Melindungi Hak Anak di Era Digital: Tantangan dan Solusi

Melindungi Hak Anak di Era Digital: Tantangan dan Solusi
Sumber: freepik.com

“Technology doesn’t just change what we do; it changes who we are.” (Sherry Turkle)

Transformasi digital telah menjadi realitas tak terelakkan di hampir seluruh lini kehidupan, termasuk dalam dunia anak-anak.

Akses terhadap teknologi yang semakin luas membuka peluang besar untuk pembelajaran dan kreativitas, namun juga menyisakan ruang risiko yang mengancam secara serius.

Anak-anak, yang merupakan kelompok rentan, berada di garis depan dari tantangan digital ini.

Bacaan Lainnya

Mereka tumbuh di tengah banjir informasi, interaksi daring yang tak selalu aman, dan algoritma yang tak memahami batasan usia maupun psikologis.

Di tengah arus kemajuan teknologi yang pesat, anak-anak kini tumbuh dalam dunia yang sepenuhnya terhubung dengan internet.

Baca Juga: Pola Konsumsi Anak Muda di Era Digital: Penggunaan Aplikasi Online Food Delivery

Perangkat digital telah menjadi bagian dari keseharian mereka, mulai dari belajar hingga bermain.

Meskipun teknologi membawa manfaat besar, namun di balik semua kemudahan ini terdapat ancaman nyata yang dapat mengganggu perkembangan, keselamatan, dan hak-hak anak.

Anak-anak dengan mudah mengakses konten kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian tanpa filter yang memadai.

Data dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) mencatat lebih dari lima juta konten pornografi yang melibatkan anak-anak di Indonesia selama empat tahun terakhir.

Ini bukan sekadar angka, melainkan alarm serius akan lemahnya perlindungan digital terhadap anak.

Apalagi, banyak dari konten tersebut disebarluaskan melalui platform populer yang juga digunakan oleh anak-anak, menunjukkan bahwa sistem penyaringan masih belum optimal.

Baca Juga: DigiKidz: Membekali Anak-Anak Desa Benteng Pengetahuan Digital Agar Mampu Menghadapi Dunia Modern

Situasi ini memperlihatkan kebutuhan mendesak akan kontrol lebih ketat dari penyedia platform dan peran aktif dari orang tua.

Cyberbullying dan pelecehan daring juga tak bisa dianggap remeh.

Tekanan psikologis akibat perundungan di media sosial dapat berujung pada trauma, depresi, bahkan tindakan ekstrem seperti bunuh diri dari depresi, kecemasan, bahkan keinginan mengakhiri hidup.

Kasus perundungan terhadap seorang siswa SMK di Probolinggo oleh selebgram menjadi bukti bahwa siapa pun, tanpa kecuali, dapat menjadi korban di dunia maya.

Fenomena ini semakin diperparah oleh sifat dunia digital yang anonim dan viral.

Pelaku dapat menyebarkan kebencian tanpa identitas yang jelas, sementara korban mengalami tekanan berulang tanpa jeda waktu.

Baca Juga: Cyberbullying di Media Sosial

Anak-anak belum memiliki ketahanan psikologis yang cukup untuk menghadapi tekanan seperti ini, sehingga penting bagi semua pihak untuk menciptakan ruang digital yang sehat dan empatik.

Risiko keamanan data pribadi juga mengancam anak-anak yang belum memahami pentingnya menjaga privasi mereka.

Banyak platform digital mengumpulkan data pengguna secara otomatis, termasuk dari anak-anak, tanpa persetujuan yang memadai.

Tanpa adanya regulasi yang ketat, data ini dapat disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Parahnya, sebagian besar anak tidak menyadari konsekuensi dari membagikan informasi pribadi secara sembarangan.

Hal ini menuntut adanya edukasi sejak dini mengenai keamanan digital, serta peningkatan kesadaran dari para pengembang aplikasi untuk mengutamakan perlindungan data anak.

Fenomena kecanduan gadget dan media sosial juga menjadi tantangan yang mengkhawatirkan algoritma dari aplikasi, seperti TikTok dan YouTube, mendorong anak-anak untuk terus berinteraksi dengan layar, mengorbankan waktu tidur, sosialisasi, hingga konsentrasi belajar.

Baca Juga: Perlindungan Anak: Tanggung Jawab Bersama untuk Masa Depan Bangsa

Ini menunjukkan bahwa teknologi bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi telah memengaruhi perilaku dan kesehatan mental anak secara langsung.

Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menyebabkan gangguan perkembangan sosial dan emosional, serta menurunkan kemampuan anak dalam mengelola waktu dan fokus.

Sayangnya, fenomena ini masih sering dianggap sepele, padahal dampaknya sangat nyata dan semakin terlihat.

Menyikapi hal tersebut, dibutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak.

Orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi dan membimbing anak-anak dalam penggunaan teknologi.

Bukan hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai panutan dalam penggunaan digital yang sehat.

Baca Juga: Pentingnya Pola Asuh Orang Tua bagi Perkembangan Perilaku Anak Gen Z

Sekolah dapat memasukkan literasi digital dalam kurikulum sebagai bekal penting untuk menghadapi era informasi.

Pendidikan formal yang terstruktur dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan kesadaran digital di kalangan siswa.

Pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait perlindungan anak di dunia digital dan memastikan penerapannya secara konsisten.

Sanksi terhadap pelanggaran hak digital anak perlu ditegakkan secara nyata.

Perusahaan teknologi juga harus bertanggung jawab dengan menyediakan fitur keamanan berbasis kecerdasan buatan yang mampu menyaring konten berbahaya secara otomatis dan efisien.

Tak kalah penting, dukungan masyarakat luas melalui edukasi dan kampanye kesadaran digital harus terus digencarkan.

Baca Juga: Edukasi Digital dalam Ruang Keluarga

Kolaborasi antara media, komunitas, dan figur publik dapat menjadi kekuatan besar dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang aman dan mendukung tumbuh kembang anak.

Peran komunitas sangat krusial dalam menormalisasi percakapan seputar keamanan digital dan menjadikannya bagian dari budaya bersama, bukan hanya urusan teknis.

Melindungi anak di era digital bukan sekadar isu teknologi, tetapi juga persoalan kemanusiaan. Anak-anak tidak memiliki kendali penuh atas lingkungan digital mereka.

Maka, tanggung jawab untuk menciptakan dunia digital yang aman dan adil tidak bisa dibebankan kepada mereka.

Orang dewasa baik sebagai orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, maupun pelaku industri harus mengambil peran yang lebih aktif.

Melindungi hak anak di era digital bukanlah pilihan, melainkan tanggung jawab bersama.

Jika anak-anak adalah masa depan bangsa, maka sudah semestinya mereka tumbuh dalam lingkungan digital yang aman, sehat, dan manusiawi.

 

Penulis: Kelompok Health Force 2
1. Ratu Balqis – 2442190
2. Merlisa – 2412020
3. Alief Kurniawan Hakim – 2411057
4. Andre Julies – 2446032
5. Anrianus Situmorang – 2441409
6. Cut Reisyah Syifa – 2442177
7. Dian Roberto Situmorang – 2441358
8. Jacklyn – 2412038
9. Lusiana Citra Purwaningsih Sarumaha – 2442186
10. Muhammad Agha – 2412041
11. Muhammad Ahyar – 2412045
12. Muhammad Fadly Musoddiq – 2412049
13. Muhammad Jumardi – 2441408
14. Mutia Aliqa Islami – 2461023
15. Pavaris Wangprasit – 2461017
16. Praewika Adam – 2446033
17. Putri Handhayani – 2441383
18. Rafa Khoirunnisa – 2446025
19. Rizki Ananda – 2412021
20. Sirikanya Jaemin – 2461027
21. Sonio Gading Paruwa – 2412048
22. Steven D. Roberto H – 2431196
23. Sunihati Rajagukguk – 2451170
24. Topan Hidayat – 2441424
Mahasiswa Universitas Internasional Batam

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses