Sahnya RUU TNI Membungkam Pers: Selamat Tinggal Demokrasi

Kebebasan pers merupakan bentuk kontrol terhadap kekuasaan pemerintah, menjembatani rakyat dengan yang berkuasa, menciptakan tegaknya demokrasi yang sehat.

Namun, rezim pemerintahan ini, kebebasan pers makin terasa semu, menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi ini.

Pemerintah menciptakan regulasi-regulasi baru yang mengancam kebebasan pers. Mereka mengesahkan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), yang memicu kekhawatiran masyarakat tentang dampak yang akan terjadi pada kebebasan pers dan demokrasi.

Segelintir kalangan dari masyarakat memberikan pandangan bahwa revisi undang-undang ini memberikan potensi yang mengancam prinsip supremasi sipil, serta dapat membuka ruang bagi pihak militer dalam bidang pemerintahan sipil.

Bacaan Lainnya

Undang-undang TNI memberikan kekhawatiran dalam konteks kebebasan pers lantaran memberikan wewenang yang lebih besar kepada militer dan pengawas media sebab dapat menimbulkan resiko membatasi kebebasan pers.

Disisi lain, Undang Undang ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan demokrasi Indonesia, menuntut perhatian serta respon untuk tetap memastikan bahwa prinsip demokrasi dan hak asasi manusia tetap akan terjaga.

Baca juga: Sahnya RUU TNI: Pensiunnya Hukum dari Tanggung Jawab Keadilan

Demokrasi dalam Ancaman

Demokrasi Indonesia kembali berada di ujung tanduk. Disahkannya Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh DPR RI pada awal tahun ini bukan hanya soal peran militer dalam menjaga kedaulatan negara, tetapi tentang bagaimana kebebasan sipil terutama kebebasan pers digeser secara perlahan.

Dalam negara demokratis, pers adalah pilar keempat kekuasaan. Namun dengan diberikannya wewenang ekstra kepada militer, kini pilar itu terancam runtuh oleh tangan negara sendiri.

Kini pemilu hanyalah formalitas, suara rakyat dibungkam tuntas. Kebebasan pers diancam dibungkam habis-habisan.

Dibalik layar berita-berita kritik dan opini tajam yang beredar ada ancaman yang menghantui mereka. Seorang jurnalis muda, kamera di tangan, merekam riuh demo tolak RUU TNI di depan Gedung DPR, Maret 2025.

Tiba-tiba dipukuli dan lensa kameranya dirampas. Ini bukan sekadar kekerasan fisik, tapi serangan terhadap kebebasan pers, pilar demokrasi yang kini terancam oleh Undang-undang TNI.

Ketika pers tak lagi bebas bersuara, rakyat kehilangan mata dan telinga untuk melihat kebenaran. Undang-undang TNI, dengan perluasan peran militer ke ranah sipil, bukan hanya soal keamanan, tapi ancaman nyata bagi demokrasi yang kita perjuangkan sejak Reformasi.

Dampaknya: Kembali ke Bayang-Bayang Orde Baru

Dengan wewenangnya sekarang, TNI dapat memantau media, aktivis, bahkan kritik masyarakat.

Mengingatkan pada dwifungsi ABRI, militer tak hanya sebagai pengawal keamanan, namun juga politik dan sosial yang membungkam kebebasan berekspresi.

Undang Undang TNI, tanpa kontrol yang ketat, membuka pintu bagi iklim otoriter. Demokrasi butuh ruang sipil yang bebas, tempat rakyat bersuara tanpa takut dipantau. Jika militer dominasi ranah ini, kebebasan pers dan partisipasi publik terkikis. Yang tersisa hanyalah demokrasi kulit, pemilu ada, tapi suara rakyat tak lagi punya daya.

Pasal-pasal Undang-undang TNI yang memperluas wewenang dan tugas baru kepada Tentara Republik Indonesia, menciptakan batasan informasi, mengancam demokrasi yang sehat.

Pemberian wewenang TNI dalam ranah sipil mempersulit liputan investigasi, terutama pelanggaran HAM dan penyalahgunaan anggaran militer.

Proses pengesahan RUU TNI menunjukkan betapa rapuhnya transparansi pemerintahan Indonesia,  tanpa draf publik, pers tak bisa berperan sebagai penyampai informasi. Tanpa informasi yang bebas, publik tak bisa membuat keputusan politik yang tepat.

Baca juga: Generasi Muda dan Dilema Partisipasi Politik: Peduli atau Apatis?

