Dampak Deforestasi terhadap Kehidupan Berkelanjutan di Tanah Papua

Dampak Deforestasi
Gambar.1 Bentuk Deforestasi.

BAB 1 PENDAHULUAN

Pendahuluan

Manusia dan alam merupakan suatu kesatuan yang sangat berkaitan erat serta tak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat hidup berdampingan dan saling mempengaruhi serta saling merawat, saling menjaga, dan melindungi satu sama lain sebagai mahluk hidup demi keberlanjutan kehidupan di planet bumi ini.

Dalalm sebuah ungkapan, “pengaruh alam terhadap manusia lebih bersifat pasif, sedangkan pengaruh manusia terhadap alam lebih bersifat aktif” (Zairin, 2017).

Hal ini disebabkan karena manusia memiliki karakter konsumtif, yakni sebuah karakter yang menunjukan sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhnanya sendiri tanpa memperhatikan keberlangsungan kehidupan di alam yang akan berdampak pada masa depan alam yang di dalamnya terdapat hewan, tumbuhan, dan mineral bumi yang jika di ambil secara terus menerus tanpa memperhatikan batasan, dapat berdampak buruk bagi kehidupan alam dan manusia itu sendiri seperti “kerusakan hutan akan berpengaruh terhadap beberapa hal antara lain kekhawatiran akan bertambah parahnya bencana alam kekeringan, banjir dan tanah longsor “(Ansar dkk., 2024). Selain itu dampak buruk lainnya ialah pemanasan global, naiknya air laut dan rusaknya suatu ekosistem yang didalamnya terdapat berbagai biota laut, tanaman dan hewan-hewan endemik dalam suatu wilayah yang tidak terdapat di wilayah lainnya sehingga hal ini perlu menjadi suatu perhatian khusus bagi manusia sebagai mahluk yang lebih tinggi derajatnya daripada mahluk lainnya dimuka bumi ini.

Alam, dalam hal ini “hutan” merupakan salah satu sumber kehidupan yang didalamnya terdapat berbagai macam kehidupan, yakni kehidupan flora, fauna, air dan mineral bumi yang tidak terhitung jumlahnya namun terbatas jika diambil secara terus-menerus tanpa memperhatikan batasan-batasan yang terkait dengan ketersediaan dan juga keberlanjutan dari flora, fauna, air dan mineral yang tersedia, sehingga nantinya dapat dikelolah sebaik mungkin oleh generasi selanjtunya. Namun, manusia sebagai mahluk super power yang serakah dengan karakter konsumtif terkadang tidak memperhatikan nasib hutan ketimbang dirinya sendiri, sehingga mengabaikan hak-hak hutan untuk tumbuh, berkembang, dan terus terlindungi. Dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, manusia melakukan pengambilan hak hutan semaunya yang berakibat fatal bagi manusia itu sendiri. Sebagai sebuah contoh, “Tumbuhnya sebatang pohon dapat mengurangi polusi udara, memurnikan sumber air, mengurangi kemungkinan banjir, membantu mengatur iklim dengan menangkap dan menyimpan karbon, penyedia kayu untuk kebutuhan bangunan, tempat rekreasi dan meningkatkan kualitas estetika landskap”(Zairin, 2017).

Bacaan Lainnya

Dari berbagai keserakahan manusia akan kebutuhan hidupnya, salah satu tindakan yang paling sering kita jumpai dan konkret adalah kegiatan deforestasi. Dimana “deforestasi merupakan hilangnya tutupan hutan atau perubahan hutan yang dikonversi dari hutan menjadi bukan hutan, misalnya hutan menjadi pemukiman, perkebunan, dan lain sebagainya” (Sawaki et al., 2020). Deforestasi merupakan fenomena yang menjadi perhatian global karena dampaknya yang membahayakan bagi keberelanjutan peradaban manusia di bumi (Gultom & Mumbunan, 2023). Ekspolitasi secara berlebihan yang dilakukan oleh sebagian orang yang tidak bertanggungjawab inilah yang dapat melahirkan dampak yang berbahaya bagi sebagian besar masrayakat yang mendiami suatu wilayah yang dimana terjadi aktivitas deforestasi tersebut.

Secara khusus pada beberapa wilayah di Tanah Papua, aktivitas deforestasi saat ini sangat marak terjadi akibat dari penebangan liar (illegal logging) dimana hasil dari penebangan liar yang tidak terkendali dan belum tersentuh hukum dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat adat yang mendiami wilayah eksploitasi hutan tersebut. Dalam sebuah laporan penelitan, terdapat temuan aktifitas illegal logging pada beberapa daerah di Tanah Papua yang didalamnya kini terbagi dalam beberapa provinsi baru dengan Kabupaten atau Kota seperti Kabupaten Sorong (Provinsi Papua Barat Daya), Kota Manokwari (Provinsi Papua Barat), Kabupaten Fak Fak (Provinsi Papua Barat), Kabupaten Nabire (Provinsi Papua) dan Kabupaten Yapen Waropen/Serui (Provinsi Papua). Dimana “Kayu gelondongan tersebut dikirim secara ilegal ke pelabuhan China di Zhangjiagang dan kemudian diangkut ke pabrik-pabrik di selatan Shanghai di mana kayu tersebut dibuat menjadi lantai kayu. Lebih dari 500 pabrik lantai telah didirikan di kota namun hanya dalam 5 tahun” (Hartoyo dk., 2019). Dan yang terbaru saat ini ialah proyek Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) pada Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan yang merenggut hutan adat masyarakat setempat tanpa memperhatikan batasan adat dan juga batasan-batasan lahan yang harus digunakan untuk proyek nasional tersebut dengan mempertimbangkan hak hutan dan ekosistem hutan dan beberapa aspek sosail dan ekologi yang ada. Dimana proyek ini sebenarnya sudah di gaungkan pada tahun 2012 dengan pembagian penetapan sebanyak 9 (Sembilan) unit di mana 7 (tujuh) Unit di Provinsi Papua dan 2 (dua) Unit di Papua Barat dalam rangka percepatan pembangunan.

Baca Juga: Penolakan Masyarakat Adat Suku Awyu terhadap Ancaman Deforestasi Perusahaan Sawit

Hal ini sangat berbahaya dan mengancam kehidupan berkelanjutan di Tanah Papua. Mengingat warga yang mendiami pelosok atau daerah terpencil Tanah Papua sangat bergantung dengan sumber daya alam, dimana jika hutan ditebang, kayu di ambil untuk kepentingan bisnis, hal ini akan mengganggu ekosistem yang ada dan membuat hidup warga yang mendiami wilayah tersebut akan kesulitan dalam bertahan hidup, bukan hanya bagi manusia saja tetapi juga bagi hewan dan juga tumbuhan-tumbuhan endemik yang ada pada wilayah tersebut.

Sumber daya hutan telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Papua yang sangat bergantung pada hutan alam”(Rakhman , 2022). Sehingga jika dilihat dari sisi sudut pandang orang Papua itu sendiri mengenai alam, “dalam prakteknya juga dikehidupan sehari-hari lingkungan hutan atau alam itu sendiri karena sudah dianggap sebagai mama yang memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi mereka”(Murib & Therik, 2023). Karena pandangan orang Papua yang memandang hutan sebagai mama bagi mereka, dimana, “manfaat hutan bagi orang Papua dirasakan secara langsung sebagai sumber kehidupan, sebagai apotik yang menyediakan obat-obatan alam”(Wambrauw dkk., 2022)

Belajar dari pengalaman proyek food estate MIFEE (Merauke Food and Energy Estate) di Merauke dan di Kalimantan Tengah, menunjukkan resolusi proyek food estate dengan penggunaan lahan dan mengalihfungsikan hutan skala luas, berbasis pada korporasi dan modal besar, teknologi, mekanisasi dan manajemen organisasi modern, justeru menimbulkan permasalahan yang rumit, yakni: perampasan tanah, akuisisi lahan dan konsentrasi penguasaan lahan pada segelintir pemilik modal, terjadi eksploitasi buruh, deforestasi, kekeringan dan bencana ekologi yang berulang dan meluas, gizi buruk dan kesulitan pangan, korupsi, kekerasan dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), dengan korban penduduk asli dan orang kampung di sekitar proyek (Briefing Paper Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Update September, 2024).

Rumusan Masalah

Dari beberapa penjelasan diatas tentang hutan, deforestasi dan dampaknya terhadap kehidupan berkelanjutan, maka artikel ini dengan judul Dampak Deforestasi terhadap Kehidupan Berkelanjutan di Tanah Papua, penulis memberikan mendapatakan beberapa hal yang menjadi pertanyaan mendasar sehingga dibuat dalam suatu rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Apa itu deforestasi dan permasalahanya?
  2. Bagaimana dampak deforestasi terdahap manusia dan alam?
  3. Bagaimana keberlanjutan hidup manusia dan alam atas kegiatan deforestasi?

Tujuan

Adapun dalam penulisan artikel ini memiliki beberapa tujuan yang dimaksudkan sebagai berikut yang tersaji dalam beberapa point di bawah ini sebagai berikut:

  1. Tujuan yang pertama adalah sebagai salah satu syarat memenuhi kebutuhan sebagai bobot penilaian tugas akhir semester 1 (ganji) 2024/2025 dalam mata kuliah Introduction To Political Sience ( HI 108 A) pada Program Studi S1 Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
  2. Selanjutnya tujuan kedua dalam penulisan artikel ini adalah, agar penulis dapat menyajikan literasi tentang dampak deforestasi dari beberapa pemikiran yang penulis gunakan melalui penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu mengenai dampak-dampak kerusakan hutan bagi pembaca dimanapun berada.
  3. Berikutnya adalah sebagai bahan pembelajaran bagi penulis dan juga pembaca serta sumbangsih literasi terkait dampak deforestasi dan kehidupan berkelanjutan di Tanah Papua melalui sudut pandang penulis yang dikaji menggunakan hasil penelitian-penelitian oleh peneliti terdahulu.
  4. Yang terakhir adalah artikel ini sebagai salah satu sumbangsih bagi Program Studi S1 Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, yang dapat digunakan sebagai bahan literasi bagi kawan-kawan mahasiswa dan juga para dosen.

Baca Juga: Upaya Organisasi Internasional Non-Pemerintah dalam Menangani Kasus Penggundulan Hutan (Deforestasi) di Indonesia

BAB 2 METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penelitian Kualitatif

Dalam penulisan atikel ini, penulis selaku peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dimana metode penelitian kualitatif, “metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting)” (Sugiyono, 2013).

Mengingat bahwa metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian naturalistik seperti pendapat diatas, sehingga penelitian berfokus pada boyek yang bersifat alamiah, maka peneliti harus mempunyai wawasan yang luas mengenai obyek yang sedang diteliti. Hal ini di sebabkan karena peneliti menjadi instrumen atau human instrument, dengan mengonstruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebih bermakna dan melahirkan sebuah informasi yang nantinya dipergunakan sebagai sebuah temuan dan kesimpulan penelitian.

Pada penelitian yang ditulis oleh penulis dengan judul Dampak Deforestasi terhadap Kehidupan Berkelanjutan di Tanah Papua. Yang menjadi obyek dalam penelitian kali ini adalah hutan, dimana melalui deskriptif naratif. Perlu diketahui ” penelitian kualitatif bersifat deskriptif dimana data atau fakta yang dipaparkan berbentuk teks, kata atau gambaran bukan angka atau statistik seperti pada penelitian kuantitatif” (Hasan dkk., 2023).

Sehingga peneliti berupayah agar dapat menyajikan data yang terkait dengan dampak deforestasi terhadap kehidupan berkelanjutan di Tanah Papua dengan cara mendeskripsikan fenomena kasus kerusakan hutan tersebut terhadap kehidupan manusia dan alam di Tanah Papua menggunakan pendekatan naratif.

Sehingga deskriptif naratif merupakan suatu pendekatan yang mendeskripsikan atau menjelaskan fenomena yang terjadi pada Tanah Papua mengenai dampak deforestasi menggunakan narasi-narasi yang tertulis dan tidak menggunakan perhitungan statisik untuk menggambarkan suatu fenomena yang terjadi dengan obyek penelitian, yakni hutan di Tanah Papua.

Perlu diketahui, dalam penulisan artikel ini, penulis selaku peneliti melakukan penelitian dengan berfokus pada dampak-dampak yang telah, dan akan dialami oleh warga yang mendiami Tanah Papua terkait dengan maraknya laporan di media lokal, nasional, dan internasional melalui berbagai publikasi yakni, jurnal, artikel, dan media elektronik seperti tv serta platform media sosial tentang deforestasi yang terjadi diTanah Papua, seperti pada sebuah seminar dengan upayah untuk menyelamatkan hutan Papua dengan judul “Menyelamatkan Hutan Papua Transisi menuju Pemanfaatan Optimal Hasil Hutan Bukan Kayu, Jasa Ekosistem Hutan dan Tanaman Obat (Saving Papua’s Forests while Making a Transition to Optimal Use of Non-Timber Forest Products, Forest Ecosystem Services and Medicinal Plants) “(Cifor, 2009).

Melihat dari judul seminar diatas yang dilaksanakan 15 tahun yang lalu, dimana pada saat itu isu mengenai penyelamatan hutan telah dipikirkan oleh pecinta alam dan akademisi serta beberapa Yayasan di Tanah Papua. Bagaimana dengan fenomena yang terjadi saat ini dan saat mendatang serta dampaknya bagi orang Papua yang mendiami bumi cenderawasih tersebut, sehingga penelitian ini berfokus pada isu deforestasi. Dan pada penelitian ini, peneliti mengumpulkan data menggunakan teknik riview literatur. dimana riview literatur adalah suatu teknik atau cara mengumpulkan informasi yang tersedia terkait dengan isu deforestasi di Tanah Papua melalui berbagai sumber literasi seperti jurnal-jurnal, artikel, dan media cetak lainnya serta informasi dari berbagai platform media lokal dan nasional yang dapat dipercaya dan diuji keabsahan data yang tersedia. Sehingga hasil dari riview literasi tersebut yang dimuat dalam pembahasan nantinya dapat melahirkan suatu pemahaman dan informasi yang bermanfaat melalui kesimpulan.

Baca Juga:Prabowo-Gibran: Etika Demokrasi dan Harapan Masyarakat dalam Pembangunan Berkelanjutan

BAB 3 PEMBAHASAN

Deforestasi di Tanah Papua

Definisi Deforestasi

Deforestasi memiliki makna tunggal yaitu, jika dilihat dari halaman Wikipedia, diartikan sebagai “Penggundulan hutan, penebangan hutan, atau deforestasi adalah kegiatan menebang hutan atau tegakan pohon sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nonhutan” (wikipedia.org, 2021). Artinya bahwa aktivitas deforestasi adalah suatu kegiatan penebangan atau penggundulan yang dilakukan oleh Sebagian orang atau kelompok, yakni pembisnis, kelompok masyarakat, dan juga lembaga pemerintah secara sadar. Definisi lain dari deforestasi ialah, suatu perubahan bentuk tutupan hutan menjadi bukan hutan.

Dimana hutan adalah suatu ekosistem yang ditutupi oleh pepohonan yang rimbun sehingga disebut sebagai hutan, karena dengan adanya pepohonan yang rimbun dalam jumlah yang sangat banyak tidak terhitung jumlahnya, suatu wilayah bisa disebut sebagai hutan mengingat tutupan hutan adalah pepohonan tersebut.

Maka deforestasi hutan secara gamblang bisa dikatakan sebagai sebuah aktivitas pembabatan hutan, dimana aktivitas tersebut dilakukan untuk mengambil sumberdaya hutan untuk memnuhi kebutuhan pembabat tersebut. Sumberdaya hutan adalah berbagaia jenis flora dan fauna maupun tanah dan juga mineral bumi yang berada dalam wilayah hutan yang sedang dilakukan aktivitas deforestasi.

Jika dilihat dari ketiga definisi di atas, kegiatan deforestasi yang dilakukan oleh sebagian orang tersebut memang bertujuan untuk menghilangkan hutan beserta fungsi hutan demi memenuhi kebutuhan mereka dengan mengambil sumberdaya hutan tanpa memperhatiakan hak hutan untuk tetap utuh, bertumbuh dan bertahan sebagaimana mestinya sebagai sebuah ekosistem atau rumah bagi berbagai jenis mahluk hidup yang mendiami hutan tersebut seperti contoh pada gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Bentuk Deforestasi.

Adapun sumberdaya hutan adalah semua kekayaan alam maupun manfaat yang tersedia di kawasan hutan yang dapat diambil untuk memenuhi kebutuhan manusia, “sumberdaya hutan dapat didefinisikan sebagai semua yang terdapat di alam yang berupa hutan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya” (Renggi dkk., 2015).

Artinya bahwa aktivitas deforestasi merupakan suatu tindakan yang sangat berisiko dan berbahaya jika dilakukan secara terus – menerus tanpa memperhatikan manfaat dan fungsi hutan itu sendiri bagi suatu kehdiupan mahluk hidup yang mendiami wilayah hutan tersebut seperti flora, dan fauna maupun yang mahluk hidup lain yang mendiami pinggiran hutan tersebut sebagai contohnya manusia, atau dalam hal ini masyarakat adat pedalaman yang mengdiami pinggiran bahkan di dalam hutan.

Baca Juga: BPDPKS: Motor Utama Industri Sawit Menuju Net Zero Emission dan Pendapatan Nasional yang Lebih Tinggi

Aktivitas deforestasi ini bisa saja terjadi karena pengaruh kepentingan pribadi dan kelompok tertentu dalam hal ini para pengusaha kelas atas dalam urusan bisnis dan juga kepentingan politik, sehingga hal yang harus ditempuh untuk memenuhi kebutuhan akan dua unsur tersebut adalah dengan melakukan tindakan deforestasi dengan mengerus hutan serta sumberdaya yang ada dalam hutan tersebut. Jika aktivitas deforestasi dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yakni hal ini disebabkan karena karaktek konsumtif manusia, dimana manusia menggunakan teknologi dan kecerdasan untuk mengambil hak alam dan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Jika dilihat dari perkebangan informasi pada berbagai media informasi, beberapa aktivitas deforestasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia anatara lain adalah karena adanya suatu tuntutan akan kebutuhan terkait aktivitas perekonomian yakni, binsi dimana permintaan dan penawaran pasar terhadap suatu komoditi tertentu seperti contohnya Minyak Sawit.

Hal ini menjadi penyebab sehingga orang yang memiliki sumber dana dan sumber daya yang kuat dalam hal ini oknum pengusaha, akan membabat hutan untuk di alih fungsikan sebagai sebuah perkebunan sawit sehingga permintaan di pasar sawit akan dipenuhi.

Sebagai hasilnya pengusaha sawit tersebut mendapatkan pundi-pundi keuntungan atas aktivitas perkebunan sawit tersebut. Sedangkan bagaimana dengan nasib hutan, apakah akan utuh sebagaimana mestinya? tentu tidak. Hal ini disebkan karena humus tanah telah mati efek dari penggunaan pupuk yang sudah terkontaminasi dengan berbagaia zat kimia, sehingga unsur hara dalam tanah tidak seperti sebelumnya. Maka usaha untuk menanam kembali hutan yanbg telah hilang diperlukan upayah ekstra dan kemungkinan akan gagal dikembalikan sebagaimana sebeleumnya.

Sedangkan jika dilihat dari sisi kepentingan politik, yang menjalankan aktivitas deforestasi adalah lembaga pemerintahan terkait yang memiliki tanggungjawab terhadap kebijakan yang telah dicanangkan melalui berbagai program-program kerja. Dimana sebagai contoh konkrit saat ini yang sedang ramai di bahas dalam berbagai platform berita lokal, nasional dan internasional, serta mendapat beragam kecaman dari berbagai pihak, yakni kalangan masyarakat, aktivis lingkungan, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM), dan beberapa pihak diluar negeri tentang program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) di Tanah Papua pada Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan, yang membabat begitu banyak hutanmasyarakat adat setempat dan lahan dengan target 1.000.000 Ha (Satu Juta Hektar) tanpa ada negosiasi sebelumya. Namun adapula beberapa pihak yang sepakat dan mendukung program food estate tersebut guna untuk mengatasi kelangkahan pangan di Indonesia

Program ini mengakibatkan masyarakat lokal setempat kehilangan hutan adat, hutan sacral, dan sutan sebagai tempat bertahan hidup dengan berkebun, meramu serta berburuh demi bertahan hidup selama ini, bahkan sejak nenek moyang masyarakat setempat telah hidup bergantung pada hutan-hutan tersebut, mengingat laokasi dimana aktivitas deforestasi tersebut merupakan hutan adat yang sangat penting bagi masyarakat adat setempat.

Tujuan Pemerintah dalam hal mengatasi Krisi pangan memang sangat benar dan tepat, hanya saja Tindakan yang di ambil perlu dikaji ulang terkait praktik, aspek dan batas-batasan dalam menalankan program tersebut agar tidak menjadi boomerang nantinya bagi pemerintah itu sendiri terkait Tindakan yang telah diambil.

Baca Juga: Kolaborasi Mahasiswa dan Masyarakat untuk Mewujudkan Hutan Lestari dan Ekonomi Berkelanjutan dalam Program Jalan MaPan Perhutanan Sosial 

Aktivitas Deforestasi Di Tanah Papua

Secara khusus di tanah Papua belum diktahui secara pasti aktivitas deforestasi besar-besaran dimuali sejak kapan, namun jika dilihat dari data tahun terakhir ini, laju aktivitas deforestasi di Tanah Papua disebabkan karena adanya kepentingan bisnis oleh beberapa konglomerat yang memiliki perusahan dan anak Perusahaan yang tersebat di beberapa wilayah pada Tanah Papua.

Dan parahnya adalah dalam bulan Januari – Februari 2024 (dua bulan) saja, laju deforestasi yang terjadi di tanah Papua telah merenggut hutan dan lenyap dalam kurun waktu yang begitu singkat dengan wilayah seluas 765,71 ha. Luas wilayah ini adalah seluruh wilayah pada Tanah Papua yang terbagi menjadi 6 (enam) provinsi yang berada pada Tanah Papua. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada table 1. Angka 765,71 ha merupakan kumulatif khusus bagi sebagian aktivitas perkebunan kelapa sawit dan pengambilan kayu hutan yang merenggut hutan Papua yang terdeteksi dan terdata sehingga dapat dipublikasikan.

Tabel 1. Penyajian Data Sebaran Aktivitas Deforestasi Perusahaan-Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Tanah Papua

Sumber: (BENTALA RAKYAT, 2024) Wilayah-wilayah deforestasi yang teridentifikasi menjalankan aktivitas deforestasi.

Sedangkan angka kumulatif 299,662 ha terkait luas izin usaha Perkebunan yang diberikan kepada Perusahaan untuk mengelolah hutan bagi kepentingan bisnis. Namun yang terjadi malah Perusahaan semakin membuka lahan semakin luas dari batas izin yang telah diberikan oleh pemerintah daerah setempat sehingga berdampak pada masyarakat yang mendiami wilayah sekitar batas-batas hutan yang dilakukan kegiatan deforestasi.

Di sini bisa dilihat bahwa salahsatu aktor yang paling bermain peran penting dalam perusakan hutan di Tanah Papua adalah perusahan-perusahan perkebunan kelapa sawit. Dimana sebelum kelapa sawit ditanam pasti dilakukan penggundulan hutan untuk aktivitas pertanian sawit. Lalu kemakan hasil hutan yang ditebang?.  Pastinya dijula dan hanya Perusahaan yang tau kemana kayu-kayu itu pergi dan diolah nantinya.

Adapun aktor lain yang memainkan peran penting dalam aktivitas deforestasi pada Tanah Papua adalah lembaga pemerintah. Mengutip dari halaman portal berita nasional yakni BBC News Indonesia terbitan 18 November 2024, pemerintah pusat dalam hal ini mengungkapkan melalui Kantor Komunikasi Presiden mengklaim bahwa program food estate di Merauke Papua Selatan merupakan salah satu program terbaik Presiden Republik Indonesia terpilih periode 2024-2029 yakni Prabowo Subianto dan telah menetapkan Merauke sebagai pusat lumbung pangan nasional.

Baca Juga: Functions of Indonesia Forest

Jika dilihat dari program pemerintah tersebut merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat, agar ketersediaan pangan nasional tetap stabil sehingga tidak terjadi krisis pangan nasional, mengingat Indonesia merupakan suatu negara yang kaya akan sumberdaya alam yang melimpah , sehingga seharusnya mampu menghidupi warga negaranya melalui ketersediaan sumber daya yang ada.

Namun jika dilihat dari prakti-praktik kebijakan tersebut dilapangan, terkesan tidak melibatkan, bahkan melangkahi masyarakat adat setempat sebagai pemilik hak ulayat tanah adat dan hutan yang menjadi target pembangunan proyek lumbung pangan tersebut serta terkesan sebagai sebuah upayah perampasan hak masyarakat adat.

Seperti yang diungkapkan oleh salah satu perwakilan warga Merauke Ibu (Mama) Yasinta Moiwend yang memprotes keras di Seberang Istana Negara saat aksi kamisan 17 Oktober lalu dengan narasi yang sangat memiluhkan.

Gambar 2. Mama Yasinta Moiwend (berbaju hijau) dipotret saat berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 16 November 2024. Lumpur putih pada wajah Sinta dan tiga kerabatnya merupakan simbol kedukaan (Utama & Peranan, 2024).

“Saya mau tanya, negara ini punya aturan atau tidak?”, Kami mau makan dari mana? Alam kami sudah rusak, habis. Burung-burung di udara, bahkan sampai binatang yang di bawah tanah sudah digusur, Kami mau jadi apa? Anggap saja kami sudah mati,” ujarnya.

Melalui ungkapan narasi Mama Yasinta Moiwend tersebut kita bisa mengetahui bahwa ada sebuah persoalan yang harus diselsaikan antar pemerintah pusat dengan masyarakat adat Merauke sebelum melaksanaan program pemerintah pusat yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi masayrakat setempat secara khusus dan seluruh warga Indonesia secara umum. Dan praktik-praktik yang dilakukan perlu dikaji ulang karena adanya penolakan dari masyarakat adat setempat.

Dalam pandangan ekofenimisme terkait dampak krisis hutan salah satu peneliti terdahulu mengemukakan bahwa “Rusaknya hutan dalam skala besar yang mengatasnamakan pembangunan memberi dampak kepada masyarakat adat Malind khususnya kaum perempuan, mengingat dalam adat orang Marind, alam memiliki hubungan dengan khusus dengan manusia”(Wambrauw dkk., 2022).

Hal ini menunjukan bahwa sebenanrya ada persoalan yang harus diselesaikan sebelum menjalankan proyek pemerintah tersebut dengan mengkaji ulang dari berbagai aspek seperti “pengelolaan hutan adat masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari aspek kebijakan, kapasitas, maupun kelembagaan”(Renggi dkk., 2015). Agar pelasksanaan program food estate tersebut dapat berjalan lancar tanpa hambatan serta berhasil sesuai dengan target yang telah direncanakan sebelumnya.

Namun yang perlu dikaji oleh pemerintah pusat dalam menjalankan program food estate tersebut terkait beberpa aspek seperti:

Aspek Hak Kepemilikan Tanah

Slogan yang sering terdengar akhir-akhir ini adalah “Papua Bukan Tanah Kosong”. Uangkapan ini menunjukan suatu bentuk penolakan atas eksploitasi hutan dan tanah adat masyarat kepada pembinsi maupun pemerintah untuk menjalankan program lumbung pangan nasional, perlu melakukan pengkajian terkait kepemilikan tanah adat yang akan digunakan.

Artinya pemerintah sebagai penyelenggara program tersebut perlu melakukan pendekatan dan perizinan serta perjanjian dengan masyarakat setempat pemilik tanah-tanah adat dan hutan sebelum melaksanakan penebangan, bahkan penggusuran hutan adat milik masyarakat tanpa adanya dialog, bahkan kesepakatan yang dibuat antar kedua belah pihak. Yang akan berdampak buruk bagi proyek dan pemerintah tidak di cap buruk bagi warga masayrakat.

Baca Juga: Pelibatan Orang Muda dalam Perlindungan dan Restorasi di Lahan Gambut

Aspek Luas Wilayah Operasi

Wilayah operasi perlu dimasukan kajian oleh pemerintah pusat sebagai salah satu bentuk rumusan sehingga kebijakan program food estate tidak mendapat penolakan dari masyarakat adat setempat. Mengingat tidak semua hutan merupakan areal produksi untuk pertanian, mengingat ada hutan adat yang disakralkan dan sangat dihormati oleh warga setempat. Dimana masyarakat setempat beranggapan bahwa kehidupan nenek moyang mereka berasal, dari hutan tersebut sehingga hutan tersebut sakral tidak boleh dirusak. Ketika dirusak masyarakat akan dengan spintan melakukan perlawanan untuk mempertahankan wilayah tersebut.

Aspek Batasan Wilayah

Berikutnya Batasan wilayah, suku-suku yang mendiami suatu wilayah memiliki Batasan antar suku dalam hak kepemilikan wilayah. Sehingga Batasan wilayah perlu diperhatiakn oleh pemerintah dalam menjalankan program food estate di Merauke.

Di sisi yang sangat penting lainnya adalah Batasan wilayah anatara beberapa jenis-jenis hutan yang boleh digunakan sebagai lahan pertanian dan mana yang tidak boleh, seperti hutan lindung, hutan adat, dan hutan produksi dengan kategori hutan tropis, hutan rawa, dan hutan hujan yang menjadi bagian dari kebanggaan Indonesia sebagai paru-paru dunia.

Aspek Keterlibatan Masyarakat Lokal

Komunkasi, sosialisasi dan dialog merupakan bagian dari keterlibatan lokal dalam program food esatate. Artinya masyarakata lokal setempat mengetahui dan turut mengambil bagian dalam menjalankan program tersebut dengan memberikan pemahanan lokal terkait hutan yang akan digunakan, serta menunjukan Batasan-batasan yang harus digunakan dan mana yang tidak boleh digarap oleh pemerintah. Keterlibatan masyarakat lokal bukan hanya tentang tenaga kerja, tetapi juga melalui ungkapan pendapat juga perlu ditindak lanjuti dan tidak hanya dibiarkan begitu saja.

Dampak Deforestasi Bagi Kehidupan

Indonesia memiliki beragam julukan dimata dunia, salah satunya sebagai paru-paru dunia “julukan paru – paru dunia yang diberikan pada Indonesia bukan tanpa alasan, julukan ini diberikan karena Indonesia mempunyai hutan tropis terlebat dan terluas di dunia selain Amazon di Brazil”(Ansar dkk., 2024).

Julukan paru-paru dunia bagi Indonesia menjadi kebanggaan sekaligus tanggung jawab serta kerja keras Bersama warga negara dan di dukung oleh pemerintah untuk tetap menjaga citra baik serta julukan tersebut agar tetap melakat di mata dunia bagi bangsa dan negara Indonesia.

Namun kenyataan yang terjadi pada sebagian wilayah di Indonesia yang memiliki Kawasan hutan yang sangat luas seperti pada Pulau Papua dan Klimantan malah menjadi sasaran aktivitas deforestasi dari sekelompok orang serakah yang menggerus hutan dengan nafsu memenuhi kebutuhanya. Tanpa memandang hutan tersebut yang menjadi kebanggaan sebagai julukan paru-paru dunia tersebut dirusak dan di eksploitasi dalam keadaan sadar dan massif.

Aktivitas deforestasi ini menjadi suatu ancamana dan memiliki dampak berkepanjangan bagi bumi secara umum dan secara khusus bagi warga yang hidup mendiami wilayah hutan serta bergantung dan bertahan hidup melalui hasil hutan tersebut.

Adapun beberapa dampak yang terjadi “deforestasi hutan dapat menyebabkan perubahan iklim, serta bencana alam seperti kekeringan, banjir, dan longsor tanah yang dimana penyebabnya adalah penggundulan hutan secara besar-besaran dengan tujuan untuk pemusnahan lahan hutan untuk kepentingan tambang maupun pertanian”(Ansar dkk., 2024). Artinya bahwa dampak deforestasi ini bukan hanya menimpa alam tetapi juga manusia dan juga hewan, tumbuhan serta ekosistem dalam suatu wilayah yang menjadi areal aktivitas deforestasi tersebut.

Baca Juga: Perjuangan Melawan Pencemaran Udara di Malang: Tantangan dan Solusi Menuju Malang Bebas Polusi

Dampak Terhadap Ekosistem

Unsur Tanah

Penggundulan hutan yang dilakukan bagi kepentingan pertanian dengan jumlah wilayah yang luas seperti pada pertanian sawit, bergantung pada tanah dengan komposisi unsur hara, air, dan mineral agar tumbuh kembang dan terus berproduksi bagi kelancaran aktivitas perkebunan tetap bertahan dan bertumbuh kembang bagi pemilik lahan pertanian sawit.

Unsur hara, mineral, dan air adalah unsur tanah yang telah terkandung dalam tanah tanpa terkontaminasi dengan zat kimia tambahan. Namun untuk merangsang pertumbuhan dan produksi yang cepat serta melimpah, terkadang petani sawit memerlukan pupuk berbahan kimia dan petisida agar proses pertumbuhan dan produksi buah sawit bisa lebih cepat dan melimpah sehingga hasil panen sawit menguntungkan, serta terhindar dari hama perusak tanaman.

Namun, disinilah letak penyebab kerusakan itu sebenarnya terjadi bagi kualitas tanah bekas perkebunan sawit. Tanah yang telah terkontaminasi dengan pupuk kimia akan sangat sulit untuk digunakan, apalgi dikembaliken pada kondisi sebelumnya. Contoh pupuk kimia yang berbahaya bagi unsur tanah adalah pupuk NPK (NPK (Nitrogen, Fosfor, dan Kalium) “pada lahan pertanian penggunaan pupuk sangatlah berpengaruh demi kelangsungan hidup tanaman di lahan pertanian, akan tetapi di sisi lain penggunaan pupuk dapat mempengaruhi kualitas air tanah dikarenakan pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia atau anorganik salah satunya pupuk NPK”(Fikri, 2014).

Jika kualitas tanah yang telah digunakan setelah aktivitas pertanian dengan menggunakan pupuk menurun, atau bahkan tidak dapat digunakan kembali, maka aktivitas pertanian sudah tidak dapat berproduksi lagi. Nah ini menyebabkan tanah tersebut ditinggalan begitu saja sehingga Lokasi tersebut menjadi gersang yang nanitnya berdampak pada naiknya suhu udara yang snagat panas dan menjadi salah satu penyumbang pemanasan global.

Padahal kita sebagai warga negara Indonesia snagat bangga dengan julukan sebagai paru-paru dunia, namun dengan adanya aktivitas deforestasi serta penggunaan pupuk kimia dalam aktivitas pertanian yang tidak terkontrol menyebabkan paru-paru yang tadinya sehat menjadi sakit dan kronis.

 Dampak Terhadap Flora dan Fauna

Hutan merupakan rumah bagi beragam flora dan fauna bahkan mikrobakteri yang terdapat dalam suatu Kawasan hutan yang belum dirusak untuk kepentingan manusia. Namun karena adanya kemampuan manusia untuk memenuhi kebutuhnannya untuk bertahan hidup dan terus bertumbuh berkembang, mengorbankan mahluk hidup lain seperti flora dan fauna.

Secara khusus di Tanah Papua, hutan meruapakan surga bagi beragama flora-fauna endemik “Wilayah ini terkenal sebagai tempat tangkapan karbon di bagian Timur Indonesia, surga bagi keanekaragaman flora-fauna dan kaya akan kebudayaan local bagi masyarakat adat”(Dwijayani dkk., 2023). Dengan adanya hutan sebagai surga yang melindungi flora-fauna dari perburuan liar dan ekplorasi hutan, serta penebangan liar kita semua boleh berbangga kehidupan tersebut yang tidak dimiliki oleh bangsa lain dimuka bumi ini. Berikut ini adalah sajian tabel flora-fauna (tanamn anggrek dan burung cenderawasih) yang ada di Tanah Papua.

Baca Juga: Globalisasi: Tantangan dan Peluang dalam Era Modern

TABEL 2. Jenis-Jenis Flora dan Fauna di Tanah Papua

Sumber: Peran Pembangunan Bird Watching Isyo Hill’s Sebagai Upaya Menghadapi Perusahaan Kelapa Sawit di Kampung Rhepang Muaif Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura Papua (Murib & Therik, 2023).

Melihat dari jumlah pada tabel di atas, sangat disayangkan jika aktivitas deforestasi secara besar-besaran dilakina pada Tanah Papua yang memiliki keanekaragaman yang sangat kaya. Selain burung cenderawasih dan tumbuhan anggrek, adapula jenis tumbuhan dan kayu-kayu serta mamalia dan marsupial yang hanya hidup di tanah Papua dan tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia seperti kangguru pohon, kasuari, kakatua raja dan masih banyak lagi yang lainnya.

Foto 3: Hewan Kangguru pohon. (Foto: carbonbrief.org)/(econusa.id, n.d.).

Di mana keanekaragaman jenis flora-fauna endemic tersebut menjadi suatu kebanggaan bagi warga Papua secara khusus dan secara umum kemabnggaan bagi Bangsa Indonesia karena memiliki begitu banyak flora fauna yang unik dan endemik. Sehingga patut dijaga dan dilestarikan hutan sebagai surga bagi flora-fauna agar terus dapat disaksikan maupun diwariskan kepada generasi yang akan datang sebagai suatu kebanggaan.

Hanya saja yang menjadi penyebab hilangnya hutan sebagai surga bagi flora-fauna adalah aktivitas penebangan liar maupun deforestasi yang merenggut sebagain bahkan sangat besar areal hutan sehingga mengancam kehidupan dari flora-fauna tersebut, dengan demikian hal tersebut akan berdampak kepada kepunahan varietas atau jenis hayati didalam suatu ekosistem (Zairin, 2017).

Baca Juga: Pengoptimalan Proses Reboisasi Hutan dengan Menerapkan Sistem Robot Autonomous

Dampak Ketersediaan Air Tanah

Ada sebuah ungkapan yang berbunyi demikian “air adalah sumber kehidupan”. Begitulah bunyi ungkapan yang sering kita dengar jika terjadi kelangkahan air maupun persoalan yang berkaitan dengan air.

Hidup mahluk hidup yang mendiami bumi ini apapun jensinya tidak dapat bertahan hidup dalam janga waktu sesuai ketahanan tubuh dan kondisinya jika tidak ada air. Baik manusia, hewan, bahkan tumbuhan sekalipun sanbat memerlukan air, sehingga air menjadi suatu hal yang sangat krusial untuk terus ada keberadaanya pada bumi atau dalam suatu wilayah tertentu. Secara ekologis, hutan merupakan satu kesatuan ekosistem yang memegang peranan sangat penting untuk menjaga tata lingkungan seperti mengatur tata air serta kesuburan tanah dan juga udara(Wirawan & Amrifo, 2020).

Bayangkan saja jika hutan terus dibabat habis demi kepentingan bisnis dan urusan pertanian untuk sebagain orang tanpa memperhatikan isi dari hutan tersebut yang menyimpan cadangan air bagi kehidupan mahluk hidup jika dibiarkan begitu saja tanpa ada kontrol dari badan hukum yang kuat dan ketat. Hal ini dapat merusak dan memusnahkan kehidupan mahluk hidup dalam areal wilayah tersebut yang bergantung pada sumber air dari hutan.

Manusia

Manusia merupakan mahluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Hal ini dibuktikan dengan evolusi manusia dari segi akal budi dan juga teknologi yang selalu berkembang seiring dengan perubahan zaman. Melalui kecerdasan yang dimiliki manusia serta teknologi yang dimiliki, manusia menjadi mahluk superior yang mampu mengendalikan, menguasai, dan membasmi mahluk hidup lainnya tanpa memperhatikan hak hidup dari mahluk-mahluk hidup tersebut.

Karakter konsumtif dalam diri manusia menjadi bom waktu yang berbahaya bagi manusia itu sendiri. Kita sebagai mahluk paling mulia seringkali hanya memikirkan hak kita dan mengambil hak alam untuk memenuhi kebutuhan kita secara sadar. Namun sadarkah hita bahwa ada kehidupan mahluk lain yang terganggu, habis atau bahkan rusak dan punah jika diambil secara terus-menerus.

Hutan adalah sumber terdekat yang selalu menjadi target untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dimana manusia melakukan ekspolitasi besar-besaran, pemburuhan liar, deforestasi areal hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pertambangan dan pertanian serta perumahan. Tindakan tersebut  seperti dijalsakn di atas merupakan bom waktu yang akan meledak suatu saat jika tidak dikendalikan dengan baik dan tepat.

Dampak buruknya kehilangan hutan bagi manusia adalah, peningkatan suhu bumi yang semakin panas serta polusi, hilangnya sumber air, punahnya satwa endemik, banjir bandang, longsor dan bencana alam dasyat lainya.

Hanya hutanlah yang menjadi pelindung manusia dari berbagai bencana alam tersebut, mengingat, pohon sebagai tempat berteduh dari sengatnya matahari serta akar pohon sebagai penahan tanah agar mencegah terjadinya banjir bandang dan longsor.

Baca Juga: Pengoptimalan Proses Reboisasi Hutan dengan Menerapkan Sistem Robot Autonomous

3. Kehidupan Setelah adanya kegiatan deforestasi

Ada suatu kutipan yang berbunyi demikian:

Ketika pohon terakhir ditebang,

Ketika sungai terakhir dikosongkan,

Ketika ikan terakhir ditangkap,

Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.”

Ya itulah pepatah dari suku Indian kuno yang mendiami amerika, setelah adanya ekspedisi besar-besaran dari benua eropa ke tanah Amerika. Gambaran melalui kutipan diatas menjelaskan bahwa demi kebutuhan manusia akan keberlangsungan hidup yang di dasari pada kebutuhan ekonomi, manisia relah melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tersebut dengan merampas hak hidup manluk lain.

Bagi manusia yang telah hidup beradaptasi dengan kehidupan modern (orang perkotaan) mungkin tidak memikirkan dampak dan juga tidak terkena dampak kerusakan hutan secara langsung, karena telah beradaptasi dengan kehidupan moderen. Sehingga persoalan hutan tdaik terlalu diambil pusing mengenai hal tersebut.

Namun bagi sebagain masyarakat yang masih hidup di pinggiran hutan, atau bahkan di dalam hutan, mereka tidak bisa terlepas dari hutan itu sendiri karena mereka dan hutan merupakan satu kesatuan yang saling hidup berdampingan serta saling menjaga dan melindungi satu sama lain.

Salah satu warga yang masih hidup dalam hutan dan bergantung pada hutan adalah suku Korowai di Tanah Papua.  Suku Korowai memiliki adat dan tradisi untuk tinggal menetap di hutan di atas pohon yang tinggi (Hartoyo dkk., 2019). Suku hini hidup dan tinggal pada pepohonan rimbun yang tersimpan di pedalaman hutan Papua.

Gambar 4. Rumah Pohon Suku Korowai di Papua (The Tree Houses of the Korowai Tribe of New Guinea) Sumber: (Patowary, 2012).

Suku Korowai di Tanah Papua merupakann satu dari sebagain besar suku di Indonesia yang masih bertahan di Tengah perubahan zaman dan peradaman manusia dengan tetap berpegang teguh dengan keyakina serta tradisi sejak nenek moyang mereka.

Baca Juga: Memanfaatkan Kekuatan Big Data dan Peran Sains Data untuk Mewujudkan Indonesia Emas

Dimana mereka hidup di hutan dan bergantung penuh pada hasil hutan yang menjadi surga bagi mereka sejak dahulu kala. Hutan adat tempat tinggal suku Korowai perlu dilindungi dari aktivitas deforestasi dan pembajakan liar agar mereka tetap dapat hidup dengan tenang dan terus ada keberadaanya. Mengingat hutan adalah tempat tinggal mereka dan Suku korowai memiliki keunikan yaitu hunian pohon seperrti pada gambar diatas.

Di mana suku korowai berkeyakinan bahwa hunian di atas pohon merupakan solusi terbaik agar terhindar dari gangguan akan hewan buas dan juga terhindar dari gangguan mahluk halus serta konflik antar suku. Dimana konfliik ini akan mengancam kehidupan mereka jika mempunyai huniaan atau rumah dekat dengan tanah, sehingga mereka memilih untuk membuat rumah di atas pohon.

Artinya bahwa zaman terus berubah diiringi dengan peradaban yang terus berkembang, namun itu hanya bagi sebagian besar manusia. Bagi sebgaian kecil manusia yang masih hidup dengan keyakinan mereka untuk terus hidup berdasarkan adat, tradisi dan kepercayaan nenek moyang tidak bisa di tinggalkan sehingga jangan pandang sebelah mata sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman, namun harus dilindungi serta perlu dilestarikan. Karena mereka juga sama memiliki hak seperti manusia lain pada umumnya, yaitu hak hiudp, hak bertumbuh, serta terus bertahan dalam wilayah milik mereka.

Banjir dan tanah longsor sudah menjadi suatu pertanda keras tentang marahnya yang tidak bisa di hindari oleh manusia. Bencana ini merupakan peristiwa alam yang disebabkan oleh ulah sebagian manusia yang tidak bertanggun jawab ketika menjalankan aktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehilangan harta, benda bahkan nyawa pun menjadi taruhannya.

Perlu di ingat bahwa hutan menyediakan kehidupan berkelanjutan yang menjanjikan jika dirawat, digunakan secukupnya agar tetap utuh dan Lestari. Sehingga hasil hutan dapat dinikamti oleh anak cucu serta generasi penerus nantinya. Namun jika hutan terus digerus, ditebang. Maka warisan yang dapat diberikan kepada anak cucu hanyalah sebuah cerita, gamabar, dan video tentang kehidupan di hutan yang begitu melimpah.

Konsumsi mahluk hidup yang mendiami daratan bumi tentunya sangat bergantung pada hasil hutan. Air minum yang bersih, hasil pertanian, pemandangan alam yang indah, udara yang sejuk dan sehat merupakan hasil dari hutan jika dijaga dan dirawat serta dilestarikan.

Sumberdaya hutan memang menjadi sumber kehidupan bagi berbagai mahluk hidup yang mendiami daratan bumi, manum jika hutan diruksa, dibakar, deforestasi, penebangan liar dibiarkan terus menerus tanpa memperhatikan Batasan dan upayah mengembalikan fungsi hutan maka malapetaka besar sedang menanti kehidupan mahluk hidup pada masa yang akan datang bagaikan bom waktu.

Memang aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak bisa diberhentikan dengan larangan pemanfaatan sumber daya hutan, namun akan lebih baik jika ada suatu rumusan yang ketat untuk mengatur tentang pemanfaatan hutan serta upayah untuk mengembalikan hutan yang telah digunakan sebelumnya. Sehingga keberadaan hutan tetap ada bagi kehidupan berkenlajutan dengan upayah menanam Kembali hutan yang telah hilang. Dan pemanfaatan hutan seharusnya dilakukan secukupnya dan seperlunya saja dan tidak berlebihan, supaya mahluk hidup dapat terhindar dari bencana-bencana alam yang nantinya menimpa kehidupan mahluk hidup di kemudian hari. Bukannya hal tersebut menakutkan bukan?

Baca Juga: Pembangunan IKN: Pemerataan Pembangunan atau Merusak Lingkungan?

BAB 4 PENUTUP

Kesimpulan

Hutan dan sumberdaya yang berada didalamnya merupakan anugerah sang pencipta yang snagat menjanjikan dan berlimpah jika dikelolah dengan tata cara serta praktik-praktik yang tepat. Secara khusus di Tanah Papua. hutan tidak bisa terlepas dari kehidupan warga setempat,. Hal ini karena sejak zaman nenek moyang warga setempat telah hidup dengan bergantung pada hasil hutan yang tersedia pada wilayah masing-masing.

Hutan terbagi menajdi beberapa kategori, yakni hutan produksi yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, hutan lindung dimana hutan jenis ini adalah hutan yang sangat dijaga dan dilindungi mengingat terdapat flora-fuan eksotis dan endemic pada hutan tersebut. Sehingga hutan ini dilindugi oleh kekuatan hukum, dan hutan adat merupakan hutan sakral, karena diyakini aka n awal kehidupan serta adanya kehidupan dalam hutan tersebut seihngga secara adat hutan ini tidak bole dimasuki atau dilakukan aktivitas apapun didalamnya.

Namun dengan adanya kepentingan bisnis dan juga pengaruh kebijakan politik, hutan sumber kehidupan masyarakat adat dirampas tanpa sepengetahuan dan keterlibatan warga setempat dalam aktivitas tersebut. Adapun aktivitas yang dilakukan untuk kepentingan bisnis dan kebijakan tersebut dilakukan dengan tindakan deforestasi sehingga hutan yang dahulunya menjadi sumber kehidupan untuk bertahan hidup menjadi rusak dan kehilangan fungsi sebagaimana mestinya.

Terkait hutan di Tanah Papua yang begitu luas, menjadi surga dan rumah bagi manusia dan flora-fauna atasan sebagai mahluk hidup yang mendiami hutan tersebut dan bergantung pada sumberdaya hutan.

Maka dengan demikian, agar pemanfaatan hutan dapat dilaksanakan dengan tepat tanpa merugikan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan hutan tersebut, dengan memperhatikan aspek-aspek seperti aspek hak kepemilikan tanah, luas wilayah operasi, batasan wilayah, dan aspek keterlibatan masyarakat lokal. Dengan memperhatikan hak hutan untuk terus ada keberadaaanya. Dimana jika tidak diperhatikan hak hutan maka bencana alam yang dasyat sedang menanti kehidupan mahluk hidup bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Saran

Penulis sebagai orang Papua melihat dari beragam aktivitas deforestasi di Tanah Papua yang masif dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi sangat prihati terhadap hal tersebut. Sehingga melalui tulisan ini, penulis menyarankan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan agar dapat memanfaatkan hutan secukupnya dengan memperhatikan hak hutan untuk bertumbuh dan terus bertahan, keberadaanya agar dapat diwariskan kepada anak cucu generasi yang akan datang dan mendiami Pulau Cenderawasih tersebut.

Pada sisi pelaksanaan aktivitas pemanfaatan hutan di Tanah Papua perlu adanya suatu perjanjian dan aturan hukum yang ketat agar pelaksanaan pemanfaatan hutan dapat terkontrol. Sehingga jika adanya suatu perjanjian yang dilanggar akan dikenakan sanksi yang tegas bagi pelaku yang melanggar perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kepada warga setempat, harus dapat menjaga hutan dan tidak melepaskan hutan adat secara sembarangan tanpa berpikir tentang nasib anak cucu di kemudian hari.

Penulis: 
1. Hendrik Marselius Korwa

2. Rudolf Yaroseray
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

ANANDA MUHAMAD TRI UTAMA. (2022). PERAN GREENPEACE DALAM MENGATASI ISU DEFORESTASI DI PAPUA Diajukan. 9, 356–363.

Ansar, S. S. A., Rahmawati, A., & Arrahman, R. D. (2024). Peninjauan Bencana Alam akibat Deforestasi Hutan dan Tantangan Penegakkan Hukum mengenai Kebijakan Penebangan Hutan Berskala Besar di Indonesia. Indonesian Journal of Law and Justice, 1(4), 11. https://doi.org/10.47134/ijlj.v1i4.2740

BENTALA RAKYAT, P. (2024). Deforestasi Papua Periode Januari – Februari 2024 1. 1–12.

Briefing Paper Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Update September 2024 Proyek Strategis Nasional ( PSN ) Pengembangan Pangan dan Energi di Kabupaten Merauke , Provinsi Papua Selatan : Melanggar Hak Asasi Manusia dan Meningkatkan Krisis Lingkungan Hidup Pendah. (2024). September, 1–24.

Cifor. (2009). Menyelamatkan Hutan Papua Transisi menuju Pemanfaatan Optimal Hasil Hutan. Serial Seminar Daring, 1–8. https://www.cifor.org/wp-content/uploads/2020/10/TOR Seminar Online Berseri – Hutan Jasa Ekosistem Papua 10.pdf

Dwijayani, R. H., Muhammad, A., & Sugito, S. (2023). Hutan Industri Dan Deforestasi: Bagaimana Hutan Industri Mengancam Keberlangsungan Hutan Hujan Di Papua, Indonesia. Agrifor, 22(2), 233. https://doi.org/10.31293/agrifor.v22i2.6719

econusa.id. (n.d.). Ekologi Lestari: Hutan, Pesisir, Laut dan Keanekaragaman hayati. Econusa.Id.

Fikri, U. (2014). Pengaruh Penggunaan Pupuk Terhadap Kualitas Air Tanah Di Lahan Pertanian Kawasan Rawa Rasau Jaya Iii, Kab. Kubu Raya. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, 2(1), 1–10. https://doi.org/10.26418/jtllb.v2i1.8280

Gultom, J. E. I., & Mumbunan, M. T. (2023). Determinants of Deforestation in Indonesia. Tri Panji: Liberal Arts Journal, 2, 48–61. http://www.nber.org/papers/w16019

Hartoyo, D., Putri, E. F., & Pambudi, K. S. (2019). Kemitraan Konversi dan Masa Depan Hutan Papua. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 149.

Kaushik Patowary. (2012). The Tree Houses of the Korowai Tribe of New Guinea. Amusingplanet.Com. https://www.amusingplanet.com/2012/10/the-tree-houses-of-korowai-tribe-of-new.html

Muhammad Hasan, T. K. H., Syahrial Hasibuan, I. R., Sitti Zuhaerah Thalhah, M.Pd., Dr. Cecep Ucu Rakhman, S.Sos., M. ., Paskalina Widiastuti Ratnaningsih, S.Pd., M.Hum., Dr. Inanna, S.Pd., M. P., Andi Aris Mattunruang S.E., M.Sc., Dr. Herman, S.Pd., M. P., Nursaeni, S.Ag., M.Pd., Dr. Yusriani, SKM., M.Kes, Dr. Nahriana, M. P., Dumaris E. Silalahi, S.Pd., M.Pd., Dra. Sitti Hajerah Hasyim, M. S., & Azwar Rahmat, M.TPd, Yetty Faridatul Ulfah, M.Hum, Nur Arisah, S.Pd., M. P. (2023). Metode penelitian kualitaf.

Murib, Y., & Therik, W. M. A. (2023). Peran Pembangunan Bird Watching Isyo Hill’s Sebagai Upaya Menghadapi Perusahaan Kelapa Sawit di Kampung Rhepang Muaif Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura Papua. KRITIS, 32(2). https://doi.org/10.24246/kritis.v32i2p88-116

Renggi, E. R., Indra, M., Muslich, M., & Asmui. (2015). Panduan Pengelolaan Sumber Daya Hutan dan Pemanfaatan Mekanisme Pembayaran Layanan Ekosistem di Hutan Adat. Panduan, 1–82. http://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2017/01/Buku-Panduan-PSDH-PES-AMAN-2015.pdf

Sawaki, S., Hendri, & Moeljono, S. (2020). Deforestasi di Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat. Igya Ser Hanjop: Jurnal Pembangunan Berkelanjutan, 2(1), 1–10. https://doi.org/10.47039/ish.2.2020.1-10

Sugiyono, D. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan.

Utama, A., & Peranan, J. B. N. I. (2024). Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk food estate di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah.’ Www.Bbc.Com/Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c7041rkven1o

Wambrauw, M., Ohee, K., & Anastasia, A. (2022). Analysis of the Impact of the Forest Crisis on Merauke Women in the Perspective of Ecofeminism. Jurnal Perempuan Dan Anak, 5(2), 104–130. https://doi.org/10.22219/jpa.v5i2.22152

wikipedia.org. (2021). Deforestasi. Wikipedia.Org. https://id.wikipedia.org/wiki/Deforestasi

Wirawan, B. A., & Amrifo, V. (2020). DEFORESTASI DAN KETAHANAN SOSIAL. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 22(3). https://doi.org/10.14203/jmb.v22i3.1059

Zairin. (2017). Dosen Pendidikan Geografi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNIHAZ Bengkulu. 4.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses