Pendahuluan
Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik pekataan, perbuatan, maupun ketetapan, hadits memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut mayoritas umat Islam memandang hadits sebagai salah satu sumber pengetahuan keagamaan yang penting dan dipahami sebagai sumber normatif kedua setelah Al-Qur’an.
Dalam rangka menjelaskan urgensitas ini, terdapat sebuah adagium terkenal, yaitu “al-Qur’an lebih membutuhkan hadis daripada hadis yang membutuhkan al-Qur’an”. Maknanya, al-Qur’an tidak dapat ditafsirkan jikalau tidak dibarengi dengan hadis. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada hadis, atau dengan kata lain, hadis dapat menjelaskan dirinya sendiri.
Baca juga: Mengenal Pentingnya Mempelajari Ulumul Hadis
Hadits di Era Modern
Mengenai hadits di era modern, jika kita telaah secara seksama tentang perkembangan kajian terhadap hadits Nabi, maka kita akan menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan muslim.
Abad kesembilan belas merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam, baik untuk mengakomodasi nilai-nilai barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam.
Desakan untuk dilakukannya reformasi pada gilirannya menghasilkan tekanan untuk mengkaji kembali fondasi esensial kewenangan agama dalam islam. Hal inilah yang menjadi keprihatinan mengenai hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang pada perkembangannya menjadi titik pusat dalam proses pengkajian kembali hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut.
Di wilayah Indo-Pakistan pada abad ke-19, berkembang golongan ahl al-Hadis, yang mempunyai hubungan langsung dengan Syah Waliyullah al-Dihlawi. Sebagaimana al-Dihlawi, ide sentral mereka adalah untuk mengadakan gerakan purifikasi dan menegakkan kembali budaya ijtihad. Namun sayangnya, dalam bidang hadis, ahl al-Hadis ini menyimpang dari doktrin moderat al-Dihlawi dan malah menyamai gagasan tekstualis paling ekstrem dalam dunia Islam, yakni aliran Dzahiriyah.
Bagi mereka, hanya dengan sunnah yang direpresentasikan dengan hadis sahih lah, kemurnian warisan Nabi dapat terpelihara. Otoritas hadis yang banyak dijunjung tinggi oleh ahl al-Hadis bukan tanpa tantangan.
Dalam pandangan Brown, tantangan besar pertama bagi sunnah pada periode modern datang dari modernis besar India, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) yang pada akhirnya menolak hampir keseluruhan hadis Nabi dan dianggap tidak dapat dipercaya.
Baca juga: Pentingnya Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual
Bagi Khan, hadis yang dapat diterima hanya yang berpredikat mutawātir, yang ditemukan olehnya hanya berjumlah lima buah. Sekitar masa yang sama, di Mesir muncul pula Muhammad Abduh yang skeptis pada otentisitas hadis.
Sebagaimana Khan, Abduh memandang hanya hadis-hadis mutawātir saja yang mengikat. Puncak penolakan hadis terjadi pada era setelah Khan dan Abduh yang ditandai dengan munculnya ahl al-Qur’an sebagai gerakan oposisi ahl al-Hadis. Gerakan ini terbentuk di Punjab pada awal abad kedua puluh. Aktifitas ahl al-Qur’an terkonsentrasi pada dua pusat penting ahl al-Hadis di Punjab Barat, yaitu di Lahore dan Amritsar.
Pada kota pertama, gerakan ahl al-Qur’an dipimpin oleh Abdullah Chakralawi (w. 1930), sedangkan di kota kedua didirikan oleh Khwaja Ahmad Din Amritsari (w. 1936). Dalam pandangan ahlal-Qur’an, kemalangan umat Islam disebabkan oleh hadis.
Mereka juga berpendapat bahwa Islam yang murni hanya dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Ada pula Taufiq Sidqi di Mesir dalam artikel kontroversialnya yang terbit di majalah al-Mannar“al-Islam huwaal-Qur’an wahdah”, yang memperkenalkan gagasan yang hamper serupa.
Baca juga: Apa itu Hadist?
Penutup
Dengan demikian, Sunnah/hadis Nabi dalam kontek modernitas akan ditentukan oleh bagaimana cara ummat Islam memperlakukan sunnah, apakah dengan menggunakannya secara selektif, menolaknya atau menafsirkannya kembali (reinterpretasi), esensial bagi kaum Muslim untuk menyesuaikan diri dengan perubahan situasi sosial yang ada.
Dan ini semua pada dasarnya dalam kerangka mewujudkan Islam universal yang rahmatan lil ‘alamin dan juga Islam yang selalu selaras dengan situasi dan kondisi kapanpun dan di manapun kita berada (shalih likulli zama n wa makan).
Penulis: Hakam Adilla Subhan
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang