Keefektifan Reward bagi Pelapor Kasus Korupsi

Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar ke-4 didunia dengan jumlah kurang lebih 260 juta jiwa. Dengan adanya pemilihan umum (pemilu), para politisi sedang bergeliat menampakkan eksistensi di publik menjadi orang terpenting sebagai pejabat. Akan tetapi, banyak sekali elemen pejabat terjerat korupsi, sehingga korupsi menjadi perbuatan yang membudaya di kalangan elit politik.

Dari segi etimologi, korupsi berasal dari kata corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik atau menyogok. Secara terminologi yaitu tindakan pejabat publik baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak (wikipedia).

Menurut Asyumardi Mazhar korupsi adalah berbagai tindakan gelap dan tidak sah untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Dari beberapa sumber yang diketahui bahwa korupsi adalah salah satu tindakan yang diakibatkan oleh bobroknya akhlak dan mental pribadi yang tujuannya hanya ingin mementingkan keuntungan, tanpa berfikir dampak dari perbuatan tersebut. Korupsi adalah tindakan yang nekad karena kurangnya rasa percaya diri (mental pribadi) yang kuat sehingga tidak bijak dan tidak bertanggung jawab atas amanah yang diberikan. Selain itu makna dari bobroknya akhlak adalah tidak bisa mengamalkan akhlak yang benar, padahal sudah tahu bahwa mengambil hak orang lain tidak boleh dalam agama.

Penyalahgunaan waktu bisa disebut korupsi karena telah mengambil waktu orang lain, hal ini bisa menyebabkan ketagihan dan berdampak kebiasaan. Sama hal nya yang terjadi saat ini oleh penguasa, korupsi menjadi candu, manis, dan nyaman karena awalnya tidak terlihat ketika kita sudah melakukan hal itu tidak diketahui siapa-siapa, lalu dilakukan terus-menerus sehingga tidak disangka jumlahnya sangat banyak ketika sudah ketahuan oleh lembaga hukum.

Tindakan korupsi ada sejak dimulainya orde baru, dengan masuknya investor asing yang berlomba memanfaatkan sumber daya alam, sehingga dimanfaatkan oleh elit politik dalam menyalahgunakan aset negara yang seharusnya menjadi kepentingan negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pemberantasan korupsi dimulai pada tahun 1957 oleh peraturan penguasa militer Nomor PRT/PM/06/1957. Selanjutnya dalam keppres No. 28 Tahun 1967 tentang pembentukan tim pemberantasan korupsi, dalam pelaksanaan ini dikatakan tidak maksimal bahkan tidak berfungsi. Kemudian adanya demonstrasi tahun 1969 yang ditandai dengan dibentuknya komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya. Namun sayangnya peraturan yang dibuat itu tidak berlaku dan tidak efektif, sehingga pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang menerakan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta.

Peraturan yang terbit dalam orde baru adalah: GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara; GBHN Tahun 1978 tentang kebijakan dan langkah-langkah dalam rangka penertiban aparatur negara dari masalah korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan dan keuangan negara, pungutan-pungutan liar serta berbagai bentuk penyelewengan lainnya yang menghambat pelaksanaan pembangunan; Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak pidana korupsi; Keppres No. 52 tahun 1971 tentang pelaporan pajak para pejabat dan PNS; Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang operasi penertiban; Undang-undang Nomor 11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap. Berganti pada era reformasi di pemerintahan Abdurrahman Wahid muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: tim gabungan penanggulangan tindak pidana korupsi; komisi ombudsman nasional, komisi pemeriksan kekayaan pejabat negara dan beberapa lainnya. Di masa kepemimpinan Megawati, berbagai kasus korupsi tidak memuaskan masyarakat. Kepercayaan masyarakat yang sangat rendah Megawati kemudian membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTP).

Ini yang kemudian menjadi cikal bakal komisi pemberantasan korupsi (KPK). Dalam kepemiminan Susilo Bambang Yudoyono menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan dilanjutkan dengan persiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN).

Bahkan pada masa pemerintahan tersebut munculnya sebuah Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. PP ini menjelaskan jika ada masyarakat yang mengetahui mengenai dugaan tindak korupsi bisa melaporkan kepada pihak berwenang atau penegak hukum. Kemudian pemberian penghargaan kepada pelapor sebagaimana didalam Pasal PP ini bunyi Pasal 17 ayat (1)

“Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 disepakati untuk memberikan penghargaan berupa premi, besaran premi diberikan sebesar 2 premi dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara”.

Selanjutnya ditegaskan dalam ayat 2:
“Besaran premi yang diberikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 paling banyak Rp 200.000.000”.

Upaya pemerintah saat ini, dengan adanya kebijakan tersebut dapat meningkatkan partisiasi masyarakat dalam pengawasan tindak pidana korupsi, meningkatkan sinergitas antara lembaga hukum dengan masyarakat, upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Dari beberapa perkembangan pemberantasan korupsi yang dibuat oleh pemerintah belum maksimal dilaksanakan. Kurangnya pengawasan dan oknum yang terlibat semakin banyak. Sehingga upaya pemberantasan korupsi tidak berjalan dengan efektif, tetapi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan saja.

Dari beberapa peraturan tentang pemberantasan korupsi hampir semuanya gagal karena setiap periode selalu ada yang terjerat dalam kasus korupsi.

Apakah kebijakan pemerintahan berjalan dengan lancar adanya Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2018 ini? atau hanya sebagai wacana saja dan bisa jadi diawal-awal saja diterapkannya. Tentunya para pelapor harus memenuhi syarat dan bukti yang kuat karena seperti yang kita ketahui bahwa hukum di negara kita tumpul ke atas tajam ke bawah. Masyarakat kecil gampang untuk ditindaklanjuti, sedangkan sang penguasa melalui proses yang sangat panjang. Selanjutnya pemerintah harus mengadakan sosialisasi tentang peraturan ini baik di pusat maupun daerah. Agar masyarakat mengetahui adanya peraturan yang baru dibuat ini, atau melalui surat edaran, media sosial, dll. Pada intinya apapun peraturan yang dibuat oleh pemerintah tentang tindak pidana tidak berjalan dengan baik, jika dari masyarakat belum ada kesadarannya.

Rendy Merta Rahim
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Jenderal Ahmad Yani, kota Cimahi, Jawa Barat

Editor : Aji Cahyono

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI