Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati di Bandung secara resmi akan memperoleh hukuman mati. Pelaku pemerkosa 13 santriwati, Herry Wirawan mendapatkan vonis mati dari Pengadilan Tinggi Bandung (PT Bandung) pada Senin 4 April 2022.
Sebelumnya, Herry Wirawan mendapatkan vonis penjara seumur hidup dalam sidang vonis di PB Bandung, 15 Februari 2022. Selain vonis mati, Herry juga diwajibkan membayar restitusi sebesar Rp300 juta lebih.
Vonis itu menganulir putusan PN Bandung yang sebelumnya membebaskan Herry dari hukuman pembayaran ganti rugi terhadap korban tersebut. Namun vonis tersebut membuat kecewa banyak kalangan yang berharap terdakwa dihukum seberat mungkin.
Baca juga: Problematika Sanksi Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak
Maka dari itu setelah melalui beberapa pemeriksaan dan pertimbangan, dan melalui sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis, Dr. H. Herri Swantoro, S.H., M.H. menganggap tidak ada yang bisa meringankan hukuman dari Herry Wirawan, pemerkosa 13 Santriwati itu.
Sehingga setelah menerima permintaan banding dari jaksa atau penuntut umum, mereka menetapkan untuk menghukum terdakwa tersebut dengan pidana mati atau hukuman mati. Oleh karena telah divonis mati, Herry Wirawan selaku pelaku perkosaan terhadap 13 perempuan santri itu tidak akan mendapatkan hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik seperti yang diatur dalam pasal 81 Ayat (7) UU Nomor 17/2016.
Pihak kejaksaan dan pihak yang telah menginvestigasi mengharapkan putusan pidana hukuman mati tersebut dapat dijadikan untuk pencegahan ke depan, supaya kasus-kasus kekerasan seksual tidak terulang kembali.
Baca juga: Analisis Kasus Pelanggaran Kode Etik Advokat oleh Terduga Bambang Widjojanto
Pada mulanya, hukuman mati di Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan dalam pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher di terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
Pasal tersebut kemudian diubah dan dijelaskan dalam Undang-undang atau UU Nomor 2/PNPS/1964. Hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil dan dilakukan dengan cara menembak mati.
Adapun tata cara pelaksanaan hukuman mati ini dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang telah dibuat, antara lain seperti :
- Lokasi eksekusi mati dirahasiakan agar jauh dari jangkauan orang-orang yang tidak termasuk dalam daftar yang boleh hadir dalam eksekusi. Hal ini dilakukan untuk mengelabui lokasi eksekusi, biasanya regu akan mengecoh orang dengan iring-iringan mobil.
- Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
- Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
- Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian yang sudah disediakan di mana ada sasaran target di baju tersebut (di jantung).
- Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain kecuali jika terpidana tidak menghendakinya.
- Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut.
- Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu, misalnya diikat pada tiang atau kursi.
- Setelah terpidana sudah berada dalam posisinya, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan.
- Jarak antara terpidana dengan regu penembak antara 5 sampai 10 meter.
- Apabila semua persiapan telah selesai, maka jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
- Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, komandan regu penembak memberikan perintah supaya bersiap kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas, dia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
- Apabila masih terlihat tanda-tanda kehidupan, maka komandan regu segera memerintahkan kepada Bintara regu penembak untuk menembak terpidana menggunakan pistol tepat di atas telinga terpidana.
Baca juga: Penegakan Hukum di Indonesia: Hasil Pengupayaan Kewajiban Warga Negara
Hukuman mati seperti itu dianggap mampu mencegah perbuatan kejahatan, dikarenakan pelaku akan mengetahui akibat apa yang akan ia terima apabila melakukan kejahatan tersebut. Namun pada kenyataannya pelaksanaan hukuman mati mempunyai dampak negatif, seperti :
- Tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan karena jenis sanksi menghilangkan nyawa
- Biaya yang dikeluarkan untuk proses investigasi cenderung besar
- Waktu yang diperlukan untuk menyelidiki sebelum pemutusaan dijatuhkan hukuman mati cukup lama
- Kerugian mental seperti kesedihan tak akan dengan mudah diselesaikan bagi keluarga korban
- Munculnya pertikaian antara pihak yang menyetujui pelaksanaan hukuman mati dan pihak yang tidaak menyetujui hukuman mati.
Terkadang kekerasan tidak selalu menyelesaikan masalah. Karena kekerasan tidak perlu dibalas dan diselesaikan dengan kekerasan pula. Kekerasan tidak dengan mudahnya hilang karena pelaku suatu kasus telah dijatuhi hukuman mati.
Demikian penjelasan seputar kasus hukuman mati yang diberikan kepada Herry Wirawan beserta tata cara pelaksanaan dan dampak nya.
Jadi, apakah layak seorang pelaku kejahatan dijatuhi hukuman mati?
Penulis: Jovanca Indira W.
Mahasiswa Manajemen Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta
Kerennn lope