New Normal, Solusi atau “Bom Waktu”

new normal

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa pada tahun 2020 ini akan diingat dan dikenang sebagai salah satu tahun yang begitu “gelap” dan menyulitkan dalam sejarah kehidupan manusia dalam beberapa tahun terakhir. Harusnya pada awal-awal memasuki tahun baru, setiap negara akan mempersiapkan planing-planing yang begitu besar untuk keberlangsungan negaranya, baik persiapan jangka pendek, menengah bahkan jangka panjang.

Berawal dari berita sayup-sayup di penghujung tahun 2019 bahwa ada virus misterius menyerupai SARS telah muncul di Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, salah satu provinsi di Tiongkok. Perlahan tapi pasti, kabar tersebut menjadi kebenaran setelah Badan Dunia untuk Kesehatan (WHO) menyampaikan pengumumannya bahwa ada varian baru dari virus Corona muncul di Wuhan dan telah menjangkiti banyak orang. Pada tanggal 30 Januari kemudian WHO menyatakan bahwa dunia telah dilanda pandemi virus Corona varian baru yang kemudian diberi nama sebagai Corona Virus Disease 2019 atau COVID-19.

Covid-19 telah melahirkan krisis tata kelola dan kebijakan penanganan pandemi di berbagai negara. Hampir seluruh negara, terlepas dari status kemajuan ekonomi dan teknologi, serta kehandalan sektor pelayanan kesehatan, menghadapi ketidakpastian dan ketidakyakinan dalam menangani COVID-19. Sistem manajemen krisis standar seolah kehilangan relevansi, memaksa pemerintah di berbagai negara mengambil kebijakan yang cenderung bersifat trial and error. Covid-19 melahirkan tantangan tata kelola krisis pandemi yang bersifat unprecedented dalam konteks global.

Bacaan Lainnya
DONASI

Kita ketahui bahwa akibat dari persoalan pandemi ini memunculkan banyak sekali persoalan, salah satu yang sangat berdampak adalah sektor ekonomi. Banyak terjadi pemutusan  hubungan kerja (PHK) di berbagai perusahaan, penurunan pendapatan masyarakat, berkurangnya produksi dan lain sebagainya. Selain ekonomi pendemi ini juga berdampak pada sosial masyarakat, pemerintah memberikan intruksi untuk masyarakat untu dapat menjaga jarak, dirumah aja, sampai work from home (WFH) sehingga menimbulkan efek berkurang produktivitas masyarakat dan permasalahan lainnya.

Akibat dari persoalan ini memaksakan pemerintah untuk segera mencari solusi yang efektif dan tepat untuk meredam segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Solusi tersebut dituangkan oleh pemerintah dalam satu keputusan yang disebut dengan tatanan hidup baru atau baru-baru ini dikenal dengan New Normal.

Presiden gencar mewacanakan hidup new normal atau berdamai dengan corona diwaktu mendatang. Jokowi berharap agar kiranya tatanan new normal yang sudah dipersiapkan kementrian kesehatan disosialisasikan secara masif kepada masyarakat agar menimbulkan kesadaran masyarakat untuk menjalankan protokoler kesehatan yang telah dipersiapkan pemerintah guna mensukseskan kebijakan ini dengan harapan mengembalikan keadaan Indonesia kembali normal baik ekonomi, sosial dan segala sektor lainnya.

Sekarang penulis coba memaparkan persyaratan yang diajukan oleh WHO untuk negara-negara yang dapat menjalan New Normal ini, serta menganalisisnya apakah kebijakan ini dapat di terapkan di Indonesia atau tidak. Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Henri P Kluge memberikan Panduan untuk Negara-negara yang akan menerapkan agenda New Normal. Panduan yang diberikan Mr Kluge jika hendak menjalankan kebijakan New Normal dengan meringankan pembatasan dan transmisi harus terlebih dahulu memastikan:

  1. Transmissi Covid-19 sudah terkendali, sehingga angka terinfeksi semakin menurun.
  2. Kapasitas sistem kesehatan sudah mampu  mengidentifikasi dan melakukan Test, Trace dan Treat. 
  3. Mengurangi risiko wabah dengan pengaturan yang ketat pada tempat rentan dan komunitas rentan seperti lansia, kesehatan mental dan pemukiman padat. 
  4. Pencegahan di tempat kerja dengan menerapkan protokol medis yg ketat. 
  5. Risiko imported case sudah dapat dikendalikan oleh semua pemangku kepentingan. 
  6. Masyarakat  mempunyai kesadaran kolektif untuk ikut berperan dan terlibat terutama melaksakan protokol medis.

Melalui persyaratan yang disampaikan oleh WHO tersebut timbul polemik baru ditengah-tengah masyarakat dan pejabat negara, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra, ada yang setuju dengan keputusan tersebut namun tak sedikit yang mengkhawatirkan keputusan ini. Banyak yang menganggap bahwa keputusan ini tidak dapat diterapkan Indonesia mengingat indikator positif di Indonesia masih menunjukan angka yang cukup tinggi, jangan sampai keputusan ini menjadi “bom waktu” bagi negara Indonesia.

Dalam diskusi virtual yang dilakukan oleh Universitas Indonesia dan salah satu Universitas di Australia, sejumlah ahli berpendapat bahwa Indonesia belum siap dalam melaksankan New Normal atau tatanan kehidupan baru. Salah satu alasan yang mendasar bagi para ahli menolak kebijaakana tersebut dilakukan di Indonesia karena Indonesia masih belum melewati fase pertama atau gelombang pertama penyebaran covid-19 sehingga dikhatirkan akan menimbulkan gelombang kedua yang lebih berbahaya dari sebelumnya. WHO memberikan opsi bahwa negara yang dapat melaksanakan kebijakan ini adalah negara yang telah melewati fase puncak bukan negara yang sedang meraih fase puncak. Ditengah kesimpangsiuran informasi dan komplikasi kebijakan yang dijalankan pemerintah tampaknya menjalankan New Normal sesuatu yang mungkin perlu di tunda dan dikaji lebih mendalam.

Jika kita melihat kembali indikator yang diberikan WHO, sudah jelas bahwa Indonesia tidak bisa menerapkan kebijakan ini. Yang pertama, negara yang dapat menerapkan kebiajkan ini adalah ketika transmissi Covid-19 sudah terkendali, sehingga angka terinfeksi semakin menurun, jika melihat Indonesia tentunya sangat tidak tepat, pasalnya Indonesia sedang berada di dibawah gelombang pertama, penyebaran yang masih masif terjadi juga angka positif yang cukup tinggi sepertinya memberikan rasa pesimisme kepada kita terhadap penerapan kebijakan ini.

Yang kedua Kapasitas sistem kesehatan sudah mampu  mengidentifikasi dan melakukan Test, Trace dan Treat. Ditengah keterbatasan ekonomi terlihat bahwa Negara kita belum siap akan hal ini, dimana alat tes yang terbatas akibat mahalnya alat tes tersebut dan masih kurangnya kerjasama kolektif antara pemerintah dan masyarakat untuk menelusuri jejak penularan covid-19 ini membuat indikator ini menjadi terhambat,

Yang ketiga mengurangi risiko wabah dengan pengaturan yang ketat pada tempat rentan dan komunitas rentan seperti lansia, kesehatan mental dan pemukiman padat. Seperti yang kita ketahui bahwa masih terjadi kesimpang siuran informasi dan komplkasi kebijakan oleh pemerintah. Bagaimana mungkin kebijakan ini diterapkan tanpa adanya indikator khusus dari pemerintah untuk masyarakat,kebijakan ini bisa saja menimbulkan kebingungan kepada masyarakat, sebap tidak ada protokoler khusus dari pemirintah.

Yang ke empat, Masyarakat  mempunyai kesadaran kolektif untuk ikut berperan dan terlibat terutama melaksakan protokol medis. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki tingkat sosial yang tinggi, masyarakat Indonesia masih sangat suka berkumpul dan bercengkrama dengan sesama masyarakat. Proporsi orang yang tinggal dirumah saja sangat rendah di Indonesia hanya sekitar 46 persenan sedangkan untuk menjalankan kebijakan ini dibutuhkan proporsi mencapai 55 persenan, sehingga angka penularan dimungkinkan akan terus terjadi.

Kebijakan ini dianggap adalah kebijakan yang prematur dan terlalu cepat dilaksanakan ditengah keadaan yang belum baik seperti. Negara sehebat Korea Selatanpun gagal melaksanakan New Normal, padahal kita ketahui bahwa indikator yang yang disampaikan oleh WHO sudah dipenuhi oleh negara ini, namun tidak disangka kasus penyebaran di koera Meledak pasca New Normal, menyebapkan ditutupnya kembali sekolah,museum,sektor wisata dan lain sebagainya.

Indonesia yang masih berada dibawah tekanan pandemi ini, new normal bukan solusi untuk saat ini, dikhawatirkan kebijakan ini akan menjadi bom waktu yang satu saat akan meledak dan menimbulkan kekacauan yang lebih parah dari gelombang sebelumnya. Jika tatanan kehidupan baru ini dipaksakan, dapat dipastikan gelombang kedua bahkaan ketiga, puncak kedua dan ketiga akan terjadi di Indonesia, akibatnya Negara Indonesia akan terus berada di fase terendah dan sangat sulit untuk bangkit dari persoalan ini. Pemerintah harus berhati-hati mengambil keputusan ditengah krisis ini, segala keputusan harus berorientasi pada ilmu pengetahuan dan penalaran yang baik. Perlu diingat bahwa jika Indonesia mampu mengatasi masalah ini dengan baik maka kita keluar sebagai negara pemenang namun sebaliknya, jika Indonesia gagal untung mengatasi masalah ini dengan baik, maka kita keluar  sebagai negara pecundang.

Bantuan Referensi :
CNN INDONESIA
CBNC INDONESIA

Arfandi
Mahasiswa Universitas Syiah Kuala

Baca juga:
Kebijakan New Normal dan Pengaruhnya terhadap Ekonomi dan Politik
New Normal sebagai Langkah Awal Pemulihan Perekonomian dan Politik
Siapkah Indonesia Terapkan New Normal?

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI