Pelecehan Seksual Semakin Marak Terjadi, Guru hingga Pemuka Agama Dapat Menjadi Pelaku: Mengapa Demikian?

Pelecehan Seksual Oleh Guru
Ilustrasi pendidikan seksual untuk mencegah pelecehan seksual yang semakin marak

Pelecehan seksual oleh guru bahkan pemuka agama di Indonesia semakin marak terjadi. Kamu mungkin sering membaca berita tentang guru pelaku pelecehan atau pemuka agama pelaku kekerasan seksual.

Kasus-kasus ini tidak hanya terjadi satu dua kali. Fenomena ini menyedihkan sekaligus mengejutkan. Terlebih, pelaku seringkali adalah sosok yang dianggap panutan.

Kenapa bisa terjadi? Mengapa profesi mulia seperti guru atau pemuka agama justru jadi predator seks? Apa yang mendorong mereka melakukan pelecehan seksual terhadap anak didik atau jemaatnya?

Artikel ini akan membahas secara mendalam akar masalah, bentuk pelecehan seksual, dampaknya bagi korban, dan langkah pencegahan nyata.

Bacaan Lainnya

Mari kita bedah secara tuntas agar kamu paham dan bisa membantu membangun lingkungan yang lebih aman.

“Bisakah saya memeluk mahasiswi saya di kampus atau meraba-rabanya tanpa bertanya terlebih dahulu?”

 Apakah ini termasuk ke dalam pelecehan seksual? Jawabannya tentu saja iya. Mengapa?

Apa itu Pelecehan Seksual?

Pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang dapat membuat seseorang merasa kesal, takut, tersinggung atau terhina, atau dimaksudkan untuk membuat mereka merasa seperti itu.

Pelecehan seksual adalah jenis kekerasan seksual yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas atau tindakan seksual apa pun yang terjadi tanpa persetujuan. Jenis kekerasan seksual lainnya termasuk pemerkosaan dan penyerangan seksual.

—“Cewe, sini dong! Bisa dibayar berapa nich?”

—“Canda sayang.”

Baca Juga: Keadilan yang Ada dalam Menangani Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia

Namun, Pelecehan Seksual Bukanlah Suatu Candaan dan Seharusnya Tidak Boleh Terjadi.

Hal ini seringkali dapat membuat korban merasa kesal, takut, terhina, atau tidak aman. Bagi sebagian orang, hal itu dapat berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental mereka, serta memengaruhi kualitas hidup mereka.

Anda mungkin pernah mendengar orang berbicara atau bahkan teman anda sendiri yang bercerita tentang pelecehan seksual yang terjadi di kampus. Tapi, pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan dapat terjadi dalam banyak bentuk.

Definisi Pelecehan Seksual Secara Umum

Pelecehan seksual adalah segala bentuk tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan. Termasuk di dalamnya adalah komentar, sentuhan tidak diinginkan, atau godaan yang mengandung unsur seksual. Perilaku ini bisa bersifat verbal, non-verbal, atau fisik.

Tujuannya jelas—membuat korban merasa tidak nyaman, terhina, atau takut.

Pelecehan seksual masuk dalam kategori kekerasan seksual. Artinya, kamu tidak bisa menganggapnya sepele. Ini bukan sekadar kenakalan atau candaan.

Pelecehan seksual bisa menghancurkan mental dan kehidupan korban secara permanen.

Di Indonesia, payung hukum pelecehan seksual semakin kuat sejak hadirnya UU TPKS 2022. Namun, kesadaran masyarakat untuk melapor PPA (Pusat Pelayanan Terpadu) masih minim.

Pelecehan Bukan Candaan

Banyak pelaku membela diri dengan mengatakan, “Itu cuma bercanda.” Misalnya:
— “Cewek kayak kamu cocoknya digodain.”
— “Canda sayang.”

Namun, kamu harus tahu, pelecehan seksual bukan lelucon. Ketika seseorang mengucapkan hal bernuansa seksual tanpa diminta, itu sudah termasuk kekerasan seksual verbal. Dampaknya sangat nyata.

Korban bisa mengalami kecemasan, depresi, bahkan PTSD korban pelecehan. Sekali komentar menyakitkan dilontarkan, efeknya bisa menempel seumur hidup. Budaya victim blaming dan patriarki budaya kerap membuat korban merasa bersalah.

Baca juga: Cara Mengirim Artikel, Berita dan Tulisan ke Media Online: 100% Terbit!

Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual yang Sering Terjadi

Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus

Kasus pelecehan seksual di kampus makin meningkat. Banyak mahasiswa melapor tapi tak mendapat keadilan.

Mereka harus berhadapan dengan stigma korban dan budaya victim blaming. Gerakan MeToo di kampus membuktikan bahwa fenomena ini bukan hoaks.

Lingkungan akademik yang tertutup, hubungan kuasa antara dosen dan mahasiswa, membuat pelecehan seksual di kampus sulit diberantas. Catcalling, komentar fisik, hingga sentuhan tidak diinginkan sering terjadi.

Kampus seharusnya menjadi tempat aman. Namun, kenyataannya, banyak mahasiswa mengalami kekerasan seksual verbal hingga fisik. Keberadaan komunitas penyintas sangat membantu korban untuk bangkit.

Pelecehan Seksual Bisa Terjadi di Mana Saja

Kamu tidak bisa menentukan lokasi aman secara mutlak. Pelecehan seksual bisa terjadi di tempat kerja, rumah ibadah, transportasi umum, bahkan di rumah sendiri.

Banyak kasus pengasuh ponpes yang mencabuli santri. Kasus Herry Wirawan adalah contoh nyata pemuka agama jadi pelaku.

Lingkungan rumah ibadah seharusnya aman. Tapi penyalahgunaan kekuasaan membuat korban enggan bicara. Keberadaan komunitas religi aman sangat penting untuk mengurangi kasus seperti ini.

Masturbasi dan Keterkaitannya dengan Pelecehan Seksual

Masturbasi adalah salah satu hal yang masih dianggap tabu dalam kehidupan sehari-hari, namun banyak orang yang melakukan masturbasi secara aktif.

Akan tetapi, karena tekanan sosial mereka yang melakukan masturbasi biasanya tidak akan mengakuinya karena malu.

Masturbasi dapat dilakukan siapa saja baik laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan kepuasannya. Masturbasi biasanya dilakukan sampai tingkat seksualnya meningkat sampai puncak kenikmatan atau orgasme yang ditandai oleh ejakulasi dini.

Masturbasi yang terlalu sering dapat membuat seseorang terobsesi dan tidak jarang kaum adam dapat menjalankan aksi tercelanya dengan melakukan tindakan pelecehan seksual karena hawa nafsu yang tidak terkontrol.

Masturbasi sebagai Hal yang Masih Dianggap Tabu

Masturbasi sering kali dianggap hal yang memalukan. Banyak orang melakukannya diam-diam karena tekanan sosial dan budaya.

Kamu mungkin juga mengenal seseorang yang tidak pernah mengakui kebiasaannya, padahal masturbasi aktif dilakukan oleh banyak orang.

Sayangnya, karena masturbasi tidak dibicarakan secara terbuka, dampak negatifnya tidak dipahami. Jika dilakukan secara berlebihan, kebiasaan ini bisa berubah menjadi masturbasi obsesif.

Dalam beberapa kasus, masturbasi menjadi awal dari pelecehan seksual karena dorongan seksual yang tidak terkendali.

Tekanan sosial yang melarang pembicaraan seks secara terbuka juga memperparah masalah. Banyak orang jadi salah paham tentang seksualitas, dan ini menciptakan risiko terhadap orang lain.

Ketika Obsesi Seksual Tidak Terkontrol

Obsesi seksual yang tidak dikendalikan bisa berubah menjadi gangguan. Pelaku mulai mengalami fantasi seksual ekstrem yang ingin mereka realisasikan. Ini bukan sekadar hasrat, tapi ketergantungan yang bisa berbahaya.

Ketika masturbasi tidak lagi cukup, pelaku mulai mencari “pelampiasan nyata”. Dalam banyak kasus, ini menjadi pemicu foreplay kekerasan seksual.

Tahap ini adalah titik bahaya, di mana pelaku mulai mengganggu orang lain secara seksual.

Perpindahan dari imajinasi ke tindakan nyata sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, penting memahami dampak masturbasi obsesif terhadap kontrol diri dan perilaku seksual.

Baca Juga: Isu Pelecehan Seksual yang Terjadi di Lingkungan Kampus Universitas Riau

Pengaruh Film Porno terhadap Meningkatnya Kasus Pelecehan Seksual

Seiring berkembangnya zaman, siapapun dapat mengakses media sosial di mana sudah tersebar luas dan tidak sedikit yang mengandung konten sensitif atau ‘dewasa.

Banyak orang tua bahkan hampir semua orang tua yang melarang anaknya menonton film porno, karena orang tua berpikir bahwa nanti jika anak menonton film porno, anak tersebut akan mengikuti adegan di dalam film tersebut.

Padahal sifat melarang itu akan membuat anak tersebut penasaran dan menonton film porno secara diam-diam, dan ahirnya mereka candu dengan film porno tersebut, karena mereka tidak mengerti apa itu film porno, yang mereka ketahui film porno hanya memuaskan mereka saja.

Adegan jorok yang seru ditonton yang akan merusak otak mereka dan ingin mencobanya secara langsung dengan melakukan pelecehan seksual terhadap lawan jenis.

Mayoritas, pelaku pelecehan seksual dan para pecandu film porno adalah laki-laki.

Akses Mudah terhadap Konten Porno

Di era digital, film porno bisa diakses siapa saja. Bahkan anak-anak bisa menemukan konten pornografi anak melalui platform tanpa filter. Regulasi pornografi digital belum bisa menahan laju distribusi konten porno.

Akses yang terlalu mudah mendorong kecanduan porno. Ketika seseorang terlalu sering menonton film porno, otaknya terbiasa dengan rangsangan seksual yang ekstrem. Ini memicu perubahan pada struktur otak dan sensitivitas emosi.

Efek film porno terhadap otak sangat serius. Otak menjadi “mati rasa” terhadap rangsangan normal dan terus mengejar hal yang lebih ekstrem. Dari sinilah muncul hubungan antara pornografi dan kekerasan seksual.

Ketika Imajinasi Ingin Diwujudkan dalam Dunia Nyata

Kecanduan porno tidak berhenti pada layar. Banyak pelaku ingin mencoba adegan porno di dunia nyata. Mereka ingin “membuktikan” fantasi itu bisa jadi kenyataan. Dalam kasus tertentu, ini mendorong tindakan pelecehan seksual terhadap orang lain.

Sebagian besar pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki yang terpapar pornografi secara rutin. Ketika batas imajinasi dan realita kabur, tindakan kriminal bisa terjadi. Pornografi mendorong dominasi pelaku terhadap korban yang dianggap lemah.

Pelaku sering merasa tak bersalah karena menyamakan realita dengan adegan film. Padahal, kenyataannya korban merasa dilecehkan, direndahkan, dan trauma seumur hidup. Ini menjadi bukti kuat bahwa regulasi konten porno harus diperketat.

Guru hingga Pemuka Agama sebagai Pelaku: Mengapa Bisa Terjadi?

—“Kok bisa sih guru dari sekolah X melecehkan 3 siswi?”

—“Salah satu teman saya juga bercerita jika dia pernah dilecehkan oleh pemuka agama dengan cara memegang area sensitif di tubuhnya”

Bukannya mendidik malah menjadi predator seks.

Sebagai seorang guru, dosen atau bahkan pemuka agama, tidak bisa dipungkiri mereka pasti selalu berinteraksi dengan para siswa yang beragam dan tentunya secara manusiawi mereka punya rasa tertarik terhadap siswi atau mahasiswi yang berparas cantik.

Belum lagi ada beberapa siswi ABG yang sangat menggoda iman mereka hingga terjadilah pelecehan seksual.

Tidak sedikit kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru bahkan pemuka agama yang menjadi predator seksual seringkali muncul di media massa dewasa ini.

Mulai dari kasus pelecehan seksual pada 2021 silam yang dilakukan oleh pemuka agama di pesantren dengan memperkosa 13 santriwati yang sempat viral pada masanya dan masih banyak lagi kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para guru dan pemuka agama hingga detik ini.

Baca Juga: HIPMA MPH Soroti Dugaan Pelecehan Seksual di KPI

Banyak yang mempercayai bahwa para predator seksual dapat terjadi karena terlalu sering mengonsumsi film porno. Misal, sering membaca atau menonton konten-konten porno.

Hal ini memicu adanya fantasi seksual dan apabila tidak disalurkan dengan baik maka bisa saja berujung pada pelecehan seksual dan dapat memakan banyak korban khususnya kaum hawa.

Pelaku kekerasan seksual terutama guru atau pemuka agama memiliki keinginan untuk mendominasi karena merasa ia paling hebat dan berpikir bahwa tidak ada satu pun korban yang dapat melawannya.

Terlepas dari hal itu, besar kemungkinan mereka mengalami stres pada pernikahannya. Beberapa dari mereka mungkin kurang mendapatkan perhatian dari pasangan atau tidak puas dengan seks yang didapatkan.

Guru yang jatuh cinta kepada anak didiknya sudah sering terjadi saat ini dan bukanlah suatu hal yang tabu. Biasanya, mereka tertarik secara fisik apalagi melihat anak didiknya yang sedang mengalami perkembangan secara fisik dan seksual.

Hal seperti inilah yang dapat memancing hawa nafsu mereka untuk melakukan tindakan tercela ini, terlebih lagi jika anak didiknya memiliki kulit yang putih dan mulus bak artis Korea, siapa yang tidak tergoda?

Dalam kasus seperti ini, hawa nafsu para predator seks sudah tidak tertahankan lagi hingga dimanfaatkan oleh mereka untuk memenuhi hawa nafsu mereka yang biasanya diawali dengan godaan-godaan biasa, kemudian mengarah ke arah yang lebih dewasa hingga ke tahap fisik seperti meraba-raba area sensitif, seperti area punggung hingga pinggul.

Tidak peduli sekuat apa ajaran agama yang mereka miliki, namun jika mereka tidak dapat mengontrol hawa nafsu dengan melihat perempuan-perempuan cantik yang dapat menggoda hati mereka rasanya sia-sia saja bahkan mereka tidak pantas disebut sebagai guru atau bahkan pemuka agama.

Sangatlah tidak pantas bagi mereka yang menjabat sebagai pemuka agama yang mengajarkan ilmu spiritual, akhlak dan moral, tapi mereka sendiri tidak memiliki akhlak karena melakukan tindakan asusila.

Perbuatan mereka hanyalah merugikan korban dan dapat menyebabkan PTSD (gangguan stres pasca-trauma) serta mencoreng nama baik para pengajar dan pemuka agama.

Kasus-Kasus yang Pernah Terjadi

Kasus guru jadi predator seks atau pemuka agama pelaku pelecehan sudah tak terhitung lagi. Contoh nyata adalah kasus guru cabul di banyak sekolah serta pengasuh pesantren yang mencabuli santri.

Salah satunya, Herry Wirawan kasus yang memperkosa 13 santriwati. Perilaku predator ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan anak masih lemah. Perlindungan hukum terhadap anak belum cukup efektif.

KemenPPPA data menunjukkan bahwa kasus pelecehan seksual oleh guru dan pemuka agama terus meningkat. Masyarakat perlu menyadari bahwa jabatan dan agama tidak menjamin moral seseorang.

Ketika Posisi dan Kekuasaan Disalahgunakan

Banyak pelaku memiliki jabatan tinggi seperti guru atau tokoh agama. Mereka punya akses ke anak-anak atau remaja. Kedekatan ini membuka celah untuk kekerasan seksual.

Rasa hormat dari murid atau santri membuat korban sulit menolak. Ini membuka peluang bagi pelaku untuk menyentuh bagian tubuh korban dengan dalih kasih sayang atau pengajaran.

Pelecehan seksual non verbal, kekerasan seksual verbal, hingga sentuhan tidak diinginkan bisa terjadi secara bertahap. Korban tidak sadar sedang dimanipulasi secara psikologis.

Faktor Pemicu dari Dalam Diri Pelaku

Pelaku biasanya memiliki masalah pribadi yang serius. Gangguan mental, ketidakpuasan pernikahan, atau stres pernikahan sering menjadi pemicu. Motivasi stres pernikahan memicu pelampiasan seksual kepada orang yang lebih lemah.

Beberapa pelaku memiliki obsesi terhadap tubuh remaja. Mereka terangsang oleh perkembangan fisik korban. Ini diperparah oleh akses film porno yang memperkuat fantasi seksual terhadap anak-anak.

Dominasi pelaku terhadap korban sering muncul karena mereka merasa superior. Mereka menganggap korban tidak akan berani melapor karena takut, malu, atau merasa bersalah.

Hawa Nafsu yang Tidak Terkendali

Godaan seksual tidak langsung menjadi kekerasan. Tapi ketika hawa nafsu tidak dikendalikan, prosesnya menjadi destruktif. Mulai dari godaan verbal hingga pelecehan fisik.

Pelaku biasanya meraba area tubuh seperti punggung, pinggul, atau dada. Bahkan, bisa sampai pada pemerkosaan. Mereka menganggap tindakan itu sebagai hak karena merasa memiliki kuasa.

Jika tidak ditangani, tindakan ini bisa terus berulang dan menimbulkan banyak korban. Sistem hukum responsif dan pelatihan kesadaran sangat dibutuhkan untuk mencegah pelecehan berikutnya.

Baca Juga: Peran Psikolog Forensik dalam Kasus Pelecehan Seksual

Dampak Serius Pelecehan Seksual terhadap Korban

Salah satu dampak yang paling meresahkan dari kekerasan seksual adalah gangguan stres pasca-trauma (PTSD) yang merupakan pola gejala yang dialami orang setelah peristiwa traumatis.

Banyak korban pelecehan seksual melaporkan mengalami perasaan depresi, kecemasan, kemarahan atau kesedihan. Rasa malu, bersalah, menyalahkan diri sendiri, ketakutan, ketidakberdayaan, kilas balik, dan serangan panik juga dapat terjadi.

Sebuah penelitian terhadap wanita yang mengalami kekerasan seksual menemukan bahwa 94 dari 100 mengalami gejala PTSD selama dua minggu setelah peristiwa tersebut. Tapi perasaan itu bisa bertahan lebih lama dari itu bahkan ada yang bertahan seumur hidup.

PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) dan Trauma Jangka Panjang

Salah satu dampak paling serius dari pelecehan seksual adalah PTSD korban pelecehan. PTSD merupakan gangguan yang muncul setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis, termasuk kekerasan seksual. Korban akan mengalami kilas balik, mimpi buruk, serangan panik, hingga kesulitan tidur.

Menurut penelitian, sekitar 94 dari 100 wanita yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami gejala PTSD dalam dua minggu pertama setelah kejadian. Namun, bagi sebagian besar korban, trauma itu tidak hilang begitu saja. Beberapa bahkan mengalami gejala hingga bertahun-tahun.

PTSD juga menyebabkan korban sulit membangun kembali kepercayaan pada orang lain. Hubungan sosial dan karier mereka ikut terganggu. Oleh karena itu, penting menyediakan dukungan psikolog korban melalui terapis dan konselor seksual.

Kesehatan Mental yang Terganggu

Pelecehan seksual bukan hanya menyakiti tubuh. Ia menghancurkan mental dan harga diri korban. Kamu mungkin tidak melihat luka fisik, tapi korban sering merasa hancur di dalam.

Rasa malu, ketakutan, dan perasaan bersalah sering menghantui mereka. Budaya victim blaming yang menyalahkan korban memperburuk kondisi ini. Bahkan, beberapa korban merasa tidak pantas untuk hidup.

Pemulihan mental harus menjadi prioritas. Masyarakat, keluarga, dan komunitas harus berhenti bertanya, “Kenapa kamu tidak melawan?” dan mulai bertanya, “Bagaimana kami bisa membantumu?”

Pentingnya Sex Education pada Anak Sejak Dini

Pendidikan seksual penting diajarkan pada anak karena pesatnya perkembangan teknologi dan maraknya kejahatan seksual dewasa ini serta hasrat seksual yang berhubungan dengan dirinya sendiri dan dapat merugikan orang lain.

Pendidikan seks dini dimungkinkan untuk meluruskan pemahaman dan perilaku seksual anak sehingga mereka lebih positif dalam kehidupan sosial dan memanimalisir kasus tindak kekerasan seksual.

Penelitian Katharine Davies (sebagaimana dikutip dalam M. Roqib, 2012) memperkuat pentingnya pendidikan seks.  Hasil penelitian adalah 57% wanita yang menerima pendidikan seks dini dapat menikah dengan bahagia.

Pendidikan seks dini kepada anak-anak melindungi mereka dari pelecehan seksual. Diharapkan pengetahuan dan sikap yang benar terhadap organ intim di usia muda, mereka dapat melindungi diri dari bujukan orang dewasa yang akan melakukan pelecehan seksual.

Kurangnya pendidikan seks pada anak dapat menyebabkan terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa. Orang tua harus memberikan pelajaran tentang pendidikan seks sejak dini kepada anak-anak sehingga mereka memiliki pengetahuan yang benar tentang seks dan tahu cara menjaga diri dari kekerasan seksual.

Baca Juga: Maskulinitas dan Pelecehan Seksual pada Laki-Laki

Mencegah Pelecehan dengan Edukasi

Pendidikan seksual penting diberikan sejak anak masih kecil. Edukasi seks anak membantu mereka memahami tubuh, privasi, dan batasan yang tidak boleh dilanggar. Mereka belajar mengenali sentuhan yang tidak aman dan cara mengatakan “tidak”.

Sex education dini bukan mengajarkan seks bebas. Tapi mengenalkan konsep persetujuan (consent) dan perlindungan anak. Anak juga belajar bahwa tidak semua orang dewasa bisa dipercaya.

Pendidikan ini menjadi benteng pertama untuk melindungi mereka dari pelaku pelecehan. Terutama karena banyak pelaku berasal dari lingkungan dekat, termasuk guru atau pemuka agama.

Penelitian dan Manfaat Pendidikan Seksual Dini

Penelitian menunjukkan bahwa anak yang mendapat pendidikan seks dini cenderung lebih percaya diri dan tahu cara melindungi diri. Salah satu studi bahkan menyebutkan, 57% wanita yang mendapat edukasi sejak dini memiliki kehidupan seksual yang sehat dan pernikahan bahagia.

Sex education juga mengurangi angka kekerasan seksual. Anak jadi lebih terbuka berbicara tentang perasaan tidak nyaman. Mereka bisa melapor lebih awal sebelum pelecehan berlanjut.

Edukasi ini harus dilakukan dengan pendekatan usia-appropriate. Tidak perlu menggunakan istilah vulgar. Gunakan bahasa sederhana dan visual untuk menjelaskan tubuh dan fungsinya.

Peran Orang Tua dan Guru dalam Memberikan Edukasi

Peran orang tua sangat besar dalam pendidikan seksual. Jangan menyerahkan semuanya kepada sekolah. Komunikasi terbuka antara anak dan orang tua penting agar anak merasa aman saat bercerita.

Orang tua juga harus memantau konten digital yang diakses anak. Banyak anak yang mengakses film porno karena tidak ada pengawasan. Ini bisa merusak pemahaman mereka tentang hubungan seksual.

Guru juga harus mendapat pelatihan kesadaran tentang edukasi seks. Mereka harus mampu mengenali tanda-tanda pelecehan seksual pada murid. Jangan sampai guru justru menjadi pelaku seperti dalam kasus guru cabul yang marak terjadi.

Percayalah, Kamu Tidak Sendiri

Pelecehan seksual merupakan beban mental yang ekstrim bagi korbannya. Ada banyak orang di dunia ini yang bersedia untuk membantumu mengatasi hal seperti ini. Penting untuk memiliki sistem pendukung untuk membantu korban mengatasi akibat dari insiden tersebut.

Pertimbangkan untuk berbicara dengan terapis maupun konselor atau menjangkau kelompok pendukung untuk penyintas pelecehan seksual.

Setiap orang memiliki batasan yang berbeda. Apa yang dianggap lelucon oleh seseorang mungkin tidak menyenangkan atau menyakitkan bagi orang lain.

Ya. Kamulah yang menentukan apa yang menurutmu nyaman. Ingatlah jika ini bukan salahmu. Ketika seseorang membuat komentar yang memalukan atau seksis, sesuatu yang tidak pantas, atau serangan fisik, itu bukan kesalahanmu. Mari berhenti untuk menyalahkan diri sendiri.

Kamu bukanlah korban hanya karena kamu membagikan kisah pahit. Kamu adalah penyelamat dunia melalui semua kebenaranmu. Dan kamu tidak pernah tahu jika seluruh dunia membutuhkan keberanianmu hingga berterima kasih kepadamu.

Maka, jangan malu untuk menceritakan semua kisah pahitmu kepada dunia, karena melalui ceritamu, kamu dapat menginspirasi orang-orang.

Bangun Sistem Pendukung

Korban pelecehan seksual butuh dukungan yang nyata. Mereka tidak bisa menjalani proses penyembuhan sendirian. Dibutuhkan konselor seksual, psikolog, dan komunitas penyintas yang siap mendengarkan tanpa menghakimi.

Komunitas penyintas berperan penting dalam pemulihan mental. Di sana, korban merasa tidak sendiri. Mereka bisa saling menguatkan dan berbagi cerita. Ini membantu mengurangi rasa trauma.

Kamu bisa mencari bantuan dengan melapor PPA (Pusat Pelayanan Terpadu) di kotamu. Mereka menyediakan layanan konseling gratis dan bantuan hukum jika dibutuhkan.

Berani Bicara, Berani Menolong Orang Lain

Berbicara tentang pelecehan bukan aib. Justru, ketika kamu berbagi cerita, kamu memberi kekuatan kepada korban lain. Kamu membantu menghentikan budaya diam yang selama ini melindungi pelaku.

Kamu tidak sendirian. Banyak orang dan organisasi yang siap mendukungmu. Jangan biarkan pelaku merasa menang hanya karena kamu memilih diam.

Ingat, keberanianmu menceritakan kisah pahit bisa menyelamatkan orang lain. Jadilah suara bagi mereka yang belum bisa bicara.

Hentikan Stigma, Dukung Korban, dan Cegah Sejak Dini

Pelecehan seksual adalah ancaman nyata yang bisa terjadi di mana saja. Bahkan guru dan pemuka agama bisa menjadi pelaku. Ini menunjukkan bahwa kita butuh sistem hukum responsif dan edukasi sejak dini.

Kamu bisa ikut berperan dengan menolak budaya patriarki yang menyalahkan korban. Hentikan candaan bernuansa seksual yang merendahkan martabat orang lain. Tumbuhkan empati dan solidaritas korban di sekitarmu.

Pendidikan seksual harus dimulai dari rumah. Ajak anak berdiskusi secara terbuka dan aman. Ajarkan mereka untuk mengenal tubuh, membangun kepercayaan diri, dan memahami hak atas tubuh mereka sendiri.

Sudah saatnya kita membangun komunitas religi aman, komunitas kampus sehat, dan lingkungan kerja bebas pelecehan. Mari bersama wujudkan masa depan di mana setiap anak, remaja, dan perempuan merasa aman dan terlindungi.

Penulis: Tabitha Szalsa Adinda
Mahasiswa Psikologi Universitas Katolik Musi Charitas

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait