Sosialisasi Pemanfaatan Daun Kelor dalam Diversifikasi Sumber Pangan Keluarga

Sosialisasi Pemanfaatan Daun Kelor dalam Diversifikasi Sumber Pangan Keluarga
Sumber: pixabay.com

Pada prinsipnya kebutuhan manusia akan pangan disamping papan maupun sandang menjadi hal krusial. Dengan terpenuhinya ketiga aspek tersebut diharapkan manusia memperoleh ketenangan dalam hidup baik secara lahiriah maupun bathiniah.

Namun, adakalanya dalam ikthiar manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut, terkendala oleh berbagai permasalahan sumber daya untuk mengakses kebutuhan dasar tersebut. Hal ini mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan nutrisi ataupun asupan zat gizi dari pangan yang dikonsumsi.

Indonesia sendiri sebagai negara berkembang tidak luput dari permasalahan akan pemenuhan zat gizi warganya. Hal ini dibuktikan dengan publikasi survei kesehatan Indonesia 2023 yang menyatakan bahwa angka prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,5%.

Bacaan Lainnya

Data ini mengindikasikan bahwa ada 1 dari 5 balita di Indonesia mengalami stunting akibat kekurangan gizi selama masa pertumbuhan awal. Stunting akan berpengaruh pada perkemmbangan kemampuan kognitif, motorik dan verbal baik secara jangka pendek maupun jangka panjang.

Stunting sendiri merupakan keadaan tinggi badan seseorang yang bertumbuh secara tidak normal berdasarkan usia dan jenis kelamin (Candra, 2020). Perkembangan usia 0-2 tahun merupakan periode emas pertumbuhan anak.

Hal ini didasarkan karena di periode ini terjadi perkembangan serta pertumbuhan yang sangat pesat pada anak-anak. Adanya malnutrisi pada periode ini akan berdampak secara jangka panjang terhadap kemampuan anak tersebut di masa depan baik secara kognitif dan motorik.

Baca Juga: Mahasiswa KKN UNAND Meluncurkan Policy Brief untuk Mengatasi Permasalahan Stunting di Pesisir Selatan

Pelaksanaan program kerja ini dilakukan berbarengan dengan kegiatan survei mendata ibu yang mempunyai balita. Kegiatan pendataan dilakukan dengan mengunjungi rumah ke rumah warga. Survei ini dilakukan dalam bentuk sesi tanya jawab sekaligus berdiskusi dengan ibu bayi maupun pihak keluarga.

Diskusi dan tanya jawab dilakukan bersama para orangtua dari mulai kesehatan ibu dan anak, gizi, keadaan ekonomi keluarga, dan hal lain yang terdapat dalam kusioner. Saya melakukan diskusi umumnya bersama para ibu tekait dengan pentingya mengonsumsi tablet tambah darah bagi perempuan apalagi saat akan menjelang hamil.

Tablet tambah darah dengan kandungan zat besi (Fe) yang sangat berperan dalam pembentukan sel darah merah di dalam tubuh. Hal ini karena ketika Perempuan mengalami siklus mentruasi maka akan ada zat besi yang ikut terbuang bersama darah haid.

Kekurangan mineral Fe atau zat besi berisiko rendahnya produksi sel darah merah. Dimana sel darah sangat dibutuhkan dalam mengedarkan zat nutrisi di dalam tubuh ke setiap sel, sehinggga zat gizi bisa diserap dan digunakan oleh tubuh secara maksimal.

Pembentukan sel darah merah disamping membutuhkan mineral Fe juga memerlukan protein seperti myoglobin yang banyak terdapat dalam daging. Saya menyampaikan hal tersebut secara lisan selama proses wawancara dan diskusi.

Kemudian, saya memperkenalkan bahwa tanaman daun kelor dapat dijadikan sebagai sayuran dalam peningkatan pemenuhan gizi keluarga. Hal ini didasarkan bahwa tanaman kelor adalah tanaman yang dapat tumbuh di sekitar lingkungan seperti tanaman singkong.

Kemudahan masyarakat terutama ibu dalam mengakses dan mendapatkan daun kelor dari lingkungan sekitar, diharapkan dapat meningkatkan keberagaman akan olahan pangan yang dikonsumsi keluarga. Dikarenakan pada daun kelor terdapat zat nutrisi mineral seperti Fe dan protein yang cukup tinggi dalam bentuk daun segar maupun daun kering.

Baca Juga: Daun Kelor dianggap dapat Atasi Stunting

Selama proses kegiatan survei umumnya pemenuhan kebutuhan protein keluarga disuplai oleh telur ayam. Hal tersebut disampaikan oleh ibu-ibu kepada kami saat melakukan diskusi, sedangkan untuk daging sapi maupun daging ayam itu tidak terlalu sering dikonsumsi oleh mereka.

Meskipun daerah ini banyak yang berkerja sebagai nelayan maupun buruh nelayan, hal ini dikuatkan oleh pernyataan wali Kampung Surau Anjuang. Beliau menyatakan bahwa “hampir mayoritas warga berkerja  mambagan atau mencari ikan ke laut seperti laut dekat pulau Mentawai”, sehingga akses masyarakat maupun pemenuhan gizi dari sumber hewani seperti sangat terbuka lebar.

Namun karena posisi perkerjaan sebagai buruh nelayan dengan pendapatan tidak menentu, diasumsikann sebagai salah satu kendala faktor ekonomi dalam pemenuhan zat gizi dalam keluarga. Dikarenakan dengan pendapatan  tersebut harus terbagi akan pengeluaran seperti pembelian rokok, pembayaran pinjaman dan pengeluaran lainnya.

Keadaan ini membuat porsi uang yang digunakan untuk membeli bahan pangan menjadi berkurang. Hal ini nanti akan berdampak pada pemenuhan zat gizi dalam sebuah keluarga.

Ikan merupakan bahan pangan hewani dengan komposisi nutrisi akan zat gizi seperti protein, lemak serta berbagai mineral yang cukup tinggi. Dengan mengonsumsi ikan diharapkan risiko anak-anak mengalami stunting bisa diminimalisir.

Dalam hal sanitasi, warga memanfaatkan air sumur bor untuk mencuci, mandi maupun penggunaan lainnya. Sedangkan untuk air minum para warga biasanya mengonsumsi air galon.

Pengambilan sumber air yang berdekatan dengan septi tank. Jarak sumur bor yang kurang dari 10 m berisiko dalam menimbulkan tercemarnya air oleh bakteri Echercia coli. Keberadaan bakteri E. coli dalam perairan dapat menyebabkan terjadinya risiko penyakit diare pada manusia.

Pengunaan air yang mengandung bakteri E. coli untuk dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit diare, kram perut, kelelahan dan demam. Tingginya tingkat penyakit diare berkaitan dengan keberadaan maupun cemaran bakteri E. Coli.

Kontaminasi coliform berasal dari tinja manusia dan hewan berdarah panas yang terdapat dalam tangki septik. Kebocoran tangki septik merupakan penyebab terkontaminasinya air tanah dengan coliform dan E. Coli.

Baca Juga: Air Bersih sebagai Sumber dari Segala Kehidupan

Sebagian besar dari hasil penelitian tersebut, air tanah mengandung bakteri coliform, tetapi tidak semua air tanah mengandung bakteri E. Coli, ini dikarenakan oleh kondisi lingkungan dan faktor-faktor lainnya seperti jarak antara sumber air terhadap tangki septik, cuaca, intensitas hujan dan aktivitas manusia yang berada di sekitar sumber air tanah.

Sehingga ketika proses diskusi dan wawancara ketika menemukan jarak sumber air dengan septik tank dalam perkiraan kurang dari 10 meter. Saya mencoba menginformasikan bahwa jarak pengambilan mata air dengan sumber septik tank minimal sejauh 10 meter.

Hal ini bertujuan untuk meminimalisir risiko dari pencemaran bakteri E.coli ke badan air. Karena secara umum para anak-anak yang disurvei melalui penuturan orang tua, mengeluhkan dengan anak mereka sering mengalami penyakit diare.

Diare nantinya akan menyebabkan tidak optimalnya penyerapan nutrisi yang telah dikonsumsi oleh anak. Penyakit diare yang berulang dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tubuh anak.

Harapannya kedepan dengan mengonsumsi bahan beragam dan berimbang serta ditunjang oleh sanitasi yang baik akan menunjang dalam pertumbuhan anak-anak secara optimal. Sehingga risiko mengalami stunting bisa diminimalisir.

 

Penulis: Zulvikar R
Mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian (TPHP), Universitas Andalas (UNAND)

Dosen Pengawas Lapangan: Drs. Yulkardi, M.Si

 

Editor: I. Khairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.