Ilmu Al-Jarhu wa Al-Ta’dil

Ilmu Al-Jarhu wa Al-Ta’dil

Definisi dan Objek Kajian Ilmu Al-Jarhu wa Al-Ta’dil

Berbicara mengenai hadis Nabi tentu tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang sanad. Selain itu, juga tidak bisa lepas dari pembicaraan matan.

Sanad yang bermasalah, biasanya secara otomatis menyebabkan hadis itu dianggap bermasalah. Meskipun sanad yang tidak bermasalah, tidak berarti bahwa matannya tidak bermasalah.

Hal ini menunjukkan bahwa, persoalan sanad merupakan persoalan yang sangat penting dalam Studi Hadis. Kita dapat melihat bagaimana ulama dari zaman dahulu itu memberikan perhatian yang sangat besar terkait sanad-sanad hadis Nabi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Melalui sanad kita dapat mengetahui, apakah hadis yang diriwayatkan itu bersambung dari orang pertama hingga orang yang paling akhir menerima atau tidak. Dari sanad pula, kita bisa melihat apakah perawi hadis yang ada di dalam sanad itu bisa diterima periwayatannya atau tidak.

Baca juga: Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

Dalam hal ini, mayoritas ulama baik dari hadis maupun fiqh menyepakati bahwa periwayatan seorang perawi hadis bisa diterima apabila perawi itu memiliki 2 syarat utama:

1. Adil

Adil maksudnya adalah perawi itu harus muslim, dewasa/baligh, berakal, tidak melakukan prilaku yang menyebabkan dia menjadi pribadi yang fasiq, dan juga dia menjaga murru’ahnya dengan baik. Dengan demikian, kita harus membedakan adil dalam bahasa Indonesia kita dengan adil dalam konsep hadis Nabi.

2. Kedhobitan

Kedhobitan yaitu perawi itu dalam sistem periwayatan hadisnya tidak bertentangan, tidak menyalahi orang-orang yang jelas-jelas terpercaya, dia juga tidak boleh memiliki hafalan yang buruk, tidak terlalu fatal melakukan kekeliruan, bukan pelupa, juga hadis-hadisnya atau periwayatannya tidak menimbulkan hal-hal yang justru menciderai.

Apabila seorang perawi hadis memenuhi setidaknya dua kriteria ini, berarti periwayatannya dapat diterima. Tapi sekali lagi, ini hanyalah salah satu persyaratan dari persyaratan-persyaratan lain yang harus terpenuhi agar sebuah hadis dapat disebut hadis shohih.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana? Indikator apa yang kemudian bisa dijadikan tolak ukur bahwa seorang perawi itu memiliki sikap adil? 

Maka dalam hal ini salah satu indikatornya adalah harus ada penegasan dari ulama yang memang kompeten dalam bidang itu. Bahwa si A, si B atau si C memang seorang perawi yang adil. Ulamanya bisa dua atau bahkan boleh seorang diri.

Indikator yang kedua adalah orang tersebut harus memang sudah terkenal dalam sejarahnya bahwa dia seorang yang adil. Misalnya, seperti imam-imam yang 4 imam Syafi’i, imam Ahmad bin Hanbal, imam Malik bin Anas, imam Abu Hanifah juga Sufyan as-Sauri, Sufyan bin Uyyaynah, Al-Awza‘i, dll.

Meskipun tentu saja, 2 indikator yang sudah kita sebutkan ini tidak semua ulama menyepakati. Artinya memang ada sosok-sosok tertentu yang memberikan indikator tertentu.

Berikutnya bagaimana kedhobitan seorang rawi itu dapat diukur? Kedhobitan seorang rawi diukur dari apakah periwayatannya sesuai dengan periwayatan perawi yang jelas-jelas fiqoh atau tidak? Kalau secara umum memang periwayatannya sesuai, tidak bertentangan dengan perawi yang jelas-jelas fiqoh, maka orang ini disebut dhobit.

Tetapi kalau ternyata periwayatan yang dilakukan, diberikan, diceritakan oleh orang ini justru sebagian besarnya menyalahi para perawi yang jelas-jelas fiqoh, maka orang ini dianggap tidak dhobit.

Konsekuensinya adalah hadis yang diriwayatkan melalui orang ini atau perawi ini tidak bisa dijadikan pijakan. Maka kesimpulannya, apa yang disebut dengan Ilmu Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil dapat kita sederhanakan menjadi sebuah ilmu yang mencoba mempelajari para perawi hadis dari aspek kedhobitan dan keadilannya yang nanti berimbas apakah periwayatan dari perawi ini dapat diterima ataukah harus ditolak.

Baca juga: Telaah Jarh wa Ta’dil Hadis Riwayat Muslim No. 2575 dalam Meme

Sejarah Penerapan Ilmu Al-Jarhu wa Al-Ta’dil

Seperti yang sudah dipaparkan Ilmu Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil adalah sebuah keilmuan yang mencoba untuk menelisik perawi hadis Nabi dari aspek keadilan dan kedhobitannya sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa perawi itu bisa diterima atau malah harus ditolak.

Pada dasarnya, kita bisa menemukan dalam ayat al-Qur’an maupun hadis adanya pujian terhadap orang tertentu dan kelompok tertentu. Demikian adanya celaan kepada orang dan kelompok tertentu.

Hal ini berarti bahwa, penerapan dari Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil itu sudah ada sejak masa awal Islam, sejak Nabi masih hidup. Tetapi kemudian, seiring berjalannya waktu kita bisa menemukan kenyataan bahwa banyak sekali karya-karya yang ditulis berkenaan dengan Al-Jarhu wa Al-Ta’dil Pada masa sahabat Nabi, terutama pasca wafatnya khalifah Utsman bin Affan penerapan dari Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil atau kritik hadis itu sendiri semakin digalakkan.

Sejarah juga membuktikan bahwa ada kelompok-kelompok tertentu, ada sosok-sosok tertentu yang bahkan berani memalsukan hadis karena tujuan-tujuan tertentu. Kita bisa bayangkan kalau seandainya, ulama hadis di masa itu tidak tergerak untuk melakukan kritik hadis dengan menerapkan Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil.

Sekali lagi, secara embrio Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil sudah ada pada masa Nabi yang terus berkembang, semakin berkembang dan terus semakin digalakkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Hanya saja, kita tidak dapat menemukan secara pasti kapan keilmuan ini mulai dicatat dan dibukukan dengan baik.

Di samping itu, ada pertanyaan yang sempat muncul di masalalu, yaitu bukankah kita dilarang untuk mencari-cari keburukan sesama kita?

Dalam hal ini bukankah kita dilarang menghibah sesama muslim? Maka para ulama mencoba untuk memberikan penjelasan-penjelasan bahwa penilaian negatif terhadap perawi hadis itu berbeda dengan ghibah yang memang dilarang.

Orientasi dari ghibah jelas berbeda dengan Al-Jarhu, ghibah itu mencari-cari kesalahan orang dan sama sekali tidak ada unsur kebaikan apalagi yang bersifat agama.

Hal ini berbeda dengan Al-Jarhu atau aplikasi dari tarjih. Kalau dalam Al-Jarhu jelas, kita bisa menemukan penilaian negatif kejujuran seseorang bahwa perawi tertentu ini memiliki sisi negatif yang dapat memerangi kredibilitas dalam hadis malah wajib dilakukan.

Karena kalau tidak, imbasnya justru lebih besar karena ini menyangkut agama. Kembali pada persoalan sejarah, penulisan dari Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil belum ada kepastian siapakah yang pertama kali memulai penulisan dari Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil.

Tetapi seperti yang sudah disebutkan, praktiknya sudah pernah dilakukan oleh Nabi, oleh para sahabat, oleh tabi’in dan generasi setelah mereka. Bahwa terdapat Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan As-Sauri, Malik bin Anas dan generasi setelah mereka seperti Yahya Al-Qothan, Abdurrahman bin Mahdi, dll yang merupakan kritikus hadis Nabi termasuk kritikus terhadap perawi-perawi hadis.

Penulis: Akramunisa M. Putri
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI