Strategi Amerika Serikat Mencegah Pengaruh Rusia dalam Perdagangan Senjata dan Militer

Militer
Amerika Serikat vs Rusia

Amerika Serikat dan Rusia sudah sangat lama saling beradu saing pada masalah
persenjataan dan militer sejak pasca Perang Dunia II pada tahun 1949 yang saat itu masih bernama Uni Soviet.

Kedua negara membangun senjata nuklir dengan cepat dan berakhir keduanya memiliki stok senjata nuklir yang cukup untuk menghancurkan dunia ini.

Mereka bersaing dengan melakukan riset dan produksi serta mengembangi teknologi untuk menjadi negara superpower yang dapat memberikan pengaruh lebih ke negara lainnya.

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Rusia Menginvasi Ukraina: Memahami Latar Belakang dan Tujuan

Persaingan Militer dan Senjata Amerika Serikat dan Rusia

Kedua negara ini memiliki kekuatan militer yang sangat besar dan selalu bersaing seperti teknologi senjata, kekuatan militer, dan persediaan nuklir. Persaingan teknologi militer di antara kedua negara ini sangatlah ketat, Rusia dapat mengembangkan senjata hipersonik yang dapat melaju dengan kecepatan lima kali lebih cepat daripada suara.

Amerika Serikat juga ikut mengimbangi perkembangan teknologi seperti mengembangkan drone dan alat yang bisa dikawal secara jarak jauh dengan teknologi yang lebih canggih. Mereka juga saling mengembangkan dan memproduksi di sistem pertahanan dengan rudal, kendaraan tempur, dan senjata.

Perkembangan nuklir antara Rusia dan Amerika juga sangatlah pesat, kedua negara ini memiliki persenjataan nuklir yang sangat besar dan banyak yang dapat menghancurkan dunia ini beberapa kali.

Perlombaan ini telah dimulai semenjak akhir Perang Dunia II dan berlanjut memasuki tahap baru pada tahun 1980-an, pada masa kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan meluncurkan program Strategic Defense Initiative (SDI).

Program ini merupakan pengembangan dari sistem pertahanan rudal untuk melindungi Amerika Serikat dari serangan senjata nuklir Uni Soviet. Program ini tidak berjalan dengan baik, namun memicu respon dari Uni Soviet yang membuat mereka saling berlomba dan beradu saing untuk menghasilkan peningkatan di senjata nuklir mereka.

Namun pada tahun 1991 mereka mencapai kesepakatan untuk mengurangi persenjataan nuklir. Perjanjian untuk mengurangi rudal nuklir menjadi sepertiga ini ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat George Bush dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev, perjanjian ini dikenal sebagai START (Strategic Arms Reduction Treaty).  

Perjanjian ini membutuhkan lebih dari 9 tahun untuk mendapatkan hasil dari negoisasi, hasil dari negosiasi selama 9 tahun adalah dengan mengurangi senjata nuklir masing-masing pihak sekitar 35 persen dan pengurangan rudal balistik antar benua berbasis darat milik Uni Soviet juga akan dikurangi sebesar 50 persen.

Berakhir pada tahun 2010, perjanjian START tersebut membatasi jumlah pada senjata nuklir yang dimiliki kedua negara dan membuat sistem inspeksi dan verifikasi untuk memastikan kedua negara patuh dengan perjanjian START.

Persaingan militer antara kedua negara ini juga terlihat dalam konflik regional di seluruh dunia, bisa kita lihat di negara timur tengah, Ukraina, dan Asia Tengah. Kedua negara ini saling memberikan dukungan militer dan persenjataan kepada negara sekutu mereka masing-masing.

Baca Juga: Mengenali Perang Rusia-Ukraina dan Dampaknya terhadap Perekonomian Global

Strategi Amerika Serikat untuk Mengurangi Pengaruh Rusia

Amerika Serikat membuat kebijakan baru pada tahun 2017 yang ditandatangani oleh Pemimpin Amerika Serikat, Presiden Donald Trump. Kebijakan ini bernama Countering America’s Adversaries Through Sanction Act (CAATSA) yang berarti Undang-Undang Sanksi terhadap Musuh Amerika.

Ini merupakan undang-undang yang bertujuan untuk memberikan kekuatan pada Amerika Serikat untuk memberikan sanksi ekonomi terhadap negara-negara yang dianggap sebagai musuh atau yang dianggap menjadi ancaman keamanan dan kepentingan nasional Amerika Serikat.

Undang-undang ini menjadikan tiga negara sebagai pengancam keamanan nasional Amerika Serikat, yaitu Rusia, Korea Utara, dan Iran.

Kebijakan ini dijadikan senjata atau alat untuk menjatuhkan sanksi kepada negara yang melakukan kerja sama dalam bidang pertahanan atau ekonomi dengan Rusia, Korea utara, dan Iran yang merupakan musuh dari negara Amerika Serikat.

Kebijakan ini mempersulit dan membuat banyak negara yang terhalang ketika ingin memperkuat pertahanan negaranya dengan cara membeli peralatan dan persenjataan militer dari Rusia.

Ini berdampak bahkan kepada Indonesia yang hampir saja ingin membeli kendaraan jet tempur milik Rusia yang bernama SU-35. Kebijakan ini dibuat juga untuk mempertahankan status negara Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi pasar senjata global.

CAATSA menjadi salah satu faktor Indonesia membatalkan pembelian Jet SU-35 milik Rusia karena diberikan ancaman sanksi oleh Amerika Serikat, walaupun pemerintah Indonesia tidak telalu menerima atau memperdulikan sanksi tersebut, namun peringatan sansksi tersebut membuat Indonesia harus memperhatikan dan memikirkan kedepannya sebelum menentukan pilihannya.

Indonesia akhirnya beralih dari Rusia ke Perancis untuk membeli Jet Rafale dan membuat CAATSA terlihat memiliki hasil yang baik, karena dapat membatasi kerjasama negara lain dengan musuh Amerika dan membuat negara lain lebih dekat dengan Amerika Serikat dan negara-negara sekutu Amerika.

Countering America’s Adversaries Through Sanctions memang memberikan pengaruh yang kuat terhadap negara-negara lain, pemerintah Amerika Serikat menjadi lebih kuat karena negara lain memiliki keraguan dan harus berfikir lebih panjang jika ingin melakukan kerjasama dengan negara yang dianggap sebagai musuh Amerika Serikat.

Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina: Sejarah, Penyebab, dan Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia

Namun, CAATSA ini juga dianggap tidak terlalu serius karena terlihat bahwa sanksi CAATSA tidak selalu diberikan, ada beberapa negara yang hanya diberikan himbauan dan juga ada yang diberikan pengecualian, jadi terlihat tidak terlalu mengikat semua negara.

Ada juga negara yang melakukan penolakan atau membangkang dari sanski yang diberikan Amerika ke negaranya.

Amerika Serikat juga mengembangkan berbagai strategi lain untuk menjadikan negaranya superpower, seperti meningkatkan anggaran pertahanan, aliansi militer, melakukan tekanan ekonomi dan politik, juga melakukan pengawasan intelijen di berbagai negara.

Penulis: Teuku Fathir Azri Ridhwan
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.