Kemajuan teknologi finansial (fintech) dalam beberapa tahun terakhir telah merevolusi cara masyarakat mengakses layanan keuangan. Mulai dari pembayaran digital, pinjaman daring, hingga investasi berbasis aplikasi, semuanya kini berada dalam genggaman. Namun, di balik kemudahan itu, tersimpan potensi bahaya yang tidak bisa disepelekan: praktik pencucian uang yang makin canggih dan sulit dideteksi.
Fintech: Antara Inovasi dan Celah Kejahatan
Fintech pada dasarnya memadukan teknologi dengan layanan keuangan agar lebih efisien, inklusif, dan cepat. Namun, karakter transaksi digital yang tanpa tatap muka, lintas batas negara, dan seringkali anonim, telah membuka ruang baru bagi pelaku kejahatan untuk menyamarkan asal-usul dana hasil kejahatan (Raharjo, 2021; Hanafi, 2021).(Couchoro et al., 2021; Hanafi, 2021)
Berdasarkan laporan Tipologi Pencucian Uang (PPATK, 2017), pelaku kerap menggunakan berbagai modus seperti pemecahan transaksi (structuring), penggunaan nama pihak ketiga, hingga konversi dana ke dalam bentuk aset digital atau valuta asing. Bahkan, dalam beberapa kasus, uang hasil kejahatan digunakan untuk kegiatan sah agar terlihat legal, seperti investasi properti, pinjaman ke pihak lain, atau pembelian polis asuransi.
Ketika Regulasi Tak Mampu Mengejar Teknologi
Sebetulnya, Indonesia tidak kekurangan perangkat hukum. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 secara tegas mengatur ancaman pidana pencucian uang, termasuk sanksi penjara hingga 20 tahun (UU No. 8 Tahun 2010, Pasal 3). Selain itu, OJK melalui POJK No. 77 Tahun 2016 telah mengatur penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dengan mewajibkan badan hukum dan ketentuan modal tertentu.
Namun, sayangnya regulasi ini belum sepenuhnya mampu menjawab kompleksitas fintech modern. Banyak platform masih belum terdaftar, dan verifikasi pengguna belum berjalan maksimal. Akibatnya, pelaku dengan mudah memanfaatkan celah untuk menempatkan dana hasil kejahatan dalam sistem keuangan formal.
Baca Juga: Integrasi IoT dan Green Fintech untuk Mewujudkan Smart Cities yang Ramah Lingkungan
Perspektif KUHP dan Tanggung Jawab Negara
KUHP terbaru (UU No. 1 Tahun 2023) menekankan bahwa hukum pidana tidak hanya bertujuan menghukum, tetapi juga mencegah dan melindungi kepentingan masyarakat secara berimbang. Pasal 12 KUHP menegaskan bahwa setiap tindak pidana adalah perbuatan melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar yang sah (UU No. 1 Tahun 2023, Pasal 12). Ini memperkuat posisi negara untuk bertindak lebih aktif dalam mengatasi penyalahgunaan fintech.
Lebih jauh, UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) yang mendorong digitalisasi layanan publik dan sektor keuangan justru membawa tantangan baru dalam pengawasan. Ketika percepatan digital tidak dibarengi sistem verifikasi dan pengawasan yang kuat, maka inovasi bisa berubah menjadi alat kejahatan.
Literasi Hukum sebagai Tembok Pertahanan Awal
Penting dipahami bahwa masyarakat bukan hanya sasaran, tetapi juga bagian dari solusi. Tingkat literasi hukum dan keuangan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, terutama di kalangan pengguna muda yang menjadi target utama layanan fintech. Padahal, literasi hukum yang baik dapat menjadi “early warning system” bagi masyarakat untuk mengenali potensi penipuan atau skema pencucian uang.
Baca Juga: Tantangan dan Harapan dalam Mengatasi Homeless dengan Dana Syariah (Fintech Syariah)
Sebagaimana (Wantu, 2015), fungsi hukum tidak akan efektif bila tidak dipahami dan dijalankan oleh masyarakat. Hukum yang ideal adalah hukum yang hidup (living law), bukan sekadar norma tertulis. Artinya, upaya penegakan hukum harus didahului dengan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri.
Bukan Tanggung Jawab Penegak Hukum Saja
Tanggung jawab memerangi pencucian uang tidak bisa dibebankan hanya kepada PPATK, OJK, atau aparat penegak hukum. Dunia pendidikan harus turut andil membentuk pemahaman hukum sejak dini. Selain itu, platform fintech juga harus bersikap kooperatif, tidak sekadar mengejar pasar tetapi juga membangun sistem yang aman, transparan, dan patuh hukum.
Diperlukan sinergi antar lembaga, kolaborasi lintas sektor, serta pembaruan regulasi yang adaptif dan responsif. Prinsip kehati-hatian, asas kepatuhan, dan asas tanggung jawab hukum harus diinternalisasi dalam semua proses penyelenggaraan layanan keuangan berbasis teknologi (UU No. 1 Tahun 2023, Pasal 5–8).
Baca Juga: Fintech: Bank Jadi Merana?
Penutup: Inovasi yang Diawasi adalah Inovasi yang Aman
Fintech bukan musuh. Ia adalah wujud kemajuan zaman, tetapi ketika teknologi keuangan digunakan sebagai sarana pencucian uang, negara dan masyarakat tidak boleh tinggal diam. Hukum harus berjalan secepat inovasi. Literasi harus setara dengan kecepatan klik dalam aplikasi. Dan kesadaran hukum harus sekuat algoritma yang menopang transaksi digital.
Karena inovasi yang tidak dikawal hanya akan melahirkan kemudahan bagi mereka yang berniat jahat. Dan di tengah gempuran teknologi, tameng terbaik kita tetap satu: hukum yang hidup di tengah masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya.
Penulis: Jihan Salsabila Rafidah Manik
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi:
Hanafi, S.Kom., M.Eng., Ph.D. (2021). Dasar-Dasar Fintech: Financial Technology. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Raharjo, B. (2021). Fintech: Teknologi Finansial Perbankan Digital. Semarang: YPAT.
UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ikuti berita terbaru di Google News