Menjajaki Puitika Struktural dalam Puisi “Ibu” Karya D. Zawawi Imron

Menjajaki Puitika Struktural dalam Puisi
Ilustrasi Puisi (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Karya sastra merupakan suatu bentuk ungkapan dari gagasan pikiran atau ide yang diimplementasikan melalui tulisan dengan memanfaatkan bahasa dan berbasis pada unsur kreativitas. Karya sastra memiliki konvensi berupa aturan tak tertulis yang membentuk ciri khas setiap karya.

Melalui karya sastra, seseorang dapat mengekspresikan perasaan dan hasil pemikirannya yang dikemas dengan menggunakan imajinasi. Maka, dapat diakui juga bahwa salah satu tujuan mempelajari sastra adalah agar seseorang dapat merasakan dan memahami sebuah realitas kehidupan.

Karya sastra terbagi menjadi tiga genre, yaitu puisi, prosa, dan drama. Salah satu karya sastra yang paling banyak diminati saat ini adalah puisi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Puisi merupakan sebuah karya sastra berupa tulisan yang mengedepankan unsur keindahan, jika dilihat dari irama, bunyi, dan diksinya.

Puisi mengungkapkan gagasan seseorang secara imajinatif yang dikelompokkan berdasar pada kekuatan bahasa.

Puisi adalah salah satu genre dalam karya sastra berupa rangkaian hasil pemikiran serta perasaan seseorang yang dituliskan dalam bentuk karya dengan bahasa yang estetis. Sebagai salah satu genre sastra, puisi lebih terikat kepada aturan dan memiliki secondary modelling system.

Dalam menginterpretasikan puisi, terdapat beberapa cara yang dapat dicoba, misalnya dengan menelaah karya puisi tersebut.

Telaah karya sastra yang akan dibahas adalah berkaitan dengan puitika struktural milik Culler. Puitika struktural adalah hasil pemikiran Culler yang berupa ilmu tentang puitik.

Dalam puitika struktural, terdapat 4 unsur, yaitu jarak dan deiksis, keseluruhan organik, tema dan perwujudan, serta resistensi dan pengembalian. Dalam perkembangan puisi, telah hadir banyak penyair dari berbagai angkatan, salah satunya adalah D. Zawawi Imron.

Zawawi Imron merupakan seorang penyair yang sajak-sajaknya sering kali menghadirkan tema perenungan. Salah satu puisi karya beliau yang banyak dikenal khalayak ramai adalah puisi berjudul “Ibu”.

Puisi tersebut menunjukkan sebuah seruan untuk membangkitkan kembali ingatan atas segala dedikasi seorang ibu yang senantiasa mengiringi tanpa syarat. Selain itu, puisi tersebut juga merupakan tepuk kuduk kepada seorang ibu sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Berikut isi dari puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron:

Ibu

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau

Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting

Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau

Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku

Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan

Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku

Dan ibulah yang meletakkan aku di sini

Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang

Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi

Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera

Sempit lautan teduh tempatku mandi, mencuci lumut pada diri

Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh

Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan

Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu

Lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala

Sesekali datang padaku

Menyuruhku menulis langit biru

Dengan sajakku.

Untuk dapat menginterpretasikan puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron lebih lanjut, berikut salah satu telaah puisi tersebut dengan memanfaatkan puitika struktural milik Culler.

a. Jarak dan Deiksis

Deiksis merupakan sebuah kata sumber rujukannya dinamis, tergantung kepada waktu dan tempat sesuatu diuraikan, serta oleh siapa hal itu dibicarakan. Deiksis bekerja pada ruang sela tertentu dari sebuah situasi yang terjadi.

Deiksis terdiri atas tiga jenis, yaitu deiksis kewaktuan, keruangan, dan persona. Pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron terdapat beberapa penggunaan deiksis kewaktuan yang mengacu pada waktu peristiwa di dalam teks. Contoh dari penggunaan deiksis waktu tercantum pada larik-larik berikut:

(1) Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
(2) Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
(3) Sesekali datang padaku

Berdasarkan kutipan puisi di atas, ditemukan adanya penggunaan deiksis waktu pada kalimat “datang musim kemarau”; “datang angin sakal”; dan “sesekali datang padaku” yang merupakan petunjuk waktu dan menuturkan bahwa peristiwa atau kondisi yang tercantum di dalam teks puisi tersebut tengah terjadi jika dilihat hanya dari sepenggal akhir kalimat.

