Ilmu Kalam di Era Digital

Ilmu Kalam di Era Digital

Ilmu Kalam merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah dan sanad ajaran ketuhanan melalui beberapa aliran-aliran. Aliran-aliran dalam Islam terbagi menjadi beberapa sekte sehingga menimbulkan ajaran-ajaran Kalam yang bervariasi. Perbedaan-perbedaan ajaran dalam ilmu Kalam juga yang menyebabkan Islam menjadi agama mayoritas yang belum selesai dengan masalah internalnya.

Bermula dari sebuah pertempuran atau perang antara pihak Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan ilmu Kalam dimulai. Perang tersebut yang juga disebut dengan perang Shiffin telah memecah beberapa golongan yang kelak menjadi aliran-aliran dalam perkembangan ilmu Kalam.

Dalam perang tersebut terdapat golongan Syiah yang tetap setia membela Ali. Namun ada pula golongan yang keluar dari barisan Ali karena kekecewaannya terhadap Ali yang menerima tahkim dari Muawiyah yang dinamakan sebagai aliran khawarij. Kemudian ada aliran yang memilih untuk netral dan tidak ikut campur dalam konflik tersebut yaitu aliran murjiah.

Baca Juga: Mengenal Ilmu Filsafat

Bacaan Lainnya

Aliran-Aliran Kalam

Sejarah yang terjadi pada masa Ali dan Muawiyah menjadi saksi pecahnya agama Islam dari beberapa aliran atau golongan. Aliran atau golongan tersebut juga membawa ajaran yang berbeda-beda dan melahirkan ulama-ulama yang berbeda pula.

Sehingga tidak bisa kita pungkiri adanya aliran-aliran  Islam seperti Nahdhatul ulama, Muhammadiyah, Rifa’iyah, Hizbu tahrir, Syiah, Wahabi dan lain sebagainya merupakan warisan sejarah dari perpecahan pada masa Ali dan Muawiyah. Namun nabi Muhammad pernah bersabda bahwasanya akan terbagi golongan menjadi 73 golongan dan hanya satu yang selamat dari api neraka.

Beberapa ulama mempunyai tafsiran-tafsirannya terkait hadis tersebut, namun jumhur ulama mengatakan satu golongan tersebut dinamakan Dengan ahlussunah wal jamaah. Namun dari sekian banyak golongan atau aliran dalam Islam, mereka semua mengatasnamakan dirinya sebagai ahlussunah wal jamaah.

Fenomena tersebut membuat masyarakat muslim tentu kebingungan agar dapat mengikuti golongan yang selamat seperti yang dikatakan oleh nabi Muhammad. Sehingga masyarakat muslim yang masih abangan atau tidak terlalu memahami tentang ajaran Islam biasanya mereka memilih aliran atau golongan mana pun yang penting Islam.

Tidak hanya sebatas penyebaran ajaran, aliran-aliran dalam Islam juga mempunyai tekad yang besar terhadap kekuasaan. Kekuasaan menjadi alat yang cocok untuk menerapkan sebuah ajaran menjadi aturan resmi negara atau dinasti. Maka tidak heran sejak dinasti Umayyah dan Abbasiyah saling berebut kekuasaan, salah satu misinya adalah untuk membumikan masing-masing ajaran yang mereka bawa.

Tidak jarang, orang-orang yang melawan ajaran resmi dari dinasti akan mendapat hukuman berat. Seperti halnya imam Hambali yang melawan aliran muktazilah yang pada saat itu menjadi ajaran resmi dari dinasti Abbasiyah Khalifah Al Makmun. Imam Hambali mendapatkan hukuman berupa penjara dan penyiksaan sebagai bukti ketegasan pemerintah pada saat itu.

Baca Juga: Hakikat Individual Ilmu Pengetahuan dalam Aspek Etika

Salah satu bentuk nyata aliran dalam Islam yang punya tekad besar terhadap kekuasaan yaitu dengan cara berkamuflase menjadi partai politik. Karena partai politik merupakan kendaraan yang ampuh untuk masuk dalam ruang-ruang pemerintah.

Seiring berkembangnya zaman, Partai politik menjadi jurus andalan bagi ajaran dan aliran Islam untuk menguasai pemerintahan. Seperti halnya di Indonesia, partai politik Islam subur karena mayoritas masyarakat di Indonesia yaitu muslim. Dengan masing-masing membawa misi ajarannya, tak jarang atas nama agama namun menjelekkan partai atau golongan lain.

Selain melalui partai politik, di era digitalisasi ini aliran-aliran ilmu Kalam mulai membuka lahan dakwah melalui media digital. Hal tersebut menjadi nyata ketika kita melihat pengguna media digital atau media sosial tiap tahun mengalami kenaikan.

Pada tahun 2021 pengguna media sosial di dunia sebesar 4.2 miliar manusia. Sementara di Indonesia penggunaan media sosial pada tahun 2021 telah mencapai 170 juta penduduk. Jumlah tersebut sudah mencapai kurang lebih 60 % dari jumlah penduduk di Indonesia.

Potensi yang begitu besar tersebut yang dimanfaatkan oleh aliran-aliran ilmu kalam untuk meluncurkan dakwahnya.  Dakwah-dakwah yang dilakukan melalui media seperti YouTube, Instagram, Twitter, Facebook dan blog-blog di Google.

Pengguna media-media tersebut mayoritas digunakan oleh kaum muda, sehingga tidak heran jika sekarang banyak anak muda yang tiba-tiba menjadi ustadz atau orang yang ahli dalam ajaran Islam namun sebelumnya tidak pernah belajar di pondok pesantren.

Penyebaran Ilmu Kalam di Era Dgital

Berbagai banyak aliran semakin gencar untuk meluncurkan ajarannya melalui media sosial. Perang dakwah melalui media sosial di era digitalisasi menjadi hal wajar. Media sosial menjadi alat juga untuk mencari masa dalam misi kekuasaan dalam pemerintahan.

Ketika berbicara aksi dakwah aliran ilmu Kalam melalui media sosial di Indonesia menjadi ajang saling menyalahkan golongan lain dan membenarkan ajarannya sendiri. Untuk menyerang satu sama lain, tidak bisa kita pungkiri masing-masing golongan memiliki buzzer untuk memberikan kritikan satu sama lain agar orang lain juga tertarik untuk berkomentar.

Baca Juga: Ilmu Pemerintahan dari Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi

Namun terlepas dari semua itu, kemajuan di era digitalisasi tidak bisa kita pungkiri. Melihat kecanggihan dan kecepatan akses komunikasi telah memudahkan Manusia untuk melakukan kegiatan sehari-hari khususnya aliran-aliran ilmu kalam yang memanfaatkan untuk media dakwah. Kemajuan di era digitalisasi seperti dua mata pisau yang satu bisa mempunyai dampak positif dan satunya lagi bisa berdampak negatif. Antara dampak positif dan negatif tergantung dari penggunanya.

Dari sudut pandang positif, era digitalisasi telah memudahkan bagi aliran – aliran ilmu Kalam untuk saling memberikan dakwah atau ajarannya melalui media sosial. Kemudahan tersebut menjadi keunggulan bagi dakwah dalam Islam, selain mudah dilakukan tanpa harus turun jalan atau dari masjid ke masjid, era digitalisasi memberikan ruang agar seluruh masyarakat dunia mendengar dan melihat apa yang di dakwahkan.

Selain memudahkan media dakwah, ajaran-ajaran yang dibawakan oleh aliran ilmu Kalam sedikit demi sedikit menghapus konten-konten yang kurang baik di media sosial. Dengan adanya dakwah dari aliran-aliran ilmu Kalam, Beranda-beranda di media sosial bisa terisi oleh tontonan yang lebih bermanfaat.

Dari dampak positif, era digitalisasi juga mempunyai dampak yang negatif bagi kegiatan dakwah yang dilakukan oleh aliran-aliran dalam ilmu Kalam. Yang pertama, era digitalisasi telah membuka ruang secara liberal tanpa batas teritorial.

Hal tersebut berdampak pada munculnya aliran-aliran yang tidak relevan dengan suatu negara sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan. Seperti di Indonesia, aliran-aliran yang berusaha merusak NKRI telah banyak berkeliaran di media sosial.

Yang kedua, era digitalisasi menyuguhkan cara instan bagi manusia untuk mengakses segala sesuatu khususnya tentang ajaran Islam. Hal tersebut terbukti ketika banyak masyarakat yang belajar dari media sosial tanpa mengaji di pondok pesantren, kemudian muncul sebagai ahli ajaran Islam dadakan. Kemudian orang-orang yang belajar dari media sosial tersebut langsung menyebarkan pemahamannya tanpa mempelajari ilmu secara komprehensif.

Dari beberapa dampak tersebut, saran dari penulis yaitu kemajuan teknologi di era digitalisasi juga harus diimbangi dengan kedewasaan cara berpikir. Suburnya ajaran-ajaran ilmu kalam yang tersebar di media sosial dan berujung saling membenarkan, akan berdampak buruk terhadap satu kesatuan khususnya di Indonesia kalau tidak di imbangi dengan penanaman cara berpikir yang dewasa.

Agung Widodo
Mahasiswa IAIN Pekalongan

Editor: Diana Pratiwi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses