh agar tidak tereduksi maknanya dan benar teknis pelaksanaannya kepada seluruh stakeholder yang tertarik didalam bursa perdagangan karbon ini.

Semoga bursa perdagangan karbon di Indonesia ini menjadi pintu bagi kelestarian alam dan hutan serta kualitas hidup yang lebih baik karena berkurangnya emisi yang diusahakan oleh semua pihak yang terlibat, dan pertanyaan pertanyaan diatas dapat terjawab dengan bukti nyata.

Penulis: Varian Triantomo
Mahasiswa Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI