Indonesia sedang dirudung masalah yang sangat kompleks. Pemimpinnya bermasalah, perekonomiannya dikontrol asing, masalah pengangguran, masalah kemiskinan, lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kompleksnya masalah di negeri kita ini juga menjalar hingga ke organisasi mahasiswa dan kepemudaan (OKP). OKP kini sedang mengalami krisis yang akut. OKP yang awalnya sangat diharapkan menjadi rahim lahirnya pemimpin masa depan, justru semakin jauh dari harapan itu. OKP malah melahirkan orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya. Karena, OKP tidak lagi menjadi gudang para intelek-idealis, namun malah menjadi gudang intelek-oportunis (atau mungkin, pura-pura intelek).
Ada pergeseran kultur di organisasi mahasiswa dan kepemudaan. Pada awalnya, organisasi didirikan sebagai media mendidik calon-calon pemimpin kemudian berubah menjadi “batu loncatan” dalam mendapatkan posisi-posisi politis nan menguntungkan. Pergeseran ini bisa diamati dari kultur pemilihan dalam memilih pemimpin (Ketua Umum) di organisasi mahasiswa dan kepemudaan. Dahulu, untuk dapat terpilih sebagai ketua umum sebuah organisasi dibutuhkan personal ability yang berkualitas dari seorang kandidat. Namun, saat ini, untuk menjadi ketua umum di organisasi mahasiswa dibutuhkan dana ratusan juta hingga miliaran rupiah. Atau lebih tepatnya Ketua Umum yang dicari adalah para “pemburu kekuasaan”. Akhirnya demokrasi yang diadopsi oleh organisasi-organisasi mahasiswa dan kepemudaan tidak menghasilkan pemimpin yang dapat membenahi organisasi dan membawa perbaikan. Karena, pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang memiliki dana besar, bukan pemimpin berkapasitas. Hal inilah kemudian yang membuat organisasi mahasiswa dan kepemudaan semakin tenggelam dalam krisis yang berkepanjangan. Sayangnya, organisasi IKAMI Sulsel, yang menjadi tempat kita belajar dan mengaktualisasikan diri selama ini, telah terjangkit penyakit yang sama.
Kita teringat pada Krisis di tahun 1997 yang melanda dalam lima gelombang: moneter, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pada tiap gelombang, topeng Indonesia, yang sejak lama diyakini bukan topeng, melainkan muka asli, pecah berantakan. Tragisnya, yang kelihatan kemudian sulit dipastikan apakah muka asli atau topeng. Hal ini mengikis sisa-sisa rasa kepastian, dan menumpulkan apa yang secara populer disebut sense of crisis. Lembaga-lembaga lama bertahan kendati tanpa wibawa, kendati satu demi satu anggapan-diri sebagai bangsa sudah rontok. Yang terlihat adalah onggokan “seolah-olah”, a heap of delusion. Indonesia membangun dengan fundamental ekonomi yang seolah-olah kuat; dengan politik yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan politikus yang seolah-olah negarawan; dengan ABRI yang seolah-olah satria; dengan pengusaha yang seolah-olah captains of industry; dengan kemewahan seolah-olah kaya raya; dengan orang sekolah yang seolah-olah cendekia; dengan ahli hukum yang seolah-olah pendekar keadilan; dengan pengajar yang seolah-olah guru; dengan pelajar yang seolah-olah murid; dengan agamawan yang seolah-olah religius; dengan masyarakat yang seolah-olah ramah-tamah. Semua tampak salah, ibarat gigi palsu yang memang lebih kemilau dari gigi asli. Ketika krisis tidak mendatangkan perubahan yang sepadan, orang bilang karena para elite tidak punya sense of crisis. Ini tentu bukan penyebab, melainkan cuma sinonim, permainan kata. Namun permainan kata menegaskan alotnya sifat “seolah-olah” itu. Ibaratnya, kesadaran akan gejala “seolah-olah” itu bersifat seolah-olah juga, jadi gejala “seolah-olah” yang beranak-pinak, mirip kebohongan atas kebohongan, dosa atas dosa, delusion over delusion. (Parakitri, 2000).
Akhirnya para pemimpin “pemburu kekuasaan” tadi selalu tampil dalam onggokan seolah-olah dalam membela kebijakan yang dia lakukan. Tidak mampu membina kader tapi seolah-olah telah berusaha memperbaiki pengkaderan. Tidak mampu membesarkan organisasi tapi seolah-olah telah berjuang “sekuat tenaga” membesarkan organisasi. Tidak mampu tertib administrasi, tapi seolah-olah telah begitu baik menata administrasi. Tidak melakukan banyak hal, tapi seolah-olah telah melakukan segalanya untuk organisasi. Belum lagi sikap para pemimpin mahasiswa yang seolah-olah seperti pejabat negara yang penampilannya begitu elitis. Kita sebenarnya sudah sangat muak dengan berbagai onggokan seolah-olah yang ditampilkan para pemimpin mahasiswa/pemuda.
Lemahnya sense of crisis para pemimpin mahasiswa/pemuda mengakibatkan sulitnya organisasi mahasiswa dan kepemudaan keluar dari krisis yang semakin akut. Para kader organisasi mahasiswa dan kepemudaan termasuk IKAMI Sulsel harus menemukan pemimpin yang memiliki sense of crisis untuk mengeluarkan organisasi dari krisis yang berkepanjangan. Pemimpin yang memiliki sense of crisis akan membangun kembali organisasi mahasiswa dan kepemudaan menjadi rahim bagi lahirnya pemimpin masa depan. Memperbaiki organisasi mahasiswa dan kepemudaan sama dengan menyelamatkan masa depan Indonesia.
Malang, 2014
RAHMAT AL KAFI
Ketua Umum IKAMI Sulsel Cabang Malang Periode 2011-2012