Sebuah serial di Netflix mengangkat genre drama thriller psikologis berjudul Ratched yang dibintangi artis Hollywood Sarah Paulson. Berlatar di sebuah institusi psikiatri pada 1957, serial ini menampilkan penggambaran perawatan medis yang akan membuat penontonnya merasa tak nyaman. Namun, pada masa tersebut pengobatan kejiwaan yang ditampilkan memang umum dilakukan.
Ada salah satu pengobatan ekstrem yang memarik perhatian penonton yaitu metode pengobatan Lobotomy yang mengklaim dapat menyembuhkan gangguan jiwa seperti skizofrenia, depresi gangguan biopolar dan PTSD dan sebagainya. Lobotomy ternyata praktik yang cukup marak dilakukan sejak 1935 hingga 1980-an.
Baca juga: Jangan Salah, Orang dengan Gangguan Jiwa Sangat Rentan Terpapar Covid-19
Bagaimana Prosedur Lobotomy?
Pada awal penerapan lobotomy, tengkorak pasien di bagian depan akan dilubangi. Dari lubang tersebut, dokter menyuntikkan cairan etanol untuk menghancurkan serat-serat dalam lobus prefrontal. Serat-serat inilah yang menghubungkan lobus prefrontal dengan bagian otak lainnya.
Kemudian, prosedur ini diperbarui dengan cara merusak bagian depan otak dengan kawat besi. Kawat ini juga dimasukkan lewat lubang dari tengkorak.
Seolah kedua cara tersebut belum cukup sadis, Walter Freeman menciptakan metode baru yang lebih kontroversial. Tanpa melubangi tengkorak, Walter akan mengiris bagian depan otak dengan alat khusus seperti obeng dengan ujung besi yang sangat runcing.
Baca juga: Tips Menimalisir Stres pada Ibu Rumah Tangga
Alat tersebut dimasukkan lewat rongga mata pasien. Pasien tidak dibius dengan obat, melainkan disengat dengan gelombang listrik khusus agar pasien tak sadarkan diri.
Efek Samping Lobotomy
Mengutip dalam Britannica, banyak pasien yang menunjukkan efek, seperti apatis, pasif, kurang inisiatif, kemampuan berkonsentrasi yang buruk, dan umumnya penurunan kedalaman dan intensitas respons emosional mereka terhadap kehidupan.
Beberapa pasien bahkan meninggal akibat prosedur tersebut. Efek samping jangka panjang lobotomi adalah kekosongan mental yang berarti orang tidak bisa menjalani hidup mereka secara mandiri lagi. Selain itu, mereka juga kehilangan kepribadian mereka.
Labotomi mulai ditinggalkan karena obat antipsikotik dan antidepresan yang dikembangkan dan hasilnya jauh lebih efektif.
Klaim Lobotomy adalah Praktik Berbahaya
Praktik lobotomi mulanya dinilai berhasil karena pasien memang jadi lebih tenang. Akan tetapi, tenang di sini justru maksudnya menjadi lumpuh, baik secara mental maupun fisik.
Seorang pakar saraf dan kejiwaan dr. John B. Dynes dalam penelitiannya Lobotomy for Intractable Pain, para korban lobotomi menunjukkan gejala-gejala layaknya mayat hidup. Mereka jadi kehilangan kemampuan bicara, berkoordinasi, berpikir, dan merasakan emosi.
Memang jadi lebih mudah bagi keluarga untuk mengurus pasien karena mereka sudah tidak meledak-ledak lagi. Namun, keadaan mental pasien tidak membaik.
Laporan dari keluarga menyebutkan bahwa pasien sehari-hari hanya bisa menatap kosong ke kejauhan. Ujung-ujungnya pasien malah harus dirawat di rumah sakit jiwa seumur hidup karena tak bisa melakukan aktivitas seperti orang biasanya, misalnya makan dan bekerja.
Hal ini lantaran lobus prefrontal mereka telah dirusak sedemikian rupa. Lobus prefrontal bertanggung jawab untuk menjalankan fungsi eksekutif otak.
Seperti mengambil keputusan, bertindak, membuat perencanaan, bersosialisasi dengan orang lain, menunjukkan ekspresi dan emosi, serta mengendalikan diri. Dalam banyak kasus lainnya, pasien meninggal dunia setelah melakukan operasi lobotomi. Penyebabnya yaitu perdarahan otak hebat.
Penulis:Â Raeni Indah
Mahasiswa Prodi Keperawatan Universitas Binawan
Dosen Pengampu: Apriani Riyanti, S.Pd., M.Pd