Kita tidak sedang berbicara soal kemungkinan, kita sedang melihat sejarah yang mengulang dirinya. Di masa Orde Baru, media hidup di bawah ketakutan. Setiap berita yang menyentuh sensitivitas militer bisa berujung pembredelan, kriminalisasi, bahkan penghilangan. Apakah kita rela kembali ke masa itu?

Dengan RUU ini, ruang redaksi bisa kembali menjadi ladang ketakutan. Jurnalis tidak lagi bebas meliput isu pertahanan, konflik, atau dugaan pelanggaran HAM oleh militer tanpa ancaman represi.

Kritik menjadi barang mewah, dan kontrol sipil terhadap militer menjadi ilusi belaka. Pers bukan sekadar profesi, tapi jembatan antara rakyat dan kebenaran.

Reaksi: Jeritan yang Diabaikan

Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, dan SAFEnet sudah menyuarakan penolakan keras terhadap RUU ini.

Mereka melihat ini sebagai ancaman terhadap kemerdekaan pers yang telah diperjuangkan sejak era reformasi. Namun jeritan itu nyaris tak didengar.

Pemerintah dan parlemen berdalih bahwa ini demi “ketahanan nasional”. Ironisnya, di balik nama besar “ketahanan”, ada demokrasi yang digerus secara sistematis. Jika suara-suara kritis diredam, lalu siapa yang akan mengawasi kekuasaan?

Solusi Demokratis Menghadang Pembungkaman Pers 

Mendorong uji konstitusionalitas kepada Mahkamah Konstitusi guna mengkaji kembali mengenai pasal-pasal yang telah diberlakukan adalah cara terbaik untuk menjaga kebebasan pers.

Menggerakkan Mahkamah Konstitusi, dilakukan dengan kampanye publik, di berbagai media sosial. Masyarakat juga tak hanya diam, berulang kali menyuarakan dengan gencar penolakan terhadap putusan tersebut.

Aksi kolektif, seperti demonstrasi dan diskusi terbuka, dengan massa aksi yang berlumur darah dan rasa sakit yang diterima, menjadi bukti nyata bahwa suara kritis yang mereka lontarkan menjadi ancaman pada sang pemilik kekuasaan.

Menerbitkan artikel, opini, atau podcast yang membahas pentingnya politik dan kritik tajam juga dapat membantu membangun kesadaran dan memperluas literasi masyarakat tentang bagaimana memperkuat demokrasi.

Namun, isu-isu sensitif mengakibatkan terbatasnya ruang gerak pers menyampaikan informasi secara objektif dan transparan kepada publik.

Fakta bahwa pers saat ini dihadapkan dengan ancaman, baik secara hukum maupun maupun intimidasi personal, membuat kita kembali lagi ke langkah awal, dengan mengajukan uji konstitusionalitas kepada Mahkamah Konstitusi demi mengkaji pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusional, baik dalam berekspresi maupun memperoleh informasi.

Untuk menjaga demokrasi, maka ketika suara pers hendak dibungkam, semua masyarakat harus siap menjadi garda terdepan demi membela negara kesatuan.

Saat pasal demi pasal disusun untuk membungkam, rakyat justru harus lebih nyaring bersuara. Judicial review mungkin satu-satunya jalan hukum, tapi tekanan publik adalah bahan bakar yang bisa menggerakkannya.

Baca juga: Dinasti Politik di Indonesia: Ancaman Korupsi dan Ketimpangan Demokrasi

Demokrasi Tak Bisa Hidup Tanpa Kebebasan Pers

Demokrasi bukan hanya tentang pemilu, tetapi tentang keberanian berbicara, menyampaikan kebenaran, dan mengkritik yang berkuasa.

Kebebasan pers bukan hanya soal jurnalis, tapi soal hak kita untuk tahu, bersuara, dan menentukan nasib kita sendiri.

Jika pers dibungkam oleh aturan yang dibalut jargon stabilitas, maka demokrasi tak lagi hidup, ia sekadar panggung kosong yang gemerlap di luar, tapi kosong dan hampa di dalam.

Kini, kita dihadapkan pada pilihan: diam dan membiarkan demokrasi mati perlahan, atau bersuara dan mempertahankan hak untuk berbicara. Karena jika hari ini pers dibungkam, maka esok kita semua bisa menjadi target berikutnya.

kutipan: “Kebebasan bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan hak yang diperjuangkan.”Aung San Suu Kyi

 

Penulis:

1. Firda Anju Mazzuhriyah
2. Amelia Choirunissa
3. Nabillah Nasywa Tory
4. Ezra Renato Isman
5. Anisah Hilya Tuddiniyah

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Kelompok 7 mata kuliah kewarga negaraan , Universitas Brawijaya

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses