FGM (Female Genital Mutilation) di Timur Tengah dan Afrika Utara: Produk Ketidaksetaraan Gender?

FGM
Ilustrasi Female Genital Mutilation di Timur Tengah dan Afrika Utara (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Terdapat 30 negara di kawasan Afrika dan Timur Tengah yang rutin melakukan Female Genital Mutilation atau FGM dengan angka korban terakhir mencapai lebih dari 200 juta perempuan dan anak perempuan yang hidup di dua kawasan tersebut.

Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan dalam bahasa sehari-hari adalah sebuah prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan bagian luar (pemotongan klitoris).

Tujuan dilakukan hal tersebut untuk meredam hasrat seksual dan menjaga kehormatan seksual perempuan sebelum para perempuan tersebut menikah.

Bacaan Lainnya
DONASI

Selama berabad-abad sunat perempuan ini sudah banyak dipraktikkan dibanyak negara di dunia, salah satunya adalah negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir, dan Kurdistan Irak.

World Health Organization mencatatkan suatu negara yang terletak di kawasan bagian Afrika Utara mencapai angka 90% Female Genital Mutilations (FGM) untuk wanita berumur 15-49, yaitu Mesir (Saadawi, 2001).

Dikuatkan oleh fakta yang didapatkan dari penelitian di Hali, Kegubernuran Al Qunfudhah, Arab Saudi dimana budaya FGM masih berakar dalam budaya masyarakat semi perkotaan dan pedesaan sehingga prevalensi FGM pada wanita di Arab Saudi, baik Saudi maupun non Saudi berusia kurang dari 18 tahun.

Karena praktik ini banyak sekali dilakukan pada perempuan di usia muda maka prosedur FGM sudah pasti akan sangat menimbulkan trauma, seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan gangguan stress pasca trauma.

Jika dilihat dari sudut pandang medis, maka konsekuensi langsung dari FGM adalah rasa sakit yang luar biasa dari pendarahan yang terjadi dimana ini dapat menyebabkan hilangnya kesadaran atau bahkan kematian (Almeer, 2021).

Penderitaan yang dialami oleh korban akan berlangsung pada tiga jenjang atau proses dalam hidup korban, yaitu sehabis prosedur FGM dilakukan, sewaktu melakukan hubungan seksual, dan saat melahirkan.

Karena rasa sakit yang luar biasa serta tahapan rasa sakit yang tiada akhirnya, maka FGM pernah disapa hangat dengan panggilan “tiga kesedihan feminine”.

Penyebab Praktik FGM

Seiring berjalannya waktu, praktik FGM dilandasi dengan alasan bervariasi. Misalnya pada masa pra-islam, memang ada praktik-praktik FGM dan salah satu mengapa praktikum ini dilakukan adalah untuk menciptakan kenyamanan saat menaiki unta atau berkuda.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Provinsi Kirkuk dan Irbil memperlihatkan tingkat FGM yang konsisten, artinya sering dilakukan.

Mirisnya jawaban yang didapatkan ketika melakukan penelitian di wilayah tersebut mengenai alasan melakukan FGM adalah karena itu hal yang “normal” dan mayoritas melandasi kewajiban agama dan tradisi sebagai alasannya.

Walaupun sebenarnya hukum islam mengenai FGM sendiri masih tergolong abu-abu, karena masih adanya perbedaan mengenai FGM oleh para ulama di kawasan Timur Tengah.

Salah satu alasannya yang paling menggelitik adalah adanya ketakutan di tengah-tengah keluarga wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah akan pencarian suami bagi anak perempuannya jika belum melakukan FGM karena ada anggapan bahwa klitoris adalah sesuatu yang “kotor”.

Fakta yang paling memilukan hati adalah kenyataan bahwa sebagian besar pelaku atau aktor praktik FGM ini adalah sesama “wanita”,(Lubis, 2006).

FGM sebagai Produk Ketidaksetaraan Gender dan Pelanggaran HAM

Pada tahun 2006, Center for Reproductive Rights sudah mengeluarkan pernyataan dan pengakuan internasional bahwa FGM atau Female Genital Mutilation merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap hak perempuan dan anak perempuan atas The Rights to Life and to Physical Integrity dan The Right to be Free From All Forms of Gender Discrimination.

FGM lagi-lagi merupakan satu pembuktian bahwa perempuan harus melakukan perjuangan yang gigih dalam menghadapi tantangan yang hebat semata-mata untuk mendapatkan “keadilan” yang merupakan hak nya sedari dulu.

Sebuah konstruksi sosial mengenai ke-tabu-an dalam budaya Timur dalam membahas isu-isu seksualitas menyebabkan tumpulnya hukum dan politis mengenai penelitian FGM di kawasan negara-negara Arab.

Fenomena FGM ini merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan isu sosial atau epidemik yang melekat di kawasan Timur Tengah.

Ketidaksetaraan gender di kawasan Timur Tengah Afrika Utara dalam fenomena FGM menggaris bawahi bahwa seringkali hambatan sosial baik dari negara maupun masyarakat lah yang dengan sendirinya menciptakan ketimpangan keadilan gender tadi.

Divergensi Arab dan Mesir akan FGM

Death of an 11-year-old girl merupakan sebuah fenomena nyata tragisnya dampak praktik FGM dan ini menjadi pintu yang membuka mata pemerintahan Mesir untuk menindak dengan serius pelaku atau aktor FGM.

Undang-undang yang memberlakukan sanksi denda sejumlah $ 1.000 dan hukuman maksimal dua tahun kepada aktor dan pelaku FGM sudah mulai disahkan dan diberlakukan pada bulan Juni 2008.

Berbeda dengan Mesir yang memang sudah mengakui keberadaan FGM dengan tindakan lanjut yang dilakukannya melalui Undang-Undang yang sudah disahkan, Arab Saudi masih berpura-pura buta karena terdapat penyangkalan akan praktik FGM yang masih berlangsung di Arab Saudi.

FGM masih merupakan sebuah polemic bagi Arab Saudi, belum ada nya undang-undang pelarangan FGM secara keras menjadi salah satu penyebab polemik ini.

Terdapat keyakinan bahwa di Arab Saudi FGM “tidak lazim” untuk dilakukan, padahal pada data persalinan yang didapatkan dari Rumah Sakit Universitas King Abdulaziz masih banyak wanita yang melakukan FGM di Arab Saudi.

Secara langsung melalui tindakan yang ditunjukkan, Pemerintahan Arab lebih menyalahkan data statistik yang masih kurang dalam mendata angka FGM sehingga mengosongkan permasalahan FGM ini dari yurisdiksi negaranya.

Perbedaan tindakan yang ditunjukkan oleh kedua dapat dikaitkan dengan sistem pemerintahan dari kedua negara, Mesir sebagai negara Republik walaupun memang tergolong terlambat dalam bertindak tegas akan isu ini masih memperhatikan dan membuka mata akan FGM.

Sedangkan Arab Saudi yang menganut sistem pemerintahan Monarki cenderung mengabaikan hak politik warga negara dalam hal ini hak-hak perempuan.

Dengan kata lain kekosongan perlindungan hukum mengenai FGM di Arab Saudi mengindikasikan bahwa hak perempuan belum menjadi kepentingan atau agenda politik negara tersebut.

Kesimpulan

Salah satu alasan praktik FGM adalah agar para wanita dapat menjaga kesuciannya untuk semuanya dan agar tidak menjadi aib keluarga.

Ini memperlihatkan bahwa pikiran atau ideologi bahwa wanita adalah kelas dua di bawah pria masih sangat kental di kawasan ini.

Wanita masih terbatas pada fakta bahwa perempuan dan wanita diciptakan hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki dan symbol akan kesucian keluarga serta budaya.

Namun, yang benar adalah FGM merupakan produk dari pelanggaran hak asasi manusia dan ketidaksetaraan gender.

FGM merupakan suatu fenomena yang menunjukkan bagaimana kehidupan wanita atau perempuan di Timur Tengah tidak hanya disusun oleh “budaya” dan “islam”, tetapi juga oleh lokasi kelas, sistem dunia, dan tentu negara atau bahkan elit politik di dalamnya.

Penulis: Kazia Sabbathine
Mahasiswa Hubungan internasional, Universitas Padjadjaran

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI