Kampung Kerukunan sebagai Implementasi Kebijakan Moderasi Beragama di Tingkat Desa

Family hands praying together (clipping path) for donation charity concept

Ringkasan Eksekutif

Indonesia dibayang-bayangi perpecahan akibat terlalu banyaknya keragaman. Konflik agama menjadi salah satu yang paling sering menimbulkan perselisihan di masyarakat. Desa Kondangmekar Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka merupakan salah satu desa yang masyarakatnya memiliki kepercayaan beragam.

Dalam keberagaman tersebut, masyarakat Desa Kondangmekar tetap dapat hidup berdampingan dengan rukun. Implementasi kebijakan moderasi beragama yang diinisiasi Kemenag belum sampai sepenuhnya ke kalangan masyarakat.

Harus ada regulasi atau payung hukum yang lebih jelas mengenai implementasi kebijakan moderasi beragama ini agar dapat berjalan sesuai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Pentingnya Penerapan Nilai Moderasi Beragama

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keberagaman. Namun, keberagaman tersebut tak jarang menimbulkan konflik hingga berdampak pada ketidakharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu penting hadirnya sikap toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

Sikap toleransi ini bisa mulai dibentuk di lingkup terkecil yaitu keluarga. Ketika terbiasa menanamkan sikap toleransi maka akan terbawa ke lingkup lebih luas misalnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Konflik agama dalam keberagaman masyarakat menjadi salah satu permasalahan yang banyak sekali terjadi di Indonesia. Bukan hanya dengan umat yang berbeda agama, tak jarang dalam umat seagama pun terjadi konflik karena perbedaan ajaran, kebiasaan, maupun pemahaman.

Seharusnya perbedaan itu tidak akan menimbulkan persoalan ketika antar masyarakat saling toleransi dan menghormati, namun tak sedikit pemeluk agama yang beranggapan bahwa agamanyalah yang paling benar, ajarannya maupun pemahamannyalah yang paling sesuai, sehingga menganggap ajaran agama lain sesat lantas tidak menghormati perbedaan yang ada.

Fenomena ekstrimisme dan radikalisme ini banyak terjadi di Indonesia. Dalam (Rachmah ida, 2015) disebutkan bahwa pola persebaran konflik agama tertinggi ada di Provinsi DKI Jakarta, disusul Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Jawa Timur.

Baca Juga: Islam Puritan dan Pengaruhnya bagi Kehidupan Beragama

Sedangkan menurut riset terbaru yang dilakukan Riset Setara Institute menunjukkan jenis pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang paling banyak ditemukan di tahun 2020 yaitu tindakan intoleransi.

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan bahwa intoleransi adalah tindakan tidak terpuji namun tidak dapat dipidanakan. Contoh tindakan yang termasuk intoleransi adalah menolak pembangunan rumah ibadah agama tertentu, melarang perayaan agama tertentu, menutup diri dan tidak bergaul dengan orang yang tidak seagama, dan lain sebagainya.

Pada tahun 2020, pelanggaran atas kebebasan beragama dan keyakinan ini paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat, disusul Jawa Timur di urutan kedua, kemudian provinsi Aceh, dan selanjutnya DKI Jakarta.

Keragaman pandangan yang terlalu ekstrem jika dibiarkan maka dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan negara Indonesia, maka untuk meminimalisirnya Kementerian Agama membuat kebijakan mengenai moderasi beragama.

Moderasi berasal dari kata moderat yang artinya tidak berlebihan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderasi diartikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Sehingga ketika disandingkan dengan kata beragama, bisa didefinisikan sebagai sikap mengurangi kekerasan dan menghindari praktik beragama yang ekstrem dalam cara pandang, sikap, maupun praktik beragama.

Baca Juga: “Pembelajaran Paradigma Baru”, Perubahan atau Sekadar Harapan?

Moderasi beragama tidak berarti beragama secara setengah-setengah, tetapi memberi batasan supaya masyarakat tidak melakukan praktik kekerasan atas nama agama. Moderasi beragama ini menjadi penting di Indonesia mengingat keberagaman masyarakat Indonesia yang dengan perbedaan tersebut selalu berpotensi terhadap konflik.

Program kebijakan moderasi beragama ini terus diupayakan untuk dapat diimplementasikan ke seluruh elemen masyarakat bukan hanya di lingkungan Kemenag. Kebijakan moderasi beragama ini merupakan satu dari tujuh kebijakan prioritas Kementerian Agama, sehingga program ini sedang gencar-gencarnya dikenalkan dan disosialisasikan ke berbagai elemen masyarakat.

Di lingkungan Kemenag Kabupaten Majalengka, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Majalengka Drs. H. Moh. Mulyadi, M.M.Pd. menghimbau para penyuluh agama Islam yang tersebar di setiap kecamatan untuk meningkatkan pemikiran Islam yang moderat.

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan kantor yang melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota yang berlokasi di wilayah kecamatan. Tugas dan fungsi KUA bukan hanya dalam bidang pernikahan saja, tapi juga mencakup bimbingan keluarga sakinah, bimbingan kemasjidan, bimbingan masyarakat Islam, dan lain sebagainya.

Sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, KUA melalui Penyuluh Agama Islam (PNS maupun Non PNS) menjadi ujung tombak untuk melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat sesuai spesialisasi bidang dan kelompok sasaran yang ditetapkan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama. Salah satu spesialisasi Penyuluh Agama Islam Non PNS yaitu penyuluh kerukunan umat beragama.

Baca Juga: Manusia dan Kekuasaan yang Adil dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam

Desa Kondangmekar, salah satu desa di Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka merupakan salah satu desa yang berpotensi terjadi konflik karena penduduknya yang terdiri dari empat kepercayaan. Namun, selama ini masyarakat Desa Kondangmekar tetap hidup dengan damai dan rukun. Sehingga muncul inisiasi untuk menetapkan Desa Kondangmekar sebagai kampung kerukunan.

Hasil dan Temuan

Desa Kondangmekar yaitu sebuah desa di Kecamatan Cingambul yang terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Cibali dan Dusun Bojongsari. Desa Kondangmekar memiliki luas wilayah 27.049 Hektar.

Batas administrasi Desa Kondangmekar sebelah timur berbatasan dengan Desa Tugumulya Kabupaten Kuningan, sebelah barat berbatasan dengan Desa Cikondang, sebelah utara berbatasan dengan Desa Sukarasa, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sadapaingan dan Gardujaya Kabupaten Ciamis.

Secara geografis, Desa Kondangmekar merupakan wilayah pegunungan atau dataran tinggi dengan ketinggian 600 mdpl yang terdiri dari pesawahan dan perkebunan. Jumlah penduduk Desa Kondangmekar terdiri dari 1.452 penduduk.

Di Kecamatan Cingambul, Desa Kondangmekar menjadi satu-satunya desa yang memiliki penduduk non muslim. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Desa Kondangmekar untuk dapat hidup bermasyarakat dengan rukun. Penduduk non muslim di Desa Kondangmekar terdiri dari kepercayaan penghayat, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik.

Baca Juga: World Religions

Aliran kepercayaan penghayat ini telah masuk ke Kondangmekar sejak dahulu tepatnya kurang lebih dari tahun 1950-an. Namun, kepercayaan ini memang berdasarkan keturunan dari para leluhur sehingga seiring berjalannya waktu aliran kepercayaan penghayat tidak berkembang malah semakin berkurang.

Pada tahun 2019, jumlah pemeluk agama non di Desa Kondangmekar muslim berjumlah 43 orang dan terus berkurang hingga saat ini di tahun 2022 tersisa 35 orang.

Kepercayaan penghayat ini merupakan aliran kepercayaan yang tidak termasuk ke dalam enam agama yang dikenal masyarakat umum dan diakui di Indonesia. Adanya aliran kepercayaan lain selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu seringkali membuat masyarakat pemeluk agama mayoritas tersebut mengabaikan kehadiran aliran-aliran kepercayaan lain.

Kepercayaan yang dipegang oleh para penghayat mempunyai tiga prinsip yaitu mengenai hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, manusia dengan sesama manusia lainnya, dan manusia dengan tumbuhan, hewan, dan lingkungan.

Eksistensi aliran penghayat yang tidak banyak diketahui masyarakat umum terkadang membuat pemeluk kepercayaan penghayat menjadi kesulitan. Sebelum Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP, pemeluk kepercayaan penghayat selalu diminta untuk memilih salah satu dari enam agama yang diakui Indonesia untuk dicantumkan di KTP-nya.

Baca Juga: Religion in My View

Kendati hal itu hanya tertulis secara administratif dan tidak benar-benar mengikuti ajarannya, hal tersebut terasa sangat diskriminatif. Faktanya, di Desa Kondangmekar sendiri para penganut kepercayaan penghayat yang bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara banyak yang memilih berpindah ke agama lain yang lebih diakui dan dikenal.

Berlakunya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PPU-XIV/2016 yang mengabulkan gugatan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 61 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Pasal 64, di mana sebelumnya para pemeluk kepercayaan penghayat tidak bisa mencantumkan kepercayaan kini dikabulkan dengan tercantumnya aliran kepercayaan di kolom agama KTP, namun hal tersebut lantas tidak membuat diskriminasi itu seketika hilang.

Aliran kepercayaan penghayat di Desa Kondangmekar tergabung dalam organisasi yang disebut Sunda Wiwitan. Segala bentuk kegiatan keagamaan kepercayaan penghayat atau Sunda Wiwitan ini berpusat di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.

Sama sekali tidak ada kegiatan khusus keagamaan atau apapun yang bersifat ajakan untuk ikut mengikuti kepercayaan tersebut yang dilaksanakan di Desa Kondangmekar, hal tersebut menjadi salah satu kunci tidak terjadinya konflik dan masyarakat masih hidup berdampingan secara rukun sampai sekarang.

Selain itu, dalam kegiatan sosial masyarakat yang memeluk kepercayaan penghayat ini sangat aktif ikut bergotong royong. Untuk pembangunan rumah ibadah agama lain pun seperti dalam pembangunan masjid atau kegiatan peringatan hari besar Islam seperti Rajab-an dan Maulid Nabi mereka tidak ragu untuk ikut menyumbang.

Baca Juga: Cukup Kamu dan Tuhan yang Tahu

Bahkan Kepala Desa Kondangmekar Kuswara, S.Sos., mengatakan selama ini keberadaan minoritas yaitu pemeluk kepercayaan penghayat di desa yang Ia pimpin sangat samar.

“Tidak pernah ada protes kendati di setiap masjid terdapat pengajian rutin dengan isi ceramah yang jelas terdengar lewat pengeras suara, tidak pernah ada pemeluk kepercayaan penghayat yang menyinggung atau menghina agama lain, bahkan mereka tidak menutup diri dari kegiatan sosial kemasyarakatan. Sejatinya, kita dan mereka hanya berbeda dalam keyakinan, dalam hati dan pikiran, dan selama dalam bermasyarakat kita tetap bisa bekerjasama maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas Kuswara.

Hal ini bisa menjadi percontohan bahwa begitulah cara beragama secara moderat. Meski terdapat perbedaan, tidak lantas mendiskriminasi bahkan memusuhi. Justru harus saling menghargai dan menghormati.

Moderasi beragama tidaklah berarti menganggap semua agama benar, tidak berarti menyalahkan pengikut suatu agama yang menjalankan syariat agamanya dengan taat, kebijakan moderasi beragama ini adalah jalan untuk mencegah orang-orang berlaku ekstrem terhadap orang yang berbada agama, karena sesungguhnya setiap agama mengajarkan kebaikan.

Menghormati keberadaan agama lain adalah salah satu bentuk konsekuensi dari keberagaman yang ada di Indonesia. Sebagai sebuah Negara yang memiliki banyak keberagaman sudah sepantasnya seluruh bangsa Indonesia memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi dan kebijakan yang lebih ketat di tingkat bawah.

Baca Juga: Memaksa Allah Berfikir Seperti Dia

Ketika Undang-Undang telah menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan bagi seluruh penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan dapat beribadah menurut agama dan kepercayaannya, maka kebijakan di bawahnya haruslah sejalan dengan yang dikatakan konstitusi.

Simpulan

Desa Kondangmekar yang masyarakatnya terdiri dari masyarakat yang beragama Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan aliran kepercayaan penghayat, dapat hidup rukun dan berdampingan selama bertahun-tahun. Hal itu dikarenakan masyarakat saling menghormati adanya perbedaan.

Dalam acara sosial kemasyarakatan, semua masyarakat tanpa memandang kepercayaan dapat bekerjasama dengan baik. Pemerintah Desa juga sudah berupaya dengan baik untuk tidak menyinggung keberadaan agama minoritas, karena dalam undang-undang sudah dinyatakan bahwa tiap-tiap individu bebas memeluk dan melaksananakan ibadah sesuai kepercayaan yang dianutnya.

Rekomendasi

  1. Untuk Kementerian Agama, diperlukan segera regulasi yang jelas mengenai implementasi kebijakan program moderasi beragama;
  2. Untuk bidang Bimas Islam Kemenag, agar lebih dioptimalkan peran penyuluh agama baik itu penyuluh agama Islam PNS maupun Non PNS untuk mensosialisasikan moderasi beragama di tingkat masyarakat;
  3. Untuk Kepala KUA, agar lebih membimbing Penyuluh Agama Islam supaya benar-benar memberikan penyuluhan terkait spesialisasinya di desa binaan masing-masing;
  4. Untuk Penyuluh Agama Islam (PNS maupun Non PNS), agar lebih peka dan dapat mendeteksi dini akar-akar permasalahan yang dapat menimbulkan konflik keagamaan yang lebih luas.

Penulis: Winda Khoirin Nissa
Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PPU-XIV/2016

Rachmah ida, L. D. (2015). Konflik Sunni-Syiah dan dampaknya terhadap komunikasi religius pada komunitas di Sampang Madura. Masyarakat, Kebudayaan, Dan Politik, Vol 28 No, 33–49.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI