Karantina diri menjadi istilah yang tidak asing lagi didengar pada saat pandemi Covid-19 ini. Karantina sendiri berarti memisahkan dan membatasi kegiatan dengan tujuan tidak lain untuk mengurangi resiko terinfeksi ataupun menularkan virus.
Banyak yang merasa terbebani dengan diterapkanya karantina dengan alasan jenuh, bosan, kecewa, stress, dan masih banyak alasan lainnya. Bukankah dalam diri kita sendiri sudah dilatih karantina sejak lama? Tepatnya sejak kita lahir ketika dikumandangkannya kalimat “Allahuakbar” pada telinga kita. Sejak saat itulah kita telah memiliki keimanan dan keislaman dalam hati kita, saat di mana telah terikat “kontrak” dengan Allah SWT bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya
Dari dasar kalimat syahadat itulah kita harus menjalankan segala perintah Allah SWT dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Aturan ada untuk membuat hidup lebih teratur. Kita juga harus memisahkan dan membatasi diri dari segala dosa dan larangan-Nya. Iman kita sama seperti gelas. Sekali malakukan kesalahan maka akan timbul retakan yang jika dilakukan terus menerus maka keimanan kita akan pecah. Jangan memberikan celah bagi syaitan dan jangan biarkan keimanan kita hancur.
Lalu sampai kapan karantina hidup ini berlangsung?
Sampai Allah SWT memanggil kita kembali kepada-Nya. Namun adanya musibah yang datang terkadang membuat kita lupa kepada Allah SWT. Iman kita goyah, berpikir Allah SWT tidak adil. Lupa akan kenikmatan yang selama ini telah diberikan kepada kita. Ingatlah, Allah SWT lebih tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya.
Allah SWT berfirman:
“… Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19).
Allah SWT hanya menguji keimanan kita. Semakin besar cinta Allah SWT kepada hamba-Nya, maka semakin berat ujian yang diberikan. Jika kita berhasil melewati semua ujian dengan sabar dan bertawakkal kepada Allah SWT, semakin besar pula imbalan yang kita terima dan dengan cara itu pula dosa yang pernah kita lakukan akan dihapuskan.
Jangan sampai lalai dan terjerumus dalam kemaksiatan. Kematian hanya Allah SWT yang menghendaki. Tiada makhluk yang mengetahui kapan waktu kematian tiba. Bisa saja esok atau mungkin hari ini saat ini kita dipanggil oleh Allah SWT. Bayangkan saja saat sedang melakukan dosa kemudian saat itu juga Allah SWT memanggil, bukankah akan sangat malu kita menghadap kepada Allah swt dengan membawa semua dosa?
Katakanlah kita telah lengah dan melakukan sebuah kesalahan, maka segeralah bertaubat. Bukankah pintu taubat Allah SWT lebih besar dari kesalahan yang telah diperbuat jika kita benar-benar bertaubat.
Seperti yang dikisahkan sahabat Rasulullah bernama Tsa’labah RA. Suatu hari, beliau melakukan perjalanan melewati padang pasir dan tanpa sengaja beliau melihat wanita yang sedang mandi. Beliau merasa sangat terganggu hatinya akan hal tersebut dan seketika muncul rasa takut yang luar biasa kepada Allah SWT. Saat itu beliau langsung naik ke atas sebuah bukit yang sangat tinggi dan menetap disana selama 40 hari bertaubat kepada Allah SWT tanpa pulang sekalipun.
Kemudian malaikat Jibril as menyampaikan hal ini kepada Rasulaullah SAW dan mengatakan Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk memanggil Tsa’labah RA. Rasulullah SAW pun memerintahkan para sahabat untuk mencari Tsa’labah RA. Tiba waktu halat, Rasulullah SAW bersama para sahabat melaksanakan shalat diikuti dengan Tsa’labah RA. Ayat yang dibacakan saat shalat adalah tentang neraka dan seketika itu Tsa’labah RA pingsan dalam shalatnya. Setelah shalat, Rasulullah SAW pun membangunkannya dan bertanya,
“Ada apa dengan engkau Tsa’labah?”
“Ya Rasulullah, saya melakukan dosa yang sangat besar sekali bagi saya. Selama 40 hari saya dihantui akan rasa takut ini karena saya tidak sengaja melihat wanita yang sedang mandi.”
Maka Rasulullah SAW pun menjawab, “Rahmat Allah SWT lebih luas, mohon ampunlah.”
“Tapi dosa ini terus mengganguku ya Rasulullah SAW,” jawab Tsa’labah RA.
Setelah itu Rasulullah SAW dan para sahabat pun pulang, sampai terdengar kabar Tsa’labah RA sedang sakit dan Rasulullah SAW pun datang ke rumah Tsa’labah RA dan meletakkan meletakkan kepalanya di atas paha Rasulullah SAW. Namun Tsa’labah terus menghindar, kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Kenapa engkau menghindariku wahai Tsa’labah?”
“Kepala ini penuh dengan dosa ya Rasulullah,” jawab Tsa’labah RA.
“Rahmat Allah sangat luas, apa yang engkau rasakan wahai Tsa’labah?”
“Semenjak itu, tulang-tulangku dan otot-ototku seperti kesemutan semuanya. Aku merasakan ketakutan.”
“Apa yang kamu harapkan?,” tanya Nabi SAW.
“Ampunan Rabbku,” jawabnya.
Kemudian turunlah Jibril AS kepada Nabi SAW dengan membawa wahyu dari Allah SWT bahwa Allah SWT telah mengampuni dosanya. Nabi SAW menyampaikan wahyu tersebut kepada Tsalabah RA, dan seketika ia terpekik kemudian meninggal. Rasulullah SAW memerintahkan agar Tsa’labah RA segera dimandikan dan dikafani. Ketika selesai menyalatinya, Rasulullah SAW berjalan sambil berjinjit. Salah seorang sahabat menanyakan mengapa Rasulullah Saw berjalan seperti itu.
“Demi Dzat yang telah mengutusku dengan benar sebagai Nabi, sungguh aku tidak mampu meletakkan kakiku di atas bumi, karena malaikat yang turut melayat Tsalabah sangatlah banyak,” jawab Rasulullah SAW.
Dari kisah tersebut, kita tahu bahwa dengan menaati segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, maka hanya kenikmatan, ridho dan rahmat-Nya yang kita dapatkan.
Syndi Gabriella Ting
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Editor: Diana Intan Pratiwi