Mudik

Tradisi tahunan masyarakat di dunia adalah pulang ke kampung halaman pada hari raya, khususnya hari raya Lebaran. Peristiwa ini biasa disebut mudik.

Jakarta yang merupakan pusat berkumpulnya para perantau dari seluruh belahan Indonesia tiba-tiba menjadi sepi ketika menjelang dan beberapa hari setelah Lebaran. Jalan-jalan di Jakarta tampak lengang. Pusat perbelanjaan pun terlihat sepi pengunjung.

Puncak mudik biasanya terjadi pada H-2 hingga hari lebaran tiba. Polda Metro Jaya memperkirakan jumlah pemudik yang berangkat dari Jakarta mencapai kenaikan 11 persen (Detiknews.com, Kamis, 16/08/2012).

Bacaan Lainnya

Mudik Ke Makassar
Salah satu daerah tujuan mudik itu adalah ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketua Terminal Malengkeri, Abdul Aziz, menyebutkan, “jumlah pemudik yang melewati terminal ini adalah sekitar 1500 orang.” (Fajar,16 Agustus)

Saya ingin cerita sedikit karena kebetulan saya juga sering merasakan mudik ke Makassar. Semasa kuliah dulu, hampir setiap tahun saya mudik ke Palopo (salah satu Kotamadya di Sulawesi Selatan), ke rumah orang tua. Ketika mendekati hari lebaran, entah mengapa ada kegembiraan yang sangat, ketika saya mulai memesan tiket, serta mengetahui hari, jam, dan dengan pesawat apa saya akan sampai ke Makassar.

Packing adalah kegembiraan selanjutnya. Biasanya saya akan memilah-milah pakaian, sepatu, tas, dan aksesoris yang ter-oke (menurut saya) untuk dibawa pulang. Yah, maklumlah, salah satu psikologis orang kota pulang ke kampung adalah cenderung membawa hal-hal baru. Mungkin karena memang orang itu suka dengan sesuatu yang baru, mungkin karena mau pamer, atau mungkin beberapa dari barang bawaan itu akan dibagikan ke keluarga, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Biasanya saya mudik bersama saudara, ipar, dan keponakan. Butuh waktu dua jam penerbangan dari Jakarta ke Makassar. Dari Makassar, kami masih harus melanjutkan perjalanan ke kota Palopo dengan menggunakan bis. Lama perjalanan sekitar 7-8 jam. Sebuah perjalanan yang melelahkan sebenarnya, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Karena di dalam hati dan fikiran telah didominasi oleh rasa senang. “Hmm…, sebentar lagi bertemu orang tua, saudara, nenek, dan seluruh keluarga besar.” itu mungkin kalimat ajaib yang menjadi motivasi selama perjalanan. Dan. puncaknya adalah ketika pertama kali turun dari bis, lalu berjalan menuju rumah. Rasanya ‘sesuatu banget’ (dalam istilah Syahrini).

Nilai Lain Mudik
Selain soal tradisi, mudik sejatinya mengandung nilai yang lebih tinggi dan mulia. Paling tidak, ada tiga hal. Pertama, dari segi waktu. Ini menjadi moment penting karena terjadi dalam jangka satu tahunan, bahkan mungkin bertahun-tahun- bagi mereka yang sangat sibuk atau tak punya cukup dana. Bisa dibayangkan, betapa menumpuknya rasa rindu yang terpendam ketika telah lama tak berkumpul bersama keluarga. Apalagi bagi mareka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, yang setiap hari bersinggungan dengan lingkungan individualis, tak lain dan tak bukan, keluarga adalah tempat untuk kembali. Tempat melampiaskan keluh kesah.

Kedua, moment silaturahim. Pada hari lebaran, bisa dibilang semua orang akan mudik ke kampung halaman. Nah, di sinilah waktu yang tepat untuk menyambung tali silaturahim dengan keluarga, sahabat, teman sedari kecil, tetangga, mantan pacar, dan siapa pun, yang mungkin telah lama tak bertemu, hilang kontak, atau mungkin pernah terselip luka di antara kita. Inilah moment yang tepat untuk bertemu dan saling memaafkan. Itulah mengapa di dalam Islam sangat dianjurkan pentingnya menjaga dan menyambung tali silaturahim.

Ketiga, moment berbagi. Salah satu image perantau di mata orang desa adalah telah sukses di kota besar. Salah satu implikasinya, saudara-saudara, khususnya yang masih bocah-bocah, biasanya akan meminta ampau. Saat itu, kepekaan dan rasa kekeluargaan kita diuji. Boleh jadi kita tak seperti yang dipersepsikan mereka (banyak duit), tapi ketika mereka mendekati dan mengulurkan telapak tangan, biasanya kita akan tergerak mengeluarkan kocek. Dan, menariknya, setelah memberikan uang, biasanya ada rasa senang dan bangga pada diri kita. Mungkin karena kita menjadi harapan mereka (keluarga) dan kita pun mau berusaha memenuhinya.

Mungkin karena itulah mudik menjadi hal yang fenomenal sekaligus menyenangkan. fenomenal karena diwarnai dengan berbagai peristiwa unik seperti, mudik sekeluarga dengan menggunakan bajai, rela berdesak-desakan dan mengantri berjam-jam, bahkan seharian demi mendapatkan tiket, sampai ancaman resiko kecelakaan dan kematian. Tapi sekaligus menyenangkan karena justru fenomena itu memberikan spirit tersendiri untuk berjuang demi berkumpul bersama keluarga tercinta.
MILASTRI MUZAKKAR
Penulis adalah Mantan Kabid. PP PB IKAMI SULSEL 2010-2011.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI