Periwayatan Hadis Bil Makna

hadis bil makna

Sumber hukum utama bagi umat Islam ada dua yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-qur’an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril. Dan as-Sunnah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (ketetapan Nabi SAW).

Adapun as-Sunnah memiliki arti yang sama dengan hadis. Para ulama sepakat bahwa hadsi merupakan sinonim kata dari sunnah. Akan tetapi, pengertian hadis lebih bersifat khusus, dan terbatas hanya pada masalah yang berkaitan dengan hukum.

Adapun komponen utama dari hadis ialah sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian para perawi yang meriwayatkan matan hadis. Sedangkan matan adalah isi atau konteks dari hadis itu sendiri.

Baca juga: Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam Menentukan Kualitas Suatu Hadis

Bacaan Lainnya

Orang yang meriwayatkan hadis disebut dengan rawi, dan jika rawi menerima atau mendengar sebuah hadis dari seseorang kemudian dia meriwayatkan atau menyampaikan  hadis tersebut kepada muridnya atau orang lain, maka telah terjadi sebuah proses periwayatan hadis.

Proses periwayatan hadis terdiri dari dua hal, yaitu periwayatan bil lafdzi dan periwayatan bil makna, yang dimana para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan dari periwayatan bil makna. Maka ha ini perlu dikaji dan diteliti dari pandangan para ulama hadis.

Periwayatan dalam hadis ada dua macam yaitu periwayatan (bil Lafdzi) dengan lafadz dan periwayatan bil Makna (dengan makna).

Periwayatan dengan Lafadz ialah seseorang meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW bersabda tanpa mengubah, mengurangi atau menambahkan redaksi kata lain, persis seperti apa yang Rasulullah SAW ucapkan, pada periwayatan ini perlu diperhatikan kekuatan dan kekhususan penghafalannya.

Sedangkan periwayatan dengan makna ialah meriwayatkan atau menyampaikan suatu hadis kepada orang lain bukan atau tidak sama persis dengan lafadznya, tetapi merubah atau menggantikannya dengan lafadz yang semakna dari apa yang ia dengarkan dari Rasulullah SAW.

Baca juga: Analisis Penerjemahan Surat An Nur Ayat 4: Hadist Tentang Menyambung Silaturahmi dan Berbuat Baik Kepada Sesama

Sebelum membahas tentang periwayatan hadis dengan makna, perlu diketahui bahwa dalam proses periwayatan suatu hadis ada beberapa model atau bentuk dari periwayatan hadis yang mencakup al-tahammul (pengambilan hadis) dan al-ada’ (penyampaian riwayat), antara lain yaitu Al-Sima yaitu bentuk periwayatan hadis dengan cara sang guru membacakan hadis lalu didengarkan oleh muridnya.

Al-Qiraah, yaitu sang murid menghafal hadis lalu dibacakan kepada gurunya untuk dikoreksi terkait hafalan atau bacaan tersebut. Ijazah, yaitu memberikan izin untuk meriwayatkan hadis baik berupa ucapan atau tulisan. al-Munawalah, yaitu meriwayatkan dengan cara memberi sebuah kitab atau sebuah hadis oleh seorang guru agar driwayatkan atau disampaikan kepada orang lain.

Al-Kitabah, yaitu seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orag lain untuk menulis hadis yang telah dipelajari darinya. Al-I’lam, yaitu meriwayatkan hadis dengan cara seseorang memberitahu muridnya bahwa riwayat ini atauhadis ini merupakan riwayat darinya yang ia peroleh dari fulan tanpa memberi ijazah untuk meriwayatkannya. Al-Wasiyah, yaitu seorang guru berwasiat kepada muridnya tentang kitab yang diriwayatkannya, Ketika guru tersebut sedang pergi atau telah wafat.

Selanjutnya adalah pengertian dari periwatan hadis dengan makna, yaitu cara meriwayatkan hadis dengan merubah atau mengganti lafadznya dengan semakna dari lafadz Rasulullah SAW. Adapun periwayatan dengan makna muncul dilatarbelakangi dari pengertian hadis sendiri.

Bahwa hadis ialah segala sesuatu perkataan, perbuatan , dan ketetapan Nabi SAW. Tetapi, tidak semua hadis disampaikan dengan lafdzi, karena dari ketiga unsur tersebut hanya ucapan Nabi SAW yang dapat diriwayatkan dengan tekas murni.

Sedangkan hadis-hadis yang berupa perkataan atau ketetapan, redaksinya disaksikan langsung oleh para sahabat (perawi) yang kemudian diriwayatkan kepada generasi selanjutnya. Pada umumnya periwayatan dengan cara ini berlaku pada hadis yang bersifat fi’liyah (perbuatan).

Baca juga: Mencari Keberkahan Nuzulul Quran

Misalnya seperti saat seorang sahabat (perawi) menyaksikan kifaiyat shalat Nabi SAW, dari bagaimana cara takbiratul ikhram dengan mengangkat kedua tangan dan lainnya. Pada hal ini, secara tidak langsung para sahabat menerjemahkan perilaku Nabi SAW dalam mempraktekkan sholat melalui lafadz atau Bahasa si perawi agar mudah dipahami oleh orang-orang yang pada saat itu tidak menyaksikannya secara langsung.

Kebolehan mengenai diperbolehkan atau tidaknya periwayatan hadis dengan makan, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas dari para ulama hadis yang memperbolehkan periwayatan dengan makna, yaitu Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda, ‘Aliy bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan ‘Aisyah.

Tetapi dalam periwayatan tersebut  harus memperhatikan beberapa ketentuan, yaitu perawi tersbut harus benar-benar paham tentang pengetahuan Bahasa Arab, periwayatan ini hanya dibolehkan karena keadaan yang sangat terpaksa, yang diriwayatkan secara makna bukanlah sabda Nabi SAW yang bersifat ta’abudi dan berbentuk jawami’ al-kalim, serta periwayatan ini hanya berlaku pada masa sebelum kodofikasi hadis secara resmi.

Adanya ketentuan tersebut menjadi tanda bahwa periwayatan hadis secara makna, diperbolehkan ooleh mayoritas ulama hadis, tetapi dalam melakukan praktiknya tentu tidak bersifat ‘longgar’, yaitu artinya sang perawi tidak dapat begitu saja bebas melakukan periwayatan hadis secara makna, tetapi harus melalui proses yang sangat ketat.

Periwayatan dengan makna juga menjadi salah satu bentuk keringan dan kemudahan bagi umat , utamanya dalam hal tahammul wal ada’. Akan tetapi periwayatan dengan lafdzi tentunya lebih diutamakan sebagai bentuk kehati-hatian ulama dalam memelihara hadis Nabi SAW.

Adapun bentuk-bentuk dari periwayatan hadis dengan makna ada empat, yaitu al-Ikhtisar dan al-Taqthi’, al-Taqdim wa al-Takhir, al-Ziyadah dan al-Nuqshan, dan al-Ibdal. Contoh penerapan dari periwayatan hadis dengan makna, yaitu

أن رسول الله ص.م. فرض زكاة الفطر من رمضان على كل حرعبد ذكر أو أنثى من المسلمین

)رواه مالك عن ابن عمر)

Lafadz من المسلمین  dalam hadis tersebut merupakan ziyadah (lafadz tambahan) yang hanya ditemukan dalam riwayat dari Imam Malik. Al-I’raqi membantah bahwa lafadz tersebut bukan termasuk dari ziyadah, tetapi para ulama yang tsiqah memperoleh hadis ini tidak mencantumkan lafadz ziyadah.

Tetapi, mengingat bahwa Imam Malik adalah seorang periwayat yang tsiqah dan lafadz ziyadah ini juga tidak mengubah dari kandungan makna hadis, maka lafadz ziyadah tersebut tetap diterima dan oleh para ulama banyak dijadikan sebagai dalil.

Dengan proses periwayatan hadis, ilmu hadis dapat berkembang dengan pesatnya dari zaman Nabi SAW, para sahabat, dan generasi sesudahnya, dan banyak dari segolongan mereka yang meriwayatkan hadis Nabi SAW.

Pada zaman Rasulullah hadis tidak banyak ditulis oleh sahabat, karena kurangnya alat penunjang dan sedikit sekali para sahabat yang bisa menulis. Sehingga kebanyakan dari mereka menghafakan atau meriwayatkan secara lafdzi.

Tetapi, mengingat bahwa hadis Nabi SAW ada yang bersifat Qauliyah dan Fi’liyah, maka tidak semua hadis bisa diriwayatkan dengan lafadz. Dan juga adanya keterbatasan akal manusia (sifat pelupa), maka akan sangat sulit untuk bisa meriwayatkan hadis secara lafadz seluruhnya.

Periwayatan secara makna boleh dilakukan, asal tidak sampai merubah atau menyimpang dari makna dan tujuan hadis tersebut. Adapun periwayatan dengan makna memiliki proses yang sangat ketat, agar para perawi tidak asal meriwayatkan dengan kecenderungannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya pemalsuan hadis dan untuk menjaga keontetikan dari hadis.

Penulis: Dzuriatun Toyyibah Akhyar
Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Pos terkait