Bayangkan sebuah serpihan surga di bumi—tempat laut sebening kristal membentang tak berujung, gugusan pulau-pulau karang memeluk cakrawala, dan rumah bagi 75% spesies terumbu karang dunia.
Itulah Raja Ampat, Papua Barat Daya, mahakarya alam yang tidak hanya membanggakan Indonesia, tapi juga dikagumi oleh dunia sebagai simbol keanekaragaman hayati laut yang luar biasa.
Sebuah kawasan konservasi yang bukan hanya dijaga, tapi dihormati. Tiket masuknya dibanderol mahal bukan karena komersialisasi, melainkan karena keinginan menjaga alamnya agar tetap lestari.
Namun kini, semua itu menghadapi ancaman besar. Ancaman yang bukan datang dari polusi kapal pesiar atau pariwisata masif—melainkan dari kerakusan yang mengakar dalam sistem: bisnis pertambangan.
Dalam beberapa minggu terakhir, perhatian publik kembali tertuju pada Raja Ampat. Bukan karena prestasi konservasi atau pariwisata ramah lingkungan, tetapi karena kabar bahwa empat perusahaan tambang nikel sedang diperiksa pemerintah.
Mereka terbukti melanggar aturan lingkungan di kawasan ini. Ironisnya, perusahaan-perusahaan itu beroperasi atas izin resmi.
Bagaimana bisa, sebuah kawasan konservasi laut yang dilindungi dengan begitu ketat, justru dijadikan lokasi penambangan?
Di sinilah masyarakat bertanya: jika Raja Ampat saja bisa “dijual”, tempat mana lagi yang bisa kita percaya akan tetap dijaga?
Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversitas. Kita bangga dengan status itu tetapi kebanggaan itu berubah menjadi ironi saat sumber daya alam kita mulai dieksploitasi secara membabi buta.
Hutan-hutan Raja Ampat kini mulai ditebangi untuk membuka akses ke titik-titik tambang. Ekosistem laut terganggu.
Limbah dan sedimentasi dari pertambangan nikel berpotensi besar merusak terumbu karang yang selama ini menjadi penopang utama ekosistem.
Semua ini terjadi saat dunia justru berlomba-lomba memperluas kawasan konservasi dan membatasi emisi karbon.
Lalu, untuk siapa sebenarnya Indonesia dijaga? Selama ini, masyarakat Raja Ampat bersama pegiat konservasi bekerja keras menjaga kelestarian alam.
Baca Juga: Raja Ampat di Ujung Kehancuran: Perlunya Aksi Nyata untuk Konservasi
Pemerintah pun menetapkan berbagai regulasi untuk melindungi wilayah ini. Wisatawan dibatasi, masyarakat adat dilibatkan dalam pelestarian, dan pendekatan ekowisata dijadikan model.
Namun, semua usaha ini seperti dihancurkan dalam sekejap ketika izin tambang diberikan begitu saja. Rasanya seperti ditampar keras oleh keputusan yang tak berpihak pada alam maupun rakyat.
Surga yang Terancam, Aturan yang Diabaikan
Masalah ini bukan hanya soal kerusakan alam, tapi juga soal pelanggaran hukum yang nyata. Dalam kasus pertambangan nikel di Raja Ampat, sejumlah peraturan penting dilanggar:
- UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Pasal 98 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat dipidana. Jika terbukti menyebabkan kerusakan ekosistem laut Raja Ampat, perusahaan bisa dikenakan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda miliaran rupiah. - UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
Pasal 161 mengharuskan pemegang izin tambang melakukan pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Namun laporan lapangan menunjukkan ada aktivitas tanpa dokumen lingkungan yang lengkap dan pelaporan palsu terkait reklamasi dan pascatambang. - UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 23 secara jelas melarang pemanfaatan pulau kecil dan perairan sekitarnya untuk kegiatan yang merusak lingkungan, termasuk pertambangan. - Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 Putusan ini memperkuat pelarangan aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil karena dampaknya yang irreversibel dan bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Temuan terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa keempat perusahaan tambang nikel tersebut, yang salah satunya adalah PT Anugerah Surya Pratama, telah melanggar aturan tata ruang, melakukan aktivitas di kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), dan tidak menyusun dokumen lingkungan sesuai prosedur.
KLHK pun menyegel lokasi tambang dan menghentikan operasionalnya sementara waktu. Namun, ini belum berarti akhir dari ancaman.
Baca Juga: Taman Safari Indonesia: Antara Konservasi, Pariwisata, dan Hak Asasi Manusia
Keegoisan yang Tak Masuk Akal
Jika selama ini Raja Ampat dijaga dengan pembatasan wisata dan pendekatan konservasi, lalu mengapa tambang justru diberi karpet merah? Izin tambang seolah menjadi tiket legal untuk merusak.
Keserakahan bisnis ditutup dengan dalih kebutuhan industri baterai, kendaraan listrik, dan energi hijau.
Padahal, apa gunanya energi hijau jika bahan bakunya diambil dengan cara yang tidak berkelanjutan dan justru menghancurkan ekosistem yang seharusnya dilindungi?
Sebagian masyarakat mulai membandingkan situasi Raja Ampat dengan Bali. Dahulu, Bali dijadikan wajah pariwisata Indonesia.
Tapi kini, banyak wilayahnya rusak karena pembangunan tak terkendali. Apakah Raja Ampat akan menjadi “Bali kedua”? Apakah kita akan terus mengulang kesalahan yang sama?
“Mama tidak terima (tambang) karena memikirkan masa depan untuk anak-cucu nanti bagaimana. Jika perusahaan masuk menggusur hutan, gunung akan rusak, hutan dan laut pun rusak. Bagaimana anak cucu nanti mau mencari makan di hutan dan di laut?” (Sumber: www.greenpeace.org)
Baca Juga: Raja Ampat sebagai Aset Prospektif bagi Pengembangan Pariwisata di Indonesia
Perkataan Mama Herlina bukan sekadar ungkapan emosi, ia adalah suara nurani yang mewakili kekhawatiran banyak warga adat di Raja Ampat.
Ketika hutan, gunung, dan laut rusak, yang hilang bukan hanya pemandangan indah, tapi juga sumber kehidupan.
Anak cucu kita tak hanya kehilangan tempat bermain atau berwisata, tetapi kehilangan akses terhadap pangan, air bersih, dan warisan budaya yang selama ini diturunkan dari generasi ke generasi.
Kita sering membicarakan masa depan, tapi terlalu sering mengorbankan masa depan itu atas nama “pembangunan”.
Padahal, apa gunanya kemajuan jika kita meninggalkan bumi yang sekarat bagi anak-anak kita?
Apa yang diperjuangkan oleh Mama Herlina adalah bentuk cinta paling murni: menjaga agar anak cucunya masih bisa hidup berdampingan dengan alam, bukan hanya menjadi saksi kerusakan.
Dan pertanyaannya kini bukan hanya “bagaimana anak cucu mencari makan,” tapi apakah mereka masih bisa hidup dari tanah dan laut yang kita tinggalkan?
Jika kita biarkan tambang menggusur hutan dan merusak laut, maka kita tidak hanya mengkhianati masa kini tetapi kita sedang menulis takdir suram untuk generasi mendatang.
Baca Juga: Melindungi Hutan Nimbokrang: Simbol Kehidupan dan Harapan Papua
Raja Ampat Masih Bisa Diselamatkan
Aktivitas tambang memang telah dihentikan untuk sementara waktu. KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sedang melakukan evaluasi menyeluruh atas izin tambang di wilayah ini. Namun, ini belum cukup.
Masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan komunitas lokal harus terus bersuara, menyuarakan pendapat mereka.
Desakan untuk mencabut izin permanen, menuntut pemulihan ekosistem, serta mendorong pertanggungjawaban hukum terhadap perusahaan nakal harus terus dilakukan.
Raja Ampat adalah bukti bahwa Indonesia masih punya tempat yang belum tersentuh. Tempat di mana manusia dan alam masih bisa hidup berdampingan.
Namun, jika tambang terus berlanjut, kita semua akan kehilangan sesuatu yang tak bisa diganti.
Maka pertanyaannya bukan lagi sekadar “apa yang terjadi di Raja Ampat?”, tapi sudah sampai pada: “Apa yang tersisa dari Indonesia?”
Kita harus memilih: apakah akan terus membiarkan kebijakan yang menjual masa depan demi keuntungan jangka pendek? Atau kita akan berdiri dan berkata cukup?
Baca Juga: Tercekik Sampah Plastik: Potret Krisis Lingkungan di Kampung Nelayan Kota Jayapura
Poin-poin penting:
- Raja Ampat adalah kawasan konservasi laut prioritas yang menyimpan 75% spesies karang dunia. Kerusakan di sini adalah kerugian global.
- Empat perusahaan tambang nikel ditemukan melakukan pelanggaran serius, termasuk beroperasi tanpa izin IPPKH.
- Pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup, UU Minerba, dan UU Pengelolaan Pesisir sudah sangat jelas.
- Aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil seperti Raja Ampat telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi.
- Kementerian LHK sudah turun tangan, namun penghentian aktivitas masih bersifat sementara. Tekanan publik sangat dibutuhkan.
- Pemerintah daerah dan masyarakat lokal selama ini menjaga kawasan ini. Tambang menghancurkan kepercayaan dan semangat konservasi yang sudah dibangun.
- Jika tambang nikel terus beroperasi, Indonesia akan kehilangan salah satu aset lingkungan paling berharga yang dimilikinya.
Jangan Biarkan Raja Ampat Menjadi Cerita Tragis Berikutnya
Kita punya pilihan. Pilihan untuk menjaga, melindungi, dan menolak segala bentuk eksploitasi yang merusak masa depan.
Raja Ampat bukan hanya soal pariwisata atau kekayaan alam, tapi tentang arah bangsa ini dalam memaknai pembangunan.
Apa artinya “Indonesia kaya” jika yang tersisa hanya lubang-lubang tambang dan laut yang mati?
Jika kita diam, Raja Ampat mungkin tinggal nama. Tapi jika kita bersuara, mungkin—hanya mungkin—kita masih bisa menyelamatkan surga ini dari kerusakan yang tak akan pernah bisa diperbaiki.
“What’s left from Indonesia?” jawabannya bisa dimulai dari apa yang kita lakukan hari ini.
Penulis: Rayya Adzani
Mahasiswa Prodi Mass Communication, Binus University
Referensi
- Detik.com. (2025). 4 Tambang Nikel di Raja Ampat Terancam Sanksi karena Langgar Aturan. (detik.com)
- Kompas.com. (2025). KLH Sanksi 4 Tambang Nikel di Raja Ampat, Terbukti Lakukan Pelanggaran Serius. (lestari.kompas.com)
- Tempo.co. (2025). Dampak Tambang Nikel di Raja Ampat versi Greenpeace. (tempo.co)
- CNN Indonesia. (2025). KLH Ungkap Modus Pelanggaran Tambang Nikel di Raja Ampat. (cnnindonesia.com)
- Greenpeace Southeast Asia. (2025). Greenpeace and Raja Ampat Youth Confront Nickel Industry During Conference. (greenpeace.org)
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News