Ketika berbicara mengenai pergerakan kaum muda di Indonesia, tentu ingatan kita sebagai bangsa yang tidak melupakan sejarahnya akan tertuju pada suatu peristiwa fenomenal, yaitu aksi “Soempah Pemoeda” pada 28 Oktober 1928. Dua dekade sebelum itu, pemuda-pemuda terpelajar membangun sebuah organisasi “Boedi Oetomo” sebagai wadah untuk membangun pergerakan, perjuangan, dan perlawanan untuk menghadapi kolonialisme Belanda.
Ini artinya, kesadaran akan cinta terhadap bangsa dan tanah air sudah ada sejak masa pra-kemerdekaan bangsa. Semangat golongan muda dahulu dalam memrebut kemerdekaan di tangan penjajah adalah warisan yang sangat berharga dan patut untuk diteruskan. Terbukti pada tahun 1945, Indonesia akhirnya memproklamirkan diri sebagai bangsa yang bebas merdeka, bangsa yang berdaulat setelah beberapa abad mendapatkan nasib pahit karena ketertindasan.
Pasca Indonesia merdeka, dinamika kepemudaan selalu mewarnai perjalanan sejarah bangsa. Pemuda, baik yang berlatarbelakang intelektual, ulama, dan militer semua mempunyai peran masing-masing untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dinamika kepemudaan itu salah satunya ditandai oleh kelahiran organisasi mahasiswa yang dipelopori oleh pemuda perantau dari Padang Sidempuan, dia adalah Lafran Pane. Pada tanggal 5 Februari 1947, bertepatan pada tanggal 14 Rabbiul Awal 1366 Hijriah, berlokasi di Sekolah Tinggi Islam (STI), Lafran Pane dan kawan-kawan bersepakat untuk mendirikan organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Melihat kondisi umat dan bangsa yang masih rentan terhadap konflik yang datang dari luar maupun yang timbul dari dalam, maka oleh Lafran Pane beserta pendiri lainnya, memprakarsai HMI dengan dua tujuan awal. Pertama, Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Terlibat Benturan Fisik dan Ideologi
Ibarat tunas pohon yang baru tumbuh keluar dari dalam tanah, HMI langsung diterpa oleh angin kencang. Tekanan dan ancaman bertubi-tubi menerjang tunas muda harapan bangsa ini. Saat Agresi Militer Belanda dilancarkan tahun 1947, tidak segan-segan para kader HMI ikut terlibat perang bersenjata untuk melawan kedatangan kembali imperialisme Belanda.
Selain itu, untuk menghadapi pemberontakan Madiun 18 September 1948, Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), ikut membantu pemerintah menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, dengan mengarahkan anggota CM pergi ke gunung-gunung, untuk memperkuat aparat pemerintah. Kemumgkinan sejak kejadian itulah PKI menyimpan api dendam kepada HMI. Benturan kedua organisasi ini akhirnya meletus pada dekade 1960-an.
“Anak-anak CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) lebih baik pakai sarung saja kalau tidak bisa membubarkan HMI!” begitulah ungkapan kekesalan Ketua Umum PKI D.N. Aidit, saat memberi sambutan acara Kongres CGMI di Istora Senayan. Provokasi dan agitasi CGMI (onderbow PKI) terus mendesak pemerinthan Sukarno agar HMI segera dibubarkan karena dianggap kontra revolusi, dituduh anak partai terlararang Masyumi, dan anti Manipol Usdek.
Namun, slogan PKI yang massif disuarakan “Ganjang HMI” dan menuntut pemerintah untuk membubarkan HMI adalah usaha yang tidak membuahkan hasil. Ketetapan Hati Bung Karno untuk tidak membubarkan HMI tidak bisa diintervensi oleh PKI sekalipun. Karena menurutnya, HMI bukanlah organisasi yang kontra revolusi. Bahkan Presiden Sukarno memberikan support kepada HMI dengan mengatakan “Go Ahead HMI”.
Tantangan begitu dahsyat langsung menimpa HMI pada awal mula kiprah perjalanannya. Tuduhan dan fitnah menggema di seantero Indonesia. Banyak organisasi yang berhaluan Marxis-Komunis saat itu sangat murka karena khadiran HMI yang jelas-jelas bertentangan dengan pemahaman ideologi mereka. Di fase-fase seperti itulah HMI tumbuh dan terus mengukir sejarah perjuangannya. Posisi HMI mulai diperhitungkan karena telah menorehkan andilnya untuk bangsa Indonesia.
Mutiara Keislman dan Keindonesiaan
Keberadaan HMI di bumi Indonesia perlahan-lahan disambut baik oleh segenap kalangan terutama mahasiswa. Kelahiran HMI adalah suatu kegemberiaan bagi mahasiswa Islam. Karena sebelum itu, dunia keorganisasian mahasiswa Indonesia masih didonimasi oleh organisasi berwajah nasionalis, sosialis, komunis, dan lain-lain. Dalam artian, HMI adalah organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia. Walau organisasi Islam, tetapi ke-Islaman HMI bukanlah Islam fundamentalis, radikal, dan ekstremis seperti beberapa organisasi Islam saat itu. Sikap keterbukaan kepada yang berbeda, cara berfikir universal, Islam yang selalu tersenyum dengan siapa pun, Islam yang kritis terhadap zamannya, adalah ciri ke-Islaman HMI.
Cita-cita ke-Islaman HMI yang luas sesungguhnya berakar dari rasa cinta terhadap keadaan umat Islam Indonesia dan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia ketika itu terbelenggu oleh budaya dan pemikiran yang eksklusif atau tetrtutup terhadap perbedaan. Melanggengkan tradisi-tardisi lama, menolak pembaruan dan alergi terhadap modernisasi adalah salah satu faktor kenapa masyarakat Indonesia dahulu sulit mendapatkan kemajuan hidup yang signifikan. Oleh karena itu, HMI dengan gagasan pemikirannya berupaya untuk menstimulus kesadaran masyarakat Indonesia agar keluar dari kemapanannya (status quo) yang terus menjangkiti masyarakat Indonesia.
Jika ada orang yang beranggapan bahwa HMI menolak nasionalisme, anti Pancasila, anti pluralisme dan pelabelan-pelabelan negatif lainnya, maka itu adalah suatu pandangan yang keliru dan jauh dari kenyataan aslinya. Ke-Islaman HMI tidaklah menolak nilai ke-Indonesiaan. Antara ke-Islaman dan ke-Indonesiaan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan oleh apa pun. Islam yang Rahmatan Lil Alamin adalah dasar dari wacana ke-Islaman HMI. Oleh karena itu, HMI melihat Indonesia sebagai suatu karunia dari Tuhan karena kemajemukan masyarakatnya. Mungkin karena faktor-faktor demikianlah kenapa HMI masih bertahan sampai pada hari ini. Eksistensi HMI tidak pernah mati sejak awal berdirinya hingga sekarang masih setia menemani jalan panjang Indonesia.
Dalam penjelasan Agussalim Sitompul, yang dimaksud dengan pemikiran ke-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI adalah: Terintegrasinya antara pemikiran ke-Islaman dan ke-Indonesiaan di atas titik temu Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangasa dan bernegara yang harmonis. Tidak terdapat kesenjangan antara keIslaman-keIndonesiaan, antara Islam dengan Pancasila, selaras dengan realitas sosial budaya bangsa Indonesia dengan ciri utama, pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan. Corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan HMI sebagai ideologi HMI, sehingga dapat menampilkan Islam bercorak khas Indonesia. Pemikiran itu mampu melakukan perubahan, sesuai dengan tuntutan kontemporer menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
Menjadi suatu bahan refleksi bagi kader HMI bahwa organisasi yang lahir tujuh puluh dua tahun silam ini dibangun dengan landasan pemikiran yang kokoh dan relevan terhadap tantangan zamannya. Pemikiran keIslaman-keIndoesian HMI adalah hasil dari penggalian mendalam dari dasar lautan, pergolakan pikiran, dan hasil dari renungan kolektif para tokoh-tokoh HMI. Identitas pemikiran HMI mendapatkan mutiaranya ketika muncul salah satu cendikiawan muda yang meletakkan fondasi pemikiran HMI dengan sistematis, tentu saja kita mengenalnya, dialah Nurcholish Madjid (Cak Nur). Berkat ijtihad Cak Nur dan beberapa kawannya di PB HMI, tercetuslah sebuah rumusan ideologi HMI yang sampai sekarang ini menjadi materi wajib dalam proses training-training di HMI, yaitu gagasan Nilai Dasar Perjuangan (NDP).
Anak-anak Umat dan Bangsa
Saat Orde Lama digeser oleh Orde Baru. Lalu Orde Baru mangkat karena gelombang protes masyarakat kepada rezim otoriterianisme Soeharto, munculah suatu ide reformasi dari masyarakat sipil (civil society) yang dimobilisir oleh mahasiswa.
Demonstrasi demi demonstrasi digalakkan, keresahan rakyat sudah memuncak karena Indonesia mengalami krisis moneter, inflasi besar, juga banjir praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dari rezim totaliter Orde Baru. Gerakan mahasiswa itu akhirnya membawa hasil yang menggemparkan Indonesia. Titik kilimaksnya, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia.
Bagaimana kondisi Indonesia pasca Reformasi? Apakah jauh lebih baik kala dilakukannya reformasi sistem dan tatanan sosial? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini perlu dikaji dan ditelaah secara komprehensif oleh kita sebagai bangsa.
Cita-cita reformasi yang digaungkan para pejuang-pejuang kita dahulu belum dirasakan dampaknya secara utuh oleh masyarakat Indonesia. Realitas yang tampak pada hari ini adalah korupsi semakin menjalar, demokrasi terasa dipasung, kriminalitas di mana-mana, dan yang paling penting adalah tajamnya kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.
Lalu di mana peran HMI sebagai organisasi yang dharma baktinya untuk umat dan bangsa? Masihkah HMI mengorbankan dirinya untuk kepentingan bangsa Indonesia? Jika ditinjau dari tujuannya, “Lima Kualitas Insan Cita: Terbinanya insan akademis, Pencipta, Pengabdi, Yang bernafaskan Islam, dan Bertanggung jawab atas terwujud masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.”, HMI memiliki suatu misi yang proyeksinya mencetak generasi-generasi unggul. Status HMI sebagai organisasi kader menemui keberhasilannya ketika rahim HMI melahirkan anak-anak umat dan bangsa yang berkualitas dalam bidangnya. Sebut saja, Cak Nur, Dawam Raharjo, Deliar Noer, Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Mahfud Md, Abdullah Hemahuha, Yusril Ihza Mahendra, Munir Said Thalib, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh HMI yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
Namun, dibalik keberhasilan HMI mencetak anak-anak hebat bangsa, ternyata kita harus mengauki bahwa HMI mempunyai problem besar yang belum terselesaikan. Contoh riilnya adalah, HMI terlalu sibuk dengan konflik internal, perebutan kekuasaan, dualisme, dan polarisasi. Itu semua tidak hanya terjadi di tingkat PB HMI, pada tingkat Badko (Badan Koordinasi), Cabang, hingga Komisariat tervirusi oleh tindakan-tindakan yang mencoreng nama baik himpunan. Alhasil, kader-kader HMI orientasi pemikirannya akan cenderung pragmatis karena yang diributkan adalah jabatan dan kekuasaan, siapa yang paling besar gerbong, memilih bergabung ke Don A atau Don B. Dampaknya, kader HMI melupakan arah perjuangannya, perbuatan dan pikirannya tidak lagi mengejawantahkan tuntunan misi HMI.
Kelemahan itu menjadi sebuah kritik kepada HMI kekinian. HMI harus kembali menjadi pilar semangat persatuan, persaudaraan dan persahabatan di bangsa Indonesia. Generasi HMI saat ini harus mampu menciptakan sejarahnya sendiri, dan menjadi penggerak pembaruan serta perubahan dalam rangka membangun peradaban Indonesia emas. Hentikan segala omong kosong yang cuma-cuma, hentikan keterlenaan kita pada kejayaan masa lalu, karena sudah saatnya kita berbuat sendiri, generasi muda HMI saatnya mengisi posisi-posisi strategis, dan mampu melihat peluang kedepan. Semangat HMI yang dikenal berfikir visioner dan progresif sesuai dengan zamannya harus dihidupkan kembali dari mati surinya.
Penulis tentu memiliki sudut pandang dalam menilai perkembangan HMI kontemporer. Jebolan-jebolan atau alumni HMI dewasa ini lebih condong terjun pada dunia politik, jurnalistik, praktisi, dan akademisi. Masih jarang jebolan HMI yang bergerak pada bidang entrepreneur atau dunia bisnis. Asing di telinga kita mendengar bahwa ada kader atau alumni HMI yang ahli teknologi atau ilmuwan-ilmuwan yang menciptakan karya-karya unik, inovatif dan kreatif. HMI kedepan. Dengan tuntutan persaingan zaman seperti masa kini, harus mampu mengorbitkan anak-anak umat dan bangsa yang mahir dalam aspek sains dan teknologi. Misalnya, kader HMI menjadi ahli robotik, ahli teknologi informasi dan komunikasi. Kader HMI di hari esok bisa menggagas pembuatan alat-alat transportasi, seperti merancang pembuatan pesawat, kapal mesin, mobil, dan lain-lain.
Jalan lain yang bisa ditempuh oleh HMI untuk mengakselerasi 5 Kualitas Insan Cita adalah dengan cara HMI mendirikan sekolah perguruan tinggi, dan rumah sakit sebagai bentuk pengabdiannya kepada umat dan bangsa. Di kemudian hari ada Universitas HMI, dan Rumah Sakit HMI. Tugas kita belum selesai wahai anak-anak umat dan bangsa. Yang pasti HMI merupakan mata air bangsa. Tujuh puluh dua tahun riwayatnya menjaga Indonesia.
Dwi Alam Ananami Putra
Ketua Umum HMI Komisariat Lafran Pane Universitas Mataram
Baca juga:
Mengusung Visi Civilized organisation; Afraval Terpilih Sebagai Formateur HMI Yogyakarta
PB HMI Sesalkan Pengrusakan Sekretariatnya
Badko HMI Sulselbar Disusupi Kepentingan Politik Pilgub Sulsel?