Berikutnya, terdapat pula deiksis keruangan yang menunjukkan rujukan untuk mewakili sebuah tempat dalam teks. Contoh deiksis keruangan dalam teks puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron adalah sebagai berikut:

(1) Dan ibulah yang meletakkan aku di sini

Berdasar larik tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan rujukan ‘di sini’ mengarah pada sebuah tempat yang disebut sebagai ‘gua pertapaan’.

Deiksis ini menjadi rujukan kepada seorang ibu yang disebutkan oleh pengarang. Selanjutnya, terdapat beberapa penggunaan pronomina persona seperti aku, -ku, -mu, dan engkau sebagai representasi dari jenis deiksis persona. Contoh penggunaan deiksis persona dalam teks puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron adalah sebagai berikut:

(1) Bila aku merantau
(2) Ibu adalah gua pertapaanku
(3) Lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu.

Deiksis persona yang digunakan merupakan jenis deiksis yang menjadi kata ganti orang pertama dan orang kedua. Beberapa deiksis yang telah dijabarkan menjadi sebuah penjelas makna dari apa yang telah diuraikan oleh pengarang. Sehingga makna yang terkandung dalam puisi dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca.

b. Keseluruhan Organik

Unsur puitika selanjutnya adalah keseluruhan organik atau organic wholes. Keseluruhan organik merupakan unsur-unsur pembangun puisi secara keseluruhan yang mampu mendatangkan interpretasi oleh pembaca atau horizon harapan dan kebulatan makna.

Unsur-unsur keseluruhan organik dalam teks puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron di antaranya meliputi diksi, majas, imaji, versifikasi, dan tipografi dengan keterangan sebagai berikut.

1. Diksi

Diksi merupakan pilihan kata yang tepat guna mengungkapkan sebuah ide atau gagasan agar dapat selaras dan sesuai dengan keinginan penulis.

Pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron, diksi yang digunakan berfungsi estetis dalam seluruh isinya, yaitu untuk memberikan nilai keindahan dalam puisi. Selain itu, pilihan diksi tersebut juga bermakna konotatif, sebab makna yang dituliskan mengandung nilai tambahan di luar makna literalnya.

Contohnya seperti pada larik:

(1) “Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan” yang melambangkan di dalam hati terdapat rasa gandrung akan kenangan yang indah.

(2) “Ibu adalah gua pertapaanku” yang melambangkan kehidupan seseorang saat berada dalam uterus ibu sebagai tempat bernaung kala itu.

(3) “Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh” yang melambangkan bahwa kasih sayang ibu merupakan tempat arungan untuk menjaring segala hal yang hadir dalam perjalanan hidup dan menetapkan batas pemberhentian atasnya agar tidak sampai salah arah.

(4) “Bila aku berlayar lalu datang angin sakal” yang melambangkan adanya sebuah hambatan dalam proses perjalanan.

(5) “Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala” yang melambangkan bahwa seorang ibu merupakan perempuan elok dari kayangan yang berselimut aneka macam warna di hidupnya.

2. Majas

Majas merupakan sebuah bentuk bahasa untuk menghidupkan sebuah pernyataan atau suasana dalam kalimat. Pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron, majas yang dimanfaatkan yaitu majas metafora atau kelompok kata yang mengandung bukan arti sesungguhnya, tetapi berbasis pada perbedaan ataupun persamaan.

Contohnya seperti pada larik:

(1) Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan”;

(2) “Ibu adalah gua pertapaanku”;

(3) “Sempit lautan teduh tempatku mandi, mencuci lumut pada diri”;

(4) “Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh”;

(5) ”Bila aku berlayar lalu datang angin sakal”;

(6) “Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala”; dan

(7) “Menyuruhku menulis langit biru”. Selanjutnya, terdapat majas simile atau kelompok kata yang mengandung bukan arti sesungguhnya, tetapi berbasis pada perbedaan ataupun persamaan. Contohnya seperti pada larik Bila kasihmu ibarat samudera”.

3. Imaji

Imaji merupakan sebuah citraan berbagai indera manusia. Pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron, imaji yang digunakan yaitu imaji gustatori atau citra perasa, seperti Sedap kopyor susumu”; kemudian imaji visual atau citra penglihatan, contohnya seperti pada larik:

(1) Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting”;

(2) “Hanya mata air air matamu ibu”; dan

(3) “Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi”, serta imaji olfaktori atau citra penciuman, seperti Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang.

4. Tipografi

Tipografi merupakan tata letak satuan bahasa dalam puisi. Pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron, tipografinya termasuk pada puisi yang padat dan terdiri atas 25 larik, pungtuasi atau penggunaan tanda baca seperti koma (,) sebagai pemisah sebagian unsur dalam sebuah kalimat dan titik (.) sebagai pengakhiran kalimat, serta penggunaan huruf kapital di setiap awal kata dalam setiap larik.

5. Versifikasi

Versifikasi merupakan segala hal yang berhubungan dengan bunyi dalam puisi. Pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron, versifikasi yang digunakan antara lain adalah rima atau pola pengulangan bunyi pada akhir diksi dalam sebuah puisi, baik posisinya di awal, tengah, maupun akhir.

Contohnya seperti pada beberapa penggalan puisi berikut:

(1) Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
      Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
      Hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir

Dari penggalan puisi di atas, terlihat adanya keselarasan rima pada akhir beberapa diksi, baik yang berada di tengah, maupun di akhir larik.

Pada larik pertama, terlihat pola pengulangan bunyi vokal “u” dalam beberapa diksi, baik di tengah maupun di akhir larik. Sedangkan pada larik kedua, terdapat pola pengulangan bunyi likuida “r” dan bunyi sengau “ng” yang terletak di tengah dan di akhir larik.

Lalu, pada larik ketiga, terdapat pola pengulangan bunyi likuida “r” yang terletak di tengah dan di akhir larik.

(2) Bila aku merantau
      Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
      Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
      Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Pada bait kedua, dalam larik pertama dan kedua, terlihat dominasi pengulangan bunyi vokal “u” baik di tengah maupun di akhir larik. Sedangkan pada larik ketiga, terdapat pola pengulangan bunyi sengau “n” yang terletak di tengah dan di akhir larik.

(3) Ibu adalah gua pertapaanku
      Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
      Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
      Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
      Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Pada bait ketiga, dalam larik pertama, keempat, dan kelima terdapat dominasi pengulangan bunyi vokal “u” di akhir diksi pertama. Pada larik pertama dan kedua, terdapat pola pengulangan bunyi “h” yang terletak di tengah larik dan pola pengulangan bunyi “ku”.

Pada larik kedua dan ketiga, terdapat pengulangan bunyi sengau “ng” yang berada di tengah dan di akhir larik. Selanjutnya, pada larik keempat dan kelima terdapat pengulangan bunyi “uk” di tengah dan bunyi “i” di akhir larik.

(4) Bila kasihmu ibarat samudera
      Sempit lautan teduh tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
      Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
      Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
      Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
      Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
      Lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu

Pada bait keempat, dalam larik pertama, keempat, keenam, dan ketujuh terdapat pola pengulangan bunyi “u” baik yang berada di tengah maupun di akhir larik.

Pada larik kedua, terdapat pola pengulangan bunyi “i” sedari tengah hingga akhir larik. Pada larik ketiga, terdapat pola pengulangan bunyi likuida “r” dari tengah sampai akhir larik. Pada larik keempat dan kelima, terdapat pola pengulangan bunyi sengau “n”, baik di awal, tengah, maupun akhir larik.

(5) Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
      Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Pada bait kelima, larik pertama dan kedua, terdapat pola pengulangan  bunyi likuida “l”  di akhir larik. Sedangkan pada larik kedua, terdapat pola pengulangan bunyi sengau “n” di awal dan tengah larik.

(6) Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
      Sesekali datang padaku
      Menyuruhku menulis langit biru
      Dengan sajakku.

Pada larik seluruh larik di atas, terdapat pola pengulangan bunyi “u”, baik di awal, tengah, maupun akhir larik.

c. Tema dan Perwujudan

Unsur puitika struktural selanjutnya adalah tema dan perwujudan atau theme and epiphany. Dari unsur ini, tema merupakan gagasan pokok yang menjadi ide utama puisi-puisi di dalam buku. Sementara perwujudan ialah bagaimana situasi teks puisi tersebut mampu membuat para pembaca menginterpretasikan puisi.

Tema yang menjadi ide pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron adalah besarnya kasih sayang dan dedikasi seorang ibu yang senantiasa menyertai di manapun anaknya berada. Perwujudan atau situasi dalam teks puisi tersebut terbangun atas nada dan perasaan.

Nada merupakan sesuatu yang berhubungan dengan makna dan rasa. Puisi tersebut bernada seruan sebagai pinta untuk menyadari segala dedikasi seorang ibu. Sedangkan perasaan merupakan ekspresi dalam sebuah puisi. Perasaan yang terkandung dalam puisi tersebut adalah haru dan belas kasih.

Dua hal tersebut yang kemudian membantu membangun situasi dalam teks sehingga pembaca mampu menginterpretasikan puisi, pun termasuk menyimpulkan amanat atau pesan yang disampaikan dalam sebuah puisi.

