Mendalami Fenomena Childfree: Gaya Hidup atau Pemberontakan terhadap Tradisi di Indonesia?

Fenomena Childfree
Fenomena Childfree (Sumber: Penulis)

Pendahuluan

Childfree merupakan frasa bahasa inggris yang diciptakan pada abad dua puluh terakhir. Secara bahasa, Childfree merupakan kependekan dari “child” dan “free”. Childfree berarti “having no childfren; childless, especially by choice” yang berartikan tidak memiliki anak, yang berdasarkan oleh pilihan.

Menurut Cambridge.dictionary, childfree: used to refer to people who choose not to have children, or a place or situation without children” yang artinya adalah childfree merujuk pada orang yang memilih untuk tidak memiliki anak atau situasi tanpa adanya anak.

Selain itu, menurut Oxford Dictionary istilah childfree merupakan suatu kondisi di mana seseorang atau pasangan tidak memiliki anak karena alasan yang utama yaitu pilihan.

Sementara menurut Agrillo dan Nelini, childfree adalah istilah yang digunakan untuk individu-individu yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak atau yang lebih dikenal dengan sukarela tanpa anak.

Bacaan Lainnya

Dalam studinya, Houseknecht juga menjelaskan bahwa childfree adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak berniat untuk memiliki anak di masa yang akan datang.

Menurut Suryanto, istilah childfree muncul dikarenakan adanya status dan eksistensi perempuan yang hanya dilihat dari jumlah keturunan yang dihasilkan sehingga seiring perkembangan zaman perempuan memiliki kebebasan secara personal untuk memilih keputusan tidak memiliki anak.

Dapat kita simpulkan bahwa childfree merupakan sebuah sebutan bagi suami istri yang tidak mau atau sedang tidak berkeinginan untuk memiliki anak dalam jangka waktu yang panjang. Istilah childfree ini juga terkenal bagi kaum feminisme.

Memasuki era globalisasi, para feminisme mulai menemukan ide untuk melakukan banyak perubahan di setiap bidang, termasuk pada kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan telah terjadi ketimpangan gender antara laki-laki dan Perempuan.

Perempuan dahulu sering mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan, seperti sering dijadikan budak, ditinggalkan, terisolir, terbatasnya akses pendidikan yang didapat, dan lain-lain. Kondisi inilah yang kemudian memicu para feminis untuk membuat sebuah gerakan yang akan meningkatkan derajat kaum Perempuan, salah satunya yaitu childfree.

Yang di mana perempuan berhak memilih serta memutuskan apakah dia sudah siap menjadi seorang ibu atau belum. Selain itu, alas an munculnya childfree yaitu untuk meminimalisir angka populasi manusia yang semakin hari semakin meningkat. Sehingga, tidak heran jika childfree menjadi perbincangan yang hangat nomor dua setelah pemanasan global.

Faktor penyebab fenomena Childfree

Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan fenomena childfree bisa terjadi. Salah satunya Corinne Maier, seorang psikoanalis berkebangsaan Swiss. Dia mengelompokkan alasan seseorang yang tidak menginginkan kehadiran anak dalam lima kategori, yaitu:

1. Faktor Pribadi (Emosi dan Batin)

Banyak Perempuan yang merasa bahwa mereka belum memiliki naluri seorang ibu, mereka seringkali merasa tidak mampu untuk mengurus anak mereka, hal ini disebabkan oleh sedikitnya waktu serta tenaga yang diluangkan untuk mengurus anak apabila anak tersebut sudah dilahirkan, hal ini bisa terjadi karena adanya hal lain yang harus diselesaikan, seperti pekerjaan, dan pendidikan yang dienyam ketika telah berumah tangga.

Faktor pribadi lainnya yaitu karena fisik yang berubah setelah melahirkan, Perempuan yang sudah pernah melahirkan menyatakan bahwa bentuk tubuh seorang perempuan setelah melahirkan akan lama untuk Kembali, belum lagi tanggung jawabnya untuk menyusui kurang lebih 2 tahun.

2. Psikologis dan Medis (Alam Bawah Sadar dan Fisik)

Alasan terbanyak dari mereka yang memutuskan untuk childfree yaitu adanya trauma yang mereka dapatkan dari keluarga mereka, salah satunya yaitu memiliki orang tua yang toxic, relasi yang buruk inilah yang kemudian terekam hingga anak mereka dewasa.

Selain itu, kondisi fisik yang terbatas juga menjadi alasan yang cukup kuat bagi pelaku childfree, banyak dari mereka takut kalua keterbatasan mereka akan turun kepada anak mereka, sehingga mereka pun mengambil jalan Tengah yaitu tidak memiliki anak.

3. Ekonomi

Hal ini bisa terjadi karena ekonomi keluarga yang pas-pasan. Banyak dari mereka merasa bahwa melahirkan anak membutuhkan biaya yang besar sehingga keluarga yang finansialnya kurang tidak memiliki keberanian untuk mempunyai anak dan memutuskan untuk childfree.

4. Filosofis

Beberapa orang berfikir bahwa materi dan waktu mereka bisa dimanfaatkan pada ranah sosial tetapi tidak untuk anak sendiri. Contohnya kebanyakan dari mereka lebih suka untuk mengorbankan waktu dan tenaganya untuk keponakannya atau anak-anak di panti asuhan daripada mereka harus memiliki anak dan memiliki tanggung jawab penuh untuk membesarkan anak mereka seumur hidup.

5. Lingkungan hidup

Lingkungan sebagai sumber daya yang mempertemukan berbagai kepentingan mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi korban. Global 41 warming menjadi salah satu akibat dari kepadatan penduduk yang paling pelik.

Selain itu, Corrine Maier dalam bukunya “No Kids: 40 Reasons for Not Having Children,” menyebutkan beberapa alasan tidak memiliki anak, yaitu77:

  1. Permasalahan kesehatan, termasuk masalah genetik.
  2. Masalah ekonomi.
  3. Minimnya akses untuk mendukung jaringan dan sumber daya.
  4. Ketakutan akan berkuranngnya aktivitas seksual.
  5. Perubahan terhadap fisik akibat kehamilan, peristiwa melahirkan, dan masa pemulihan.
  6. Orientasi pendidikan dan karir.
  7. Kondisi bumi yang semakin buruk (kelaparam, overpopulasi, polusi udara, efek global arming, kelangkaan sumber daya alam) sehingga tidak ingin membawa anak dalam penderitaan yang dirasakan.
  8. Kasadaran akan ketidakmampuan menjadi orang tua.

 

Fenomena Childfree di Indonesia

Di Indonesia sendiri, childfree masih dinilai sebagai hal yang tabu, karena Indonesia menganggap bahwa anak merupakan anugrah dari tuhan yang harus dijaga. Namun, seiring perkembangan zaman, childfree ramai diperbincangkan kembali baik secara langsung atau bahkan melalui media sosial.

Hal ini dapat dibuktikan oleh data dari BPS, prevalensi perempuan childfree di Indonesia sekitar 8 persen. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, misalnya pada 2019 sebanyak 7 persen, 2020 turun menjadi 6,3 persen, 2021 naik menjadi 6,5 persen, dan 2022 melonjak menjadi 8,2 persen.

Tidak hanya itu, Berdasarkan Datain yang meneliti jejak childfree di Indonesia, terdapat hanya 8,17% orang yang memberikan tanggapan positif mengenai tren childfree ini. Tetapi terdapat 44,67% responden yang bersifat netral. Mereka tidak mendukung, tetapi juga tidak menolak. Maka dapat disimpulkan bahwa populasi 44,67% ini, kemungkinan dapat berpindah menjadi orang-orang yang memilih untuk childfree.

Hal ini berawal dari pengakuan salah satu influencer yang Bernama Gita Savitri Dewi dan suaminya yang bernama Paulus Partohap yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Keputusan ini ia buat karena dia dan suaminya merasa bahwa mereka sudah nyaman dan bahagia dengan kehidupannya sekarang tanpa seorang anak.

Tentunya keputusan yang gita ambil disertai dengan beberapa alasan, yaitu Gita Savitri dan suaminya merasa tidak mampu untuk memiliki seorang anak. Menurut mereka, memiliki anak perlu tanggung jawab yang besar dan mereka belum siap akan hal itu.

Gita Savitri juga memberikan pendapatnya pada media bahwa memiliki anak sangat sulit dan menjadi tanggung jawab seumur hidup (Leliana, Suryani, Haikal, & Septian, 2023).

Dalam wawancara pun, sampai detik ini, dirinya tidak memiliki niat untuk memiliki seorang anak pun, bahkan jika memang ada pun, itu hanya karena desakan serta tekanan dari orang-orang sekitar mereka yang terus mempertanyakan perihal tersebut. Sehingga hal ini pun menjadi kontroversial bagi masyarakat InTdonesia, karena Indonesia sangat kental dengan kepercayaan “banyak anak banyak rezeki”.

Tidak hanya Gita Savitri Devi yang memutuskan untuk childfree, tidak sedikit dari influencer atau artis papan atas memilih jejak yang sama. Seperti Kei Savouri dan istrinya Liel Lilia yang juga memutuskan untuk childfree setelah menikah.

Mereka mengatakan hal tersebut dalam video yang di posting di akun instragram mereka, video tersebut berisi tanggapan mereka terhadap pertanyaan orang lain mengenai childfree. Dalam postingan twitter kei pun dia mengemukakan bahwa ada dua alasan mengapa mereka memutuskan untuk childfree, yaitu mereka tidak mau ribet untuk mengurus anak dan biaya yang dikeluarkan untuk mengurus anak sangatlah besar.

Kalau gue, memang dari awal nikah udah ada pembahasan kayak, eh nanti kita kalau nikah, mungkin satu dua tahun dulu kita pacaran, gitu,” ucap Maudy Ayunda dalam video di YouTube pribadinya.

Tentunya, respon dari masyarakat sangatlah beragam, ada yang pro dan juga ada yang kontra terhadap fenomena ini. Namun tidak sedikit dari pelaku childfree mendapat banyak kecaman dari orang sekitar.

Hal ini dikarenakan fenomena ini sangat tidak lazim bagi masyarakat awam karena adanya budaya serta kepercayaan di Indonesia yang menganggap bahwa anak adalah pintu rezeki bagi sebuah keluarga, serta banyak dari mereka berpendapat bahwa jika tidak memiliki anak berarti mengalami kemandulan.

Namun, banyak juga yang mendukung fenomena ini karena childfree dapat membatasi jumlah populasi di Indonesia yang semakin hari semakin banyak, serta hal ini mungkin bisa mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.

 

Dampak Fenomena Childfree di Indonesia

Belakangan ini, angka kelahiran di Indonesia semakin menurun, hal ini tentu dibarengi dengan angka pernikahan yang semakin menurun juga. Childfree menjadi salah satu alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi, karena tren ini semakin berkembang di Indonesia, sehingga banyak juga yang mulai mempertimbangkan untuk memiliki anak.

Fenomena childfree ini bisa mengubah pandangan seseorang yang awalnya menganggap bahwa anak menjadi bagian dari suatu hidup bisa berubah pikiran kalau tidak mempunyai anak terlihat lebih menyenangkan (Fadhilah, 2022).

Di sisi lain, jika childfree benar-benar akan terealisasi di Indonesia, maka negara tersebut akan mengalami dampak yang sangat signifikan. Dampak yang pasti terjadi yaitu berkurangnya sumber daya manusia seiring dengan perkembangan waktu.

Sehingga, kemungkinan, Indonesia akan terguncang sesaat untuk mencari pengganti lain dari sumber daya manusia yang hilang. Usia produksi di Indonesia adalah 15-64 tahun pada tahun 2020 (Goma, Sandy, & Zakaria, 2021).

Jika sumber daya manusia menurun, maka Indonesia akan seperti negara maju, seperti Singapura yang usia produktifnya semakin panjang. Usia pensiun juga akan mengikuti usia produktif yang kemungkinan akan berubah ini.

Secara logis, jika angka kelahiran semakin menurun, Indonesia harus dengan cepat memperbaiki tingkat kualitas sumber daya manusianya (Riniwati, 2016). Hal ini bertujuan agar walaupun usia sudah lanjut, mereka tetap memiliki kualitas yang sangat baik.

Hal ini bisa terwujud dengan sistem pendidikan yang sangat baik, serta mewajibkan untuk sekolah hingga lulus, karena tidak jarang dari masyarakat Indonesia menganggap bahwa Pendidikan tidak begitu penting. Sehingga negara harus memperbanyak sosialisasi seberapa penting pendidikan dan memberikan pelatihan-pelatihan gratis.

 

Kesimpulan

Childfree berarti “having no childfren; childless, especially by choice” yang berartikan tidak memiliki anak, yang berdasarkan oleh pilihan. Childfree merupakan sebuah sebutan bagi suami istri yang tidak mau atau sedang tidak berkeinginan untuk memiliki anak dalam jangka waktu yang panjang.

Banyak sekali faktor yang melatar belakangi seseorang untuk childfree, mulai dari alasan pribadi, segi ekonomi, masalah psikis dan kesehatan, filosofis, serta lingkungan hidup.

Fenomena ini seringkali dianggap “tabu” karena kepercayaan bahwa “banyak anak banyak rezeki”. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, childfree ramai diperbincangkan kembali baik secara langsung atau bahkan melalui media sosial.

Banyak dari influencer atau artis papan atas yang memutuskan untuk childfree. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang mendapat respon yang kontroversal mengenai keputusan mereka yang dianggap “berbeda” dari yang lainnya.

Childfree tentunya memiliki beberapa dampak, seperti turunnya sumber daya manusia, jika hal ini terus dibiarkan maka akan hanya ada sedikit generasi penerus di masa depan, oleh karena itu pemerintah sebaiknya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia walaupun di umur yang sudah tua.

 

Penulis: Asyifa Zahra Putri
Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Andalas

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Referensi

Corinne Maier, No Kids: 40 Good Reasons Not to Have Children (Toronto: Emblem Editions, 2009).

Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto. (2024). Childfree di Indonesia, Fenomena atau Viral Sesaat?. (Universitas Pelita Harapan, Indonesia). Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/381429038_Childfree_di_Indonesia_Fenomena_atau_Viral_Sesaat

IAIN Kediri. (2023). Bab II: Landasan Teori. IAIN Kediri. Diakses dari https://etheses.iainkediri.ac.id/6267/3/931115018_bab2.pdf

IAIN Kediri. (2023). Bab II: Gambaran Umum Childfree. IAIN Kediri. Diakses dari https://etheses.iainkediri.ac.id/6821/3/931108818_bab2.pdf

https://digilib.uinsgd.ac.id/78304/4/4_Bab%201-3.pdf

Yoursay.id. (2022, Desember 28). ‘Punya ketakutan’ ternyata ini alasan Maudy Ayunda tak ingin buru-buru punya anak. Yoursay.id. https://yoursay.suara.com/entertainment/2022/12/28/104754/punya-ketakutan-ternyata-ini-alasan-maudy-ayunda-tak-ingin-buru-buru-punya-anak

Widiastuti, S. (2020, Juni 7). Memahami istilah childfree & penyebab pasangan tak ingin memiliki anak. Gramedia Blog. Diakses dari https://www.gramedia.com/best-seller/istilah-childfree/

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses