Selasa, 29 April 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang akrab disapa KDM (Kang Dedi Mulyadi) mengusulkan kebijakan kontroversial yakni menjadikan vasektomi atau program keluarga berencana (KB) pria sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (Bansos) bagi masyarakat prasejahtera di wilayahnya.
Dalam keterangannya, KDM menyebutkan bahwa banyak warga yang datang meminta bantuan biaya kelahiran, yang bisa mencapai Rp 25 juta, terutama untuk persalinan secara caesar.
“Lahiran itu nggak tanggung-tanggung loh Rp25 juta, Rp15 juta karena rata-rata caesar, dan itu rata-rata anak keempat atau kelima,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, “Kalau orang tidak punya kemampuan untuk membiayai kelahiran, kehamilan, dan pendidikan, ya jangan dulu ingin menjadi orang tua.
” Karena itu, untuk menekan angka kelahiran yang tak terencana dan mengurangi kemiskinan, ia mengusulkan agar bansos diprioritaskan bagi pria yang bersedia menjalani vasektomi.
Sebagai insentif, warga yang bersedia akan diberi kompensasi sebesar Rp500 ribu.
Baca juga: Prabowo-Gibran: Melanjutkan Estafet Pembangunan Menuju Indonesia Emas 2045
Usulan ini sontak memicu perdebatan publik. Ada yang menyebutnya diskriminatif, bahkan melanggar hak asasi manusia.
Namun, mari kita lihat lebih jernih: kebijakan ini tidak serta-merta soal pelanggaran hak, melainkan keberanian menyentuh akar persoalan yang kerap diabaikan yaitu laju pertumbuhan penduduk yang tak terkendali dan kemiskinan struktural yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Bansos sejatinya merupakan bentuk solidaritas negara terhadap warga yang mengalami kesulitan ekonomi.
Namun, jika terus-menerus diberikan tanpa strategi jangka panjang, terutama yang berkaitan dengan perencanaan keluarga, maka sifatnya hanya tambal sulam.
Dalam konteks inilah vasektomi muncul sebagai solusi yang layak dipertimbangkan.
Vasektomi adalah metode kontrasepsi permanen untuk pria. Prosedurnya tergolong sederhana, aman, dan tidak mempengaruhi performa seksual maupun hormon pria.
Namun, di masyarakat masih banyak beredar stigma keliru bahwa vasektomi mengurangi kejantanan. Ini jelas mitos.
Justru dengan menjalani vasektomi, pria menunjukkan tanggung jawab dalam perencanaan keluarga—beban yang selama ini lebih banyak dipikul oleh perempuan melalui penggunaan kontrasepsi hormonal yang penuh efek samping.
Selama ini, bansos diberikan tanpa syarat jangka panjang. Akibatnya, banyak keluarga miskin yang terus menambah anak tanpa perencanaan.
Baca juga: Kontrasepsi untuk Generasi Sehat
Anak-anak ini lahir dalam kondisi rentan: gizi buruk, putus sekolah, bahkan menjadi korban eksploitasi. Tanpa kebijakan yang berani dan terencana, siklus kemiskinan ini akan terus berulang.
Perlu ditegaskan bahwa usulan vasektomi sebagai syarat bansos bukanlah bentuk pemaksaan. Ini adalah bagian dari kontrak sosial. negara memberikan fasilitas publik, dan warga menjalankan tanggung jawab untuk memastikan kelangsungan hidup yang layak, termasuk dengan mengatur jumlah anak.
Siapa pun tetap memiliki hak untuk menolak, namun konsekuensi berupa tidak menerima bansos adalah bagian dari pilihan itu.
Agar kebijakan ini dapat diterima publik, pendekatannya harus humanis. Edukasi yang komprehensif, layanan medis yang aman, serta pendampingan sosial menjadi kunci utama.
Masyarakat perlu dipahami bahwa vasektomi bukan mengakhiri hidup, melainkan cara mengelola kehidupan agar lebih terencana dan sejahtera.
Perspektif Agama: Ruang untuk Pertimbangan
Dalam pandangan Islam, vasektomi secara umum dianggap haram karena memutus keturunan secara permanen.
Namun, hukum tersebut bisa berubah dalam situasi darurat, misalnya jika ada risiko kesehatan serius. Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012, menyatakan bahwa vasektomi dapat dibolehkan jika memenuhi lima syarat ketat:
1. Dilakukan untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2. Tidak menyebabkan kemandulan permanen.
3. Ada jaminan dapat dilakukan rekanalisasi atau pemulihan fungsi reproduksi.
4. Tidak menimbulkan mudharat bagi yang bersangkutan.
5. Tidak dijadikan bagian dari program kontrasepsi mantap.
Artinya, vasektomi bukanlah tindakan yang otomatis bertentangan dengan agama, selama dilakukan dengan pertimbangan matang dan memenuhi kriteria syariat.
Baca juga: Deflasi Mempengaruhi Daya Beli Masyarakat dan Berdampak untuk Semua Kalangan
Sudah saatnya kita tinggalkan mitos lama bahwa “banyak anak banyak rezeki.” Rezeki butuh perencanaan, dan perencanaan dimulai dari keberanian untuk mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan, termasuk jumlah anak dalam keluarga.
Mungkin usulan ini terdengar mengejutkan. Tapi jika kita ingin membangun masa depan yang lebih berkualitas dan keluar dari jerat kemiskinan struktural, kita perlu keberanian seperti ini.
Bansos memang mengenyangkan. Tapi vasektomi bisa menyelamatkan. Jadi, pilih yang mana?
Penulis: Rimanalda Andarughea Ayatanoi
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih
Daftar Pustaka
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2020). Panduan pelayanan kontrasepsi mantap (tubektomi dan vasektomi). https://www.bkkbn.go.id
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Profil kesehatan Indonesia tahun 2020. https://pusdatin.kemkes.go.id
Majelis Ulama Indonesia. (2012). Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012. https://mui.or.id
Munandar, A. (2023, Mei 12). Mitos vasektomi dan kenyataan medisnya. Tirto.id. https://tirto.id
Putra, Y. A. (2025, April 29). KDM usul vasektomi jadi syarat bansos: Warga miskin banyak anak. Kompas.com. https://kompas.com
World Health Organization. (2020). Family planning/Contraception methods. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/family-planning-contraception
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News