Pada puisi tersebut, amanat yang disampaikan yaitu pentingnya mengenang segala jasa atas dedikasi seorang ibu yang tidak akan pernah tergantikan oleh apapun.

d. Resistensi dan Pengembalian

Resistensi dan pengembalian merupakan kekhasan teks puisi yang terletak pada ketahanan dalam pola dan bentuknya. Pola dan bentuk menduduki posisi yang penting mengenai pengaruh kehadirannya terhadap makna.

Pola merupakan bentuk atau struktur dalam teks tertentu, sedangkan bentuk berarti sistem perwujudan suatu teks. Pola pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron salah satunya adalah pengulangan bunyi yang ditimbulkan oleh huruf terakhir pada beberapa kata (rima).

Rima pada puisi tersebut di antaranya seperti pada bait pertama: dalam larik pertama, terlihat pola pengulangan bunyi vokal “u” yang terletak di tengah dan di akhir larik; dalam larik kedua, terdapat pola pengulangan bunyi likuida “r” dan bunyi sengau “ng” yang terletak di tengah dan di akhir larik; serta dalam larik ketiga, terdapat pola pengulangan bunyi likuida “r” yang terletak di tengah dan di akhir larik.

Pada bait kedua: dalam larik pertama dan kedua, terlihat dominasi pengulangan bunyi vokal “u” baik di tengah maupun di akhir larik; dan pada larik ketiga, terdapat pola pengulangan bunyi sengau “n” yang terletak di tengah dan di akhir larik.

Pada bait ketiga: dalam larik pertama, keempat, dan kelima terdapat dominasi pengulangan bunyi vokal “u” pada akhir diksi pertama; dalam larik pertama dan kedua, terdapat pola pengulangan bunyi “h” yang terletak di tengah larik dan pola pengulangan bunyi “ku”; dalam larik kedua dan ketiga, terdapat  pengulangan bunyi sengau “ng” yang berada di tengah dan di akhir larik; serta dalam larik keempat dan kelima terdapat pengulangan bunyi “-uk” di tengah dan bunyi “i” di  akhir larik.

Pada bait keempat: dalam larik pertama, keempat, keenam, dan ketujuh terdapat pola pengulangan bunyi “u” yang berada di tengah dan di akhir larik; dalam larik kedua, terdapat pola pengulangan bunyi “i” sedari tengah hingga akhir larik; dalam larik ketiga, terdapat pola pengulangan bunyi likuida “r” dari tengah sampai akhir larik; dan dalam larik keempat dan kelima, terdapat pola pengulangan bunyi sengau “n”, baik di awal, tengah, maupun akhir larik.

Pada bait kelima: dalam larik pertama dan kedua, terdapat pola pengulangan bunyi likuida “l” di akhir larik; dan dalam larik kedua, terdapat pola pengulangan bunyi sengau “n” di awal dan tengah larik.

Pada bait keenam: dalam seluruh lariknya terdapat pola pengulangan bunyi “u”, baik di awal, tengah, maupun akhir larik. Dari segi sistem perwujudan atau bentuknya, puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron termasuk puisi lirik, yakni puisi yang berbentuk baris-baris atau larik-larik.

Dari hasil pembacaan dan analisis puitika struktural pada puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron menunjukan bahwa puisi tersebut berkaitan dengan puitika struktural milik Culler.

Deiksis pada puisi tersebut terdiri atas tiga jenis, yaitu deiksis kewaktuan, keruangan, dan persona. Unsur-unsur keseluruhan organik dalam teks puisi tersebut meliputi diksi, majas, imaji, versifikasi, dan tipografi.

Tema dan perwujudan yang terkandung ialah mengenai besarnya kasih sayang dan dedikasi seorang ibu serta terbangun atas nada dan perasaan dalam puisi. Resistensi dan pengembalian dari puisi tersebut adalah pengulangan bunyi yang berselang atau rima dan termasuk puisi lirik.

Penulis: Dhea Berta Marsella
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Culler, J. (1975). Structuralist Poetics; Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature. 179.

Ginanjar, D., Kurnia, F., & Nofianty, N. (2018). Analisis Struktur Batin Dan Struktur Fisik Pada Puisi “Ibu” Karya D. Zawawi Imron. Parole: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1(5), 721-726.

Lafamane, F. (2020). Karya sastra (puisi, prosa, drama).

Septiani, D. (n.d.). Tiga Puisi Tentang Kisah Nabi Nuh: Kajian Religiositas dalam Puisi.

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI