Merajalelanya tindak pidana kekerasan seksual pada anak di Indonesia saat ini merupakan sebuah keadaan yang dapat dibilang darurat. Tindak kejahatan tersebut berupa kekerasan seksual, pencabulan, dan berbagai perbuatan pelecehan seksual pada anak. Menurut data tahun 2002 menunjukkan anak usia 6-12 tahun paling sering mengalami kekerasan seksual (33%) dan emosional (28,8%), dibandingkan dengan kekerasan fisik (24,1%). Pada tahun 2015 menurut komisioner KPAI, Jasra Putra terdapat 218 kasus dan di tahun 2016 terdapat 120 kasus kekerasan seksual. Sementara pada tahun 2017 KPAI mencatat terdapat 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini membuat kekawatiran di masyarakat apalagi anak anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara karena anak anak adalah aset dari negara. Negara harus hadir di garda terdepan dalam mencegah maupun menangani masalah kejahatan seksual pada anak. Negara harus mampu membuat rasa aman kepada semua warga negara terutama pada anak anak dalam hal ini diperlukan hukuman yang setimpal bagi pelaku tindak kejahatan seksual pada anak.
Tetapi hukuman pidana bagi pelaku kejahatan seksual sebagaimana tercantum dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak dianggap belum efektif sehingga Pemerintah menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 2016 yang menerapkan pemberatan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual diantaranya dengan memberlakukan kebiri secara kimia. Kebiri (disebut juga pengebirian atau kastrasi) adalah tindakan bedah menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan dan fungsi ovarium pada betina.
Penerapan kebiri secara kimia ini menimbulkan problematika di masyarakat terkait efektifitas dan pemberlakuannya yang dianggap melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Tak hanya menjadi problem di masyarakat tetapi hal ini juga menjadi problematika di kalangan eksekutor yaitu Dokter karena yang dapat mengeksukusi kebiri bagi pelaku kejahatan seksual adalah ahli medis. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menolak menjadi eksekutor karena dianggap melanggar kode etik Kedokteran Indonesia dan melanggar sumpah Dokter. Di lain sisi banyak kalangan akademisi dan masyarakat yang mendukung sanksi kebiri kimia untuk memberi efek jera kepada pelaku kejahatan dan memberikan edukasi kepada siapapun untuk tidak melakukan kejahatan seksual pada anak karena akan berakibat fatal dan merusak kehidupan anak.
Dalam mengantisipasi dan mengurangi tindak kejahatan seksual pada anak maka pemerintah dan instansi yang terkait membutuhkan regulasi yang tegas, mengikat, dan relevan dengan kondisi Indonesia. Tidak hanya fokus tentang bagaimana cara menghukum pelaku tindak kejahatan tetapi korban juga harus diberikan perawatan baik fisik maupun psikis karena trauma yang dialami, disini KPAI harus mampu mendampingi korban yaitu anak anak untuk pulih dan bangkit memulai hidup normal. Jika diperluakan anak anak yang menjadi korban harus dirawat secara intensif . Proses hukum tidak boleh sampai keliru, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) harus tunduk pada hukum untuk melaksanakan hukuman kebiri kimia dan kalangan akademisi harus mampu meluruskan apabila ada kekeliruan dalam pelaksanaan.
Novi Enjelina Putri
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya