Penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mendapatkan pekerjaan. Sulitnya penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan adalah masalah yang sering diabaikan, namun sangat relevan untuk meningkatkan motivasi dalam dunia kerja yang inklusif.
Adanya perlindungan hukum yang termuat dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2020, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2020, serta adanya kebijakan yang mendukung hak-hak penyandang disabilitas, membuat beberapa penyandang disabilitas bekerja di suatu perusahaan.
Meskipun begitu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak stigma, prasangka, dan kurangnya aksesibilitas yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam dunia kerja.
Hak memperoleh pekerjaan sendiri adalah hak setiap orang yang merupakan perwujudan hak asasi manusia dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya guna untuk melangsungkan kehidupannya secara layak. Hak untuk memperoleh pekerjaan termasuk bagi pekerja disabilitas telah diatur di dalam konstitusi Negara Indonesia. Karena itu hak tersebut mendapatkan perlindungan dan dijamin oleh hukum, sehingga perusahaan yang mempekerjaan pekerja disabilitas pada khususnya harus melindungi hak-hak mereka.
Dalam konteks tenaga kerja, menolak tenaga kerja penyandang disabilitas dalam perspektif hukum termasuk dalam pelanggaran hukum ketenagakerjaan dan melanggar hak asasi manusia juga merupakan bentuk diskriminasi yang jelas. Hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan yang dijamin oleh hukum.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Agustus 2020, diketahui bahwa penduduk dengan usia 15 tahun ke atas (usia kerja) yang merupakan penyandang disabilitas adalah sebanyak 17,95 juta orang. Angka tersebut sama dengan sebanyak 8,8% dari total penduduk usia kerja di Indonesia.
Menurut laporan Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas pekerja penyandang disabilitas di negeri ini menjalankan wirausaha. Pada tahun 2022, proporsi pekerja penyandang disabilitas dengan status berusaha sendiri mencapai 0,81% dari total penduduk bekerja secara nasional.
Adapun menurut Kementerian Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan Republik Indonesia (KEMENKO PMK) secara spesifik mencatat bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia, dengan jumlah disabilitas terbanyak pada usia lanjut, (2023).
Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi penyandang disabilitas sering kali mendapatkan banyak kendala atau tantangan selama mencari pekerjaan.
Salah satu tantangan utama adalah stigma dan stereotip. Banyak perusahaan yang memandang penyandang disabilitas sebagai beban atau individu yang lemah, tidak produktif, atau membutuhkan bantuan secara terus-menerus.
Mereka juga enggan mempekerjakan penyandang disabilitas karena kekhawatiran tentang produktivitas atau biaya akomodasi yang mungkin diperlukan. Hal ini membuat banyak perusahaan ragu untuk mempekerjakan mereka.
Padahal, dengan penyesuaian yang tepat, banyak penyandang disabilitas yang dapat bekerja dengan efisiensi yang sama, atau bahkan lebih baik, dibandingkan dengan pekerja tanpa disabilitas. Kurangnya edukasi dan kesadaran di kalangan pemberi kerja sering kali membuat mereka enggan memberi kesempatan.
Selain itu, banyak tempat kerja belum dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus penyandang disabilitas. Beberapa diantaranya, yakni kurangnya fasilitas seperti ramp untuk pengguna kursi roda, kurangnya alat bantu untuk penyandang tunanetra atau tunarungu, lift, atau toilet yang sesuai membuat mereka kesulitan untuk beraktivitas di lingkungan kerja.
Tidak hanya itu, kurangnya pelatihan inklusif juga menjadi hambatan. Program pelatihan yang dirancang khusus untuk meningkatkan keterampilan penyandang disabilitas masih jarang ditemukan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja modern. Hal ini memperparah kesenjangan dalam kesempatan kerja.
Baca juga:Â Stereotip terhadap Disabilitas, Sudahkah Terapkan Perlawanannya di Indonesia?
Lebih jauh lagi, meskipun ada beberapa kebijakan inklusif yang diterapkan oleh pemerintah, seperti kuota kerja untuk penyandang disabilitas, implementasinya sering kali tidak maksimal. Beberapa perusahaan hanya mematuhi aturan ini secara simbolis, tanpa sungguh-sungguh berupaya menciptakan lingkungan kerja yang benar-benar inklusif.
Padahal, penyandang disabilitas memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam dunia kerja. Mereka sering kali memiliki keterampilan yang unik, kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi sulit, dan motivasi yang tinggi untuk membuktikan kemampuan mereka. Jika dunia kerja lebih terbuka dan inklusif, ini akan menguntungkan tidak hanya bagi penyandang disabilitas, tetapi juga bagi perusahaan yang memanfaatkan talenta mereka.
Maka dari itu, tak heran jika penyandang disabilitas memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang tanpa disabilitas. Tingkat pengangguran yang tinggi berdampak pada kondisi ekonomi mereka, banyak dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan.
Kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan, termasuk kesehatan mental dan sosial. Selain itu, banyak penyandang disabilitas menjadi bergantung pada keluarga atau bantuan sosial.
Untuk mengatasi tantangan ini, peran pemerintah dan masyarakat sangat penting. Pemerintah perlu menerapkan dan mengawasi undang-undang anti-diskriminasi, mendorong aksesibilitas di tempat kerja, meningkatkan kesadaran perusahaan tentang pentingnya inklusi, serta  investasi dalam pendidikan dan pelatihan bagi penyandang disabilitas juga sangat diperlukan untuk memastikan mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja.
Selain itu, pemerintah dan bisnis dapat bekerja sama untuk membuat tempat kerja lebih mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Ini termasuk menghilangkan hambatan fisik dan komunikasi.
Tak hanya kontribusi dari peran pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi tantangan ini, bagi perusahaan atau individu yang terbukti melakukan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam hal pekerjaan, dapat dikenakan sanksi hukum.
Adapun sanksi yang diberikan antara lain seperti:
- Sanksi Pidana, dapat dikenakan sanksi pidana dan denda,
- Sanksi Administratif, seperti mendapatkan teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan izin usaha, hingga pencabutan izin usaha,
- Sanksi Perdata, penyandang disabilitas yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, untuk mendapatkan ganti rugi atas perlakuan diskriminasi yang dialaminya,
- Sanksi Ketenagakerjaan, dikenakan denda atau sanksi lain sesuai ketentuan yang berlaku di sektor ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, kesadaran dan edukasi di kalangan pemberi kerja, peningkatan aksesibilitas, serta implementasi kebijakan yang lebih kuat sangat dibutuhkan agar penyandang disabilitas bisa mendapatkan kesempatan yang setara dalam dunia kerja.
Dengan menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghilangkan hambatan yang ada, kita dapat membuka peluang bagi mereka untuk mencapai potensi penuh mereka serta dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dan produktif bagi semua pihak.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan penyandang disabilitas dapat memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan berkontribusi secara penuh dalam masyarakat.
Penulis: Devi Amanda
Mahasiswa Hukum, Universitas Bangka Belitung
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News