Pertumbuhan penduduk di Indonesia terus meningkat dan belum dapat diimbangi dengan jumlah produksi bahan pangan. Harus diakui hal ini juga berdampak pada pemenuhan gizi masyarakat. Stunting sebagai akibat dari kekurangan gizi masih ditemukan di Indonesia.
Keadaan ini dapat terlihat ketika anak memasuki usia dua tahun dengan ciri fisik tinggi badannya terlihat lebih pendek dari anak seumurannya. Lebih parah lagi berdampak pada kurang berkembangnya fungsi kognitif anak. Hal ini merupakan keadaan kekurangan gizi yang sangat kronis.
Penyebab stunting terjadi sejak masa kandungan karena tidak mendapatkan gizi yang tepat untuk pertumbuhan janin, bahkan terdapat pendapat bahwa kondisi gizi pada perempuan sebelum hamil pun pada akhirnya memberi dampak pada kondisi calon janin nantinya.
Defisiensi makronutrien dan mikronutrien berkontribusi pada stunting dan makanan yang diperkaya adalah strategi potensial untuk mengurangi potensi stunting pada anak.
Masyarakat menaruh harapan besar pada ilmu pangan sebagai ilmu yang mempelajari pangan dari berbagai sudut pandang baik dari kimia, fisik, mikro, teknologi, dan ketersediaannya.
Lulusan ilmu pangan sebagai ahli pangan diharapkan mampu berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pangan sebagai bagian yang tidak mampu dipisahkan dari makhluk hidup. Fortifikasi atau pengayaan adalah salah satu metode yang potensial untuk meningkatkan kandungan gizi pada bahan pangan.
Salah satu makanan yang dapat dijadikan sebagai media pengayaan zat gizi untuk mengurangi masalah stunting di Indonesia ialah mi. Mi dipilih karena banyak digemari oleh masyarakat luas baik anak-anak, remaja, dewasa, laki-laki ataupun perempuan.
Asosiasi Mi Instan Dunia (WINA) mengatakan bahwa pada tahun 2022, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan konsumsi mi instan terbanyak di dunia yaitu urutan terbesar kedua setelah Cina. Bukankah produk mi di Indonesia sudah dikenal oleh banyak negara menandakan produk mi Indonesia sudah diakui dunia.
Akan tetapi dengan meningkatnya konsumsi mi maka kebutuhan terhadap tepung terigu sebagai bahan baku pembuatan mi juga meningkat. Sayangnya Indonesia bukan penghasil gandum sehingga impor gandum terus mengalami peningkatan.
Tingginya impor gandum ini setiap tahun akan mengalami peningkatan sejalan dengan tingginya produksi pangan berbahan baku gandum.
Kebiasaan impor akan berdampak pada ketahanan pangan dalam negeri, untuk itu upaya diversifikasi pangan dengan tepung berbahan baku lokal perlu dikembangkan seperti singkong, talas, dan ubi jalar yang tersedia melimpah.
Seiring dengan perkembangan teknologi pertanian, kini mulai dikembangkan mi berbahan baku non-terigu seperti mi dari tepung beras, sorgum, mocaf, jagung, dan lain sebagainya.
Pembuatan mi berbahan baku non-terigu tidak hanya dilakukan untuk mengurangi konsumsi gandum, tetapi juga untuk mendapatkan pangan ragam baru dari bahan-bahan lokal. Bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti tepung terigu adalah tepung jagung dan mocaf.
Berbagai komoditas lokal yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal, contohnya jagung dan singkong. Inovasi mi berbahan baku jagung menjadi alternatif untuk mengurangi masalah impor terigu saat ini.
Bahan pembuatan mi juga dapat berupa bahan komposit dari berbagai komoditas umbi-umbian seperti modified cassava flour (mocaf) dari singkong sebagai sumber karbohidrat atau tepung dari talas dalam upaya diversifikasi pangan.
Pengayaan nilai gizi mi instan dari bahan jagung dan mocaf dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan lain seperti rumput laut, daun kelor, atau pangan lokal lainnya sebagai bahan pangan pembawa berbagai zat gizi yang dibutuhkan untuk menunjang kesehatan dan pemenuhan gizi.
Sehingga dalam pengolahan satu produk ini saja berpotensi membantu penyelesaian berbagai masalah seperti pemenuhan gizi melalui fortifikasi pada pangan yang umum dikonsumsi masyarakat yang pada akhirnya mampu mengurangi masalah stunting.
Selain itu, mampu meningkatkan diversifikasi pangan lokal, mengoptimalkan hasil pangan lokal, mengurangi kegiatan impor, serta meningkatkan ketahanan pangan. Dengan memberi contoh di atas, yaitu bagaimana satu produk pangan dengan pengolahan yang tepat mampu menyumbang berbagai manfaat.
Kemudian bagaimana jika merancang puluhan bahkan ratusan produk lainnya dengan tetap mempertimbangkan berbagai sudut pandang ilmu pangan. Sungguh, sudah terbayang bagaimana kesejahteraan itu terealisasi. Demikian pentingnya peran lulusan ilmu pangan dalam hal ini.
Penulis:Â Baiq Nuzulina
Mahasiswa Magister Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor
Editor:Â Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News