Penyebaran Covid-19 masih menjadi konsen berbagai negara, terutama yang sudah mengonfimasi kasus positif terinfeksi di negaranya. Angka terkait kasus ini terus meningkat. Sementara itu, berdasarkan data dari worldometers.info, Selasa (26/5/2020) pukul 08.01 GMT, 5.601.285 orang positif Covid-19 di dunia, 348.126 meninggal, dan 2.381.280 orang sembuh.
Sebanyak 215 negara telah terjangkit. Amerika menjadi negara dengan kasus positif Covid-19, disusul Brasil, Rusia, Spanyol, dan Britania Raya. Sementara di Indonesia sendiri, Juru Bicara Pemerintah Khusus Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, dari Kantor BNPB, Jakarta, Selasa (26/5/2020), mengatakan, “Kita dapatkan kasus konfirmasi positif Covid-19 untuk hari ini naik 415 orang sehingga totalnya jadi 23.165 orang.”
ODP yang sedang dipantau hingga hari ini, kata Yuri, sebanyak 65.748 orang. Kemudian, PDP per hari ini menjadi 12.022 orang. Tercatat, hari ini ada 235 orang yang sembuh dari Covid-19. Dengan begitu total pasien sembuh hingga hari ini mencapai 5.877 orang. Sementara itu, hari ini 27 orang meninggal akibat Covid-19.
Total pasien meninggal pun menjadi 1.418 orang. Berdasarkan data tersebut, Indonesia menjadi negara tertinggi kedua kasus positif Covid-19 di ASEAN di bawah Singapura. Sebanyak 22.750 kasus Covid-19 terjadi di Indonesia pada hari Senin. Sementara itu, 32.343 kasus Covid-19 terjadi di Singapura.
Meskipun angka kesembuhan Covid-19 terus meningkat, kemunculan kasus penyebaran Covid-19 juga mengalami peningkatan. Sehingga, ketidakpastian masih terus memengaruhi laju perekonomian global. Moody’s Investor Service memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 akan mengalami perlambatan pada angka 4,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Nilai ini di bawah pertumbuhan tahun 2019 yang berada di angka 5,02%. Perlambatan ekonomi ini diperkirakan akan berlanjut di tahun 2021 meski dengan disertai sedikit penguatan yaitu tumbuh 4,9% saja. Dalam situasi krisis seperti ini, sektor UMKM sangat perlu perhatian khusus dari pemerintah karena merupakan penyumbang terbesar terhadap PDB dan dapat menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja, mensubstitusi produksi barang konsumsi atau setengah jadi.
Tulisan ini mengkaji dampak perlambatan ekonomi yang muncul karena Covid-19 terhadap UMKM serta bagaimana upaya pemerintah dalam memperkuat UMKM dalam rangka mengurangi dampak perlambatan ekonomi virus Covid-19. Dampak Pelambatan Ekonomi akibat Covid-19 terhadap UMKM sejak kemunculannya di akhir tahun 2019, Covid-19 telah menyebar di seluruh dunia.
Dengan cepatnya penyebaran Covid-19, dampak perlambatan ekonomi global mulai dirasakan di dalam negeri. Mulai dari harga minyak bumi yang jatuh ke arah terendah sejak 1991 pada dua hari lalu, bursa saham yang terjun bebas, serta harga komoditas lain seperti gas dan minyak sawit diperkirakan juga akan tertarik ke bawah apabila permintaan tidak segera pulih.
Lesunya sektor pariwisata memiliki efek domino terhadap sektor UMKM. Berdasarkan data yang diolah P2E LIPI, dampak penurunan pariwisata terhadap UMKM yang bergerak dalam usaha makanan dan minuman mikro mencapai 27%. Sedangkan dampak terhadap usaha kecil makanan dan minuman sebesar 1,77%, dan usaha menengah di angka 0,07%.
Pengaruh Covid-19 terhadap unit kerajinan dari kayu dan rotan, usaha mikro akan berada di angka 17,03%. Untuk usaha kecil di sektor kerajinan kayu dan rotan 1,77% dan usaha menengah 0,01%. Sementara itu, konsumsi rumah tangga juga akan terkoreksi antara 0,5% hingga 0,8%.
Padahal, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran yang sangat strategis dalam perekonomian Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia tahun 2018 menunjukkan jumlah unit usaha UMKM 99,9% dari total unit usaha atau 62,9 juta unit. UMKM menyerap 97% dari total penyerapan tenaga kerja, 89% di antaranya ada di sektor mikro, dan menyumbang 60% terhadap produk domestik bruto.
Dapat dibuktikan kemampuannya bertahan dalam situasi ekonomi yang sulit. Sebagian besar UMKM belum berhubungan langsung dengan sektor keuangan domestik, apalagi global. Situasi tersebut menyebabkan UMKM selama ini mampu bertahan terhadap krisis keuangan global seperti pada tahun 1998.
Meskipun telah diketahui ketahanannya dalam menghadapi perlambatan ekonomi, terkait dengan kondisi terkini Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingrabatun, memperkirakan omset UMKM di sektor nonkuliner turun 30- 35% sejak Covid-19.
Penyebabnya adalah penjualan produk ini mengandalkan tatap muka atau pertemuan antara penjual dan pembeli secara fisik. UMKM yang menjual produk non-kuliner menyasar wisatawan asing sebagai pasar. Himbauan dari Pemerintah mengenai social distancing yang dicanangkan mulai tanggal 15 Maret 2020, diprediksi dapat berdampak serius terhadap penyerapan produk UMKM. Maka dari itu, diperlukan perhatian lebih dari pemerintah kepada sektor UMKM sebagai penggerak utama perekonomian bangsa.
Guna mengatasi lesunya sektor pariwisata, yang memiliki efek besar dalam UMKM, pemerintah berencana menggelontorkan dana sebesar Rp 298,5 miliar untuk mendongkrak sektor wisata. Sekitar Rp 73 miliar bakal digunakan Kementerian Pariwisata untuk menggandeng sejumlah influencer atau pemengaruh asing di media sosial yang bisa mempromosikan Indonesia. Sisanya akan digunakan sebagai insentif maskapai dan agen travel, promosi, serta kegiatan pariwisata.
Langkah ini menuai banyak kritik dari masyarakat karena dikhawatirkan akan membuka pintu penularan Covid-19. Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 174 Tahun 2020 dan No. 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2020 menambahkan hari libur dan cuti bersama yang semula 20 hari menjadi 24 hari.
Penambahan empat hari itu adalah 28 dan 29 Mei sebagai cuti bersama Hari Raya Idul Fitri, 21 Agustus sebagai cuti bersama dalam Tahun Baru Islam, dan 30 Oktober sebagai cuti bersama peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Melalui penambahan hari libur nasional diharapkan dapat menjadi stimulus agar usaha pariwisata bisa meningkat.
Pemerintah, pada tanggal 14 Maret 2020 mengumumkan paket stimulus untuk menjaga kinerja perekonomian yang tengah tertekan akibat wabah virus Covid-19. Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pada paket stimulus tahap II untuk mengurangi dampak Covid-19 ke perekonomian.
Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 22,9 triliun. Jika ditambahkan dengan alokasi anggaran paket stimulus tahap I untuk industri pariwisata, perumahan dan bansos sebesar Rp 10,3 triliun maka keseluruhan anggaran pemerintah untuk meredam dampak Covid-19 sebesar Rp 33,2 triliun.
Dampak wabah virus Covid-19 merembet hampir ke seluruh sektor industri. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyatakan, untuk meredam dampak industri Covid-19 lebih luas. Perbankan akan memberikan kemudahan pembayaran hutang bagi pengusaha sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, “Kemudahan tersebut bisa berupa menunda pembayaran pokok utang dengan mendahulukan pembayaran bunga kredit.”
Pemerintah saat ini masih mempelajari bagaimana keadaan UMKM akibat wabah Covid-19. Kementerian Koperasi dan UKM membuka saluran pengaduan (hotline) melalui Call Center sejak Senin (16/3/2020), pada jam operasional Senin–Jumat, pukul 08.00–15.00 WIB. Call Center ini ditujukan untuk mengetahui kondisi usaha para Pelaku Koperasi & UMKM yang terdampak wabah Covid-19.
Dari upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah, terlihat masih banyak terpusat pada sektor pariwisata yang memiliki pengaruh besar pada sektor UMKM. Selain itu, kelonggaran kredit juga dianggap sudah tepat untuk meringankan beban UMKM. Namun, bantuan/insentif kepada UMKM khususnya usaha mikro dan kecil masih perlu diperhatikan apalagi mengingat himbauan social distancing saat ini yang berpengaruh besar kepada mereka yang masih banyak membutuhkan tatap muka.
Selain itu, Pemerintah menyiapkan lima skema untuk perlindungan dan pemulihan ekonomi bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sejumlah skema yang juga termasuk program khusus bagi pelaku usaha ultramikro tersebut disiapkan dengan harapan agar mereka dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19.
Seperti yang di katakan oleh Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 29 April 2020, ada lima skema besar dalam program perlindungan dan pemulihan ekonomi, utamanya di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk program khusus bagi usaha ultramikro dan usaha mikro yang selama ini tidak bersentuhan dan tidak terjangkau oleh lembaga keuangan maupun perbankan, .
Presiden mengatakan bahwa skema pertama diperuntukkan bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang masuk kategori miskin dan rentan terdampak Covid-19. Para pelaku usaha dalam skema tersebut diupayakan agar masuk sebagai penerima bantuan sosial dari pemerintah. Skema kedua berbicara mengenai insentif perpajakan yang berlaku bagi para pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun.
Terhadap mereka, pemerintah telah menurunkan tarif PPh final selama enam bulan.
Di sini, pemerintah telah menurunkan tarif PPh final untuk UMKM dari 0,5 menjadi 0 persen selama periode enam bulan dimulai dari April sampai September 2020.
Sementara itu, relaksasi dan restrukturisasi kredit UMKM menjadi bagian dari skema ketiga yang disiapkan oleh pemerintah. Skema ini meliputi penundaan angsuran dan subsidi bunga bagi para penerima KUR (Kredit Usaha Rakyat), UMi (Kredit Ultramikro), PNM Mekaar (Permodalan Nasional Madani Membina Keluarga Sejahtera), LPDB (lembaga pengelola dana bergulir), hingga penerima bantuan permodalan dari beberapa kementerian.
Selain itu, pemerintah juga akan memberlakukan perluasan pembiayaan bagi UMKM berupa stimulus bantuan modal kerja sebagai bagian dari skema keempat yang telah disiapkan. Dalam skema ini, pemerintah menyiapkan bantuan modal kerja darurat yang dirancang khusus bagi pelaku UMKM yang merasakan dampak Covid-19.
Hingga saat ini, sudah terdapat 41 juta pelaku UMKM yang terhubung dengan lembaga pembiayaan maupun perbankan. Namun, masih terdapat 23 juta pelaku UMKM yang belum pernah mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan maupun sistem perbankan.
Adapun dalam skema kelima, pemerintah melalui kementerian, lembaga BUMN, dan pemerintah daerah akan bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM, utamanya pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19.
Kepala Negara juga kembali mengingatkan jajarannya di daerah untuk melakukan realokasi anggaran dan mengarahkannya pada program-program stimulus ekonomi yang menyentuh sektor UMKM.
Dengan semua langkah dan upaya yang dilakukan tersebut, Presiden Joko Widodo berharap agar para pelaku UMKM mampu bertahan dan tetap menjalankan aktivitas produksinya baik selama maupun setelah pandemi Covid-19 berakhir.
Di sisi lain, perputaran uang di Indonesia selama masa pandemi virus corona harus terus berjalan untuk menjaga kestabilan ekonomi negara. Dalam kondisi tersebut, sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai penggerak ekonomi di akar rumput, memiliki peran besar dalam menggerakkan perputaran uang tersebut.
Berbagai strategi usaha saat ini layak dicoba, dengan melihat kondisi ekonomi global yang belum stabil. Para pelaku usaha yang menggunakan bahan-bahan dari luar negeri dan kini mengalami kesulitan, diharapkan berinovasi mengembangkan produk menggunakan bahan baku dalam negeri sebagai salah satu agenda yang wajib dilakukan.
Dr. Eddy Tri Haryanto, pembina Pusat Studi Kewirausahaan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, mengungkapkan hal itu kepada wartawan, Jumat (10/4/2020). Dia menanggapi kondisi perekonomian Indonesia yang kurang kondusif akibat pandemi Covid-19. Para pelaku usaha harus memahami betul, apa yang kini sedang diinginkan masyarakat. Mereka harus mencari alternatif bahan baku dari dalam negeri. Kondisi ini berpotensi untuk memperbaiki perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
Sektor UMKM yang terkena dampak krisis ganda paling berat, menurut dia, adalah UMKM yang menyediakan barang kebutuhan pokok konsumsi masyarakat serta produsen yang memerlukan bahan baku impor. Dr. Eddy menyebut UMKM produsen tempe dan tahu, garmen, serta UMKM yang mengolah produk berbahan dasar gandum, harus memutar otak untuk mencari barang pengganti produknya.
Berbeda dengan UMKM yang terkena dampak krisis ganda tersebut, Dr. Eddy melihat, UMKM di bidang kuliner memiliki peluang mengembangkan usaha dari kondisi saat ini. Diterapkannya kebijakan work from home (WFH), merupakan potensi bagi pelaku usaha kuliner untuk meningkatkan penjualan melalui kolaborasi dengan transportasi online dan memanfaatkan aplikasi digital secara maksimal.
Muhammad Syahri
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Editor: Diana Intan Pratiwi