Calon Wakil Rakyat Harus Kompeten

Dalam perpolitikan, Indonesia masih dapat dinilai sebagai perpolitikan yang cukup buruk. Hal ini dapat terlihat dari masih banyaknya pelanggaran menyangkut politikus-politikus Indonesia berupa yang paling tersorot seperti kasus korupsi, kemudian seperti kontroversi anggota parlemen yang tidur saat bertugas, atau bahkan sekedar pengingkaran janji politikus saat menjabat.

Jika dibandingkan saja dengan beberapa negara tetangga, hanya sekedar perhitungan kasus korupsi saja Indonesia masih terpuruk. Terpaut data indeks penilaian terhadap antikorupsi, Indonesia berada di urutan ke-6 di daerah asia tenggara, masih tertinggal jauh dengan negara seperti Singapura dan Malaysia. Lalu, pertanyaannya mengapa bisa seperti ini hingga saat ini.

Baca juga: Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah: Ancaman Demokrasi Lokal

Bacaan Lainnya
DONASI

Secara logika, sebuah masalah dapat diselesaikan dari akar permasalahan tersebut, nah, sekiranya akar dari permasalahan ini adalah pelaku-pelaku dari perpolitikan Indonesia yang terpilih saat pemilu. Dapat disimpulkan salah satu akar dari permasalahan ini adalah sumber daya manusia yang tidak berkompeten untuk menjabat dan mendapat kepercayaan dalam perpolitikan Indonesia.

Dibawa lebih kedalam akarnya lagi, hal ini dapat terlihat dari bahwa tidak ada seleksi yang cukup untuk memilih dan memperbolehkan seseorang untuk mencalonkan diri pada pemilu dan yang sehingga membuat beberapa sembarang orang dapat mencalonkan diri dan bahkan mungkin terpilih menjadi perwakilan rakyat. Ketidaklayakan seleksi calon legislatif ini terlihat cukup parah dari beberapa persyaratan seleksi pencalonan.

Contoh pertama salah satu bukti dari tidak kecukupan dari persyaratan seleksi calon-calon legislatif, dimana syarat pendidikan minimal hanya lulusan SMA. Bukannya dengan hal ini menyepelekan lulusan SMA, namun jika dibandingkan saja dengan persyaratan untuk kerja sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta kebanyakan minimal pendidikan S1 dan serendah-rendahnya D3.

Menurut saya, memang tidak dapat digeneralisasikan bahwa lulusan SMA tidak lebih baik dari yang berkuliah, namun alangkah baiknya bahwa perwakilan dari rakyat adalah orang-orang yang standar nya lebih dari kebanyakan orang. Lagipula juga anggota legislatif akan juga menentukan besar aturan-aturan dan kehidupan rakyat negara.

Mungkin pernyataan sebelumnya tidak dapat sepenuhnya dibenarkan, namun adapun hal lain. Contoh kecacatan seleksi kedua, bahwa mengapa tidak adanya seperti tes yang spesifik yang dilakukan oleh badan pemilihan. Dalam perekrutan PNS saja terdapat seleksi yang cukup ketat untuk menentukan orang yang pantas untuk direkrut, malah kenapa rekrutan orang yang diperuntukan sebagai wakil rakyat tidak ditentukan kelayakannya.

Dengan adanya beberapa tes, setidaknya membuat kita sebagai pemilih tau standar dari orang-orang yang kita pilih. Saat ini layaknya calon hanya akan ditentukan oleh partai pengusung. Hal ini sangat tidak efektif, karena kelayakan calon hanya ditentukan oleh satu pihak dan bukan pihak panitia pemilihan.

Contoh-contoh payahnya syarat kelayakan dari partai dapat dilihat seperti banyaknya artis-artis yang diusung karena mengandalkan popularitas mereka dan juga padahal belum tentu mereka kompeten dalam dunia perpolitikan. Kemudian selain pengusungan artis, ada juga partai mengusung seseorang karena dinilai dari segi kekayaan.

Partai mengusung seseorang yang dinilai setidaknya mempunyai modal untuk berkampanye atau bahkan partai mengusung seseorang karena ada dorongan uang gelap semata.Terlihat jika kelayakan ditentukan oleh partai pengusung sangatlah buruk. persyaratan kelayakan calon berbeda-beda tiap partai dan kelayakan calon dinilai dari hal-hal bodoh seperti uang, popularitas, dan dari bukan standar diri calon itu sendiri.

Kemudian pada poin yang paling kontroversial dan yang paling menunjukan bahwa pemilihan caleg di Indonesia masih sangat buruk, yaitu dimana diperbolehkannya mantan koruptor dan napi untuk mencalonkan diri. Poin ini tercantum pada Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2017 Pasal 240 (1) huruf G tentang Pemilihan Umum (Pemilu) disebutkan, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.

Dalam poin itu disebut bahwa mantan koruptor dapat mencalonkan diri sebagai caleg hanya dengan syarat dia harus mengakui dirinya koruptor. Dari pandangan awam saja hal ini menjadi sesuatu yang tidak bisa dibenarkan dan sangat konyol.

Baca juga: Menilik Tragedi Helikopter Iran: Perspektif Politik, Ekonomi, dan Kebudayaan pada Masa Jabatan Presiden

Tidak habis pikir apa yang alasan dari pembentukan UU tersebut, bagaimana bisa seorang kriminal diizinkan nyaleg hanya dengan mengakui dirinya seorang kriminal. Kata kriminal saja pada seseorang sudah terdengar hina, malah ini mengapa bisa sampai dapat mencalonkan diri untuk perwakilan rakyat. Kemudian dari dirinya sendiri apa tidak malu pernah jadi maling.

Betapa konyolnya jika suara-suara kita diwakili oleh seorang kriminal bahkan seseorang yang pernah mencuri uang kita sebagai rakyat. Kita sebagai rakyat seharusnya menginginkan suara rakyat diwakili orang-orang yang kompeten bahkan orang-orang yang dapat disebut hebat, bukan malah diwakili oleh maling.

Dengan banyaknya hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik Indonesia masih sangat buruk. Hal ini menjadi salah satu masalah yang harus menjadi sorotan, karena politik bukanlah hal yang sepele, apalagi masalah ini menyangkut rakyat.

Baca juga: Menyoroti Paradigma Gender dalam Politik dan Masyarakat: Membangun Kesetaraan dan Mengatasi Stigma terhadap Perempuan Pemimpin

Dengan politik yang masih bobrok, mau bagaimana rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera, dengan banyaknya aspirasi yang tidak pernah tersampaikan dan diterapkan. Belum lagi banyaknya pembentukan UU yang tidak masuk akal dan sering kali hanya merugikan rakyat.

Maka memang perlu adanya perbaikan pada lingkungan perpolitikan Indonesia dan dapat dimulai dari akarnya, yaitu saat dimana kita memilih siapa yang akan menempati kursi-kursi politik Indonesia.

 

Penulis: Aryasatya Farzanarochman
Mahasiswa Hubungan Internasional,
Universitas Brawijaya

Editor: Anita Said

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

 

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI