OPM pada awalnya merupakan gerakan kelompok nasionalis Papua yang kontra terhadap integrasi Papua ke dalam NKRI. Aksi kelompok ini meledak pertama kali pada 26 Juli 1965.
Gerakan pemberontakan ini ternyata menjalar dengan cepat diawali dari Manokwari diikuti oleh Biak Numfor, Sorong, Paniai, Fakfak, Japen-Waropen, Merauke, Jayawijaya, dan Jayapura yang mana semua daerah di Irian Barat waktu itu.
Eksistensi OPM berhasil menarik perhatian dunia internasional lewat berbagai aksi baik di dalam maupun di luar negeri yang lebih dikenal dengan istilah “Internasionalisasi Papua” ini memang terlihat lebih signifikan pada beberapa dekade terakhir terhitung pada 2014 lalu.
Aksi tuntutan memisahkan diri dari NKRI oleh gerakan separatis OPM mulai tercium kembali sejak rezim Soeharto, terus berlanjut pada rezim Habibie walaupun pada rezim SBY tak begitu gencar namun sejatinya gencatan senjata terus dilakukan, dibarengi dengan beberapa kali pergantian pimpinan, jelas masih dengan tujuan yang sama yakni ingin memisahkan diri dari NKRI.
Padahal secara de jure Papua merupakan bagian sah dari NKRI semenjak Act of Free Choise (PEPERA) yang dilakukan dibawah pengawasan UNTEA tahun 1963 merujuk pada The New York Agreement.
Gelagat kelompok separatis OPM yang dipimpin oleh Egiaunus Kogoya bersama dengan kelompoknya kembali manarik perhatian internasional dengan secara sengaja menyandera seorang pilot asal Selandia Baru Kapten Philips Mark Mehrtens.
Kasus penyanderaan seperti ini bukan pertama kali terjadi, seperti tidak pernah ragu dalam melakukan aksinya, pesawat Susi Air dengan nomor registrasi PK-BVY yang diterbangkan oleh pilot berkebangsaan Selandia Baru itu dibakar saat mendarat di Bandara Paro, Nduga, Provinsi Papua Pegunungan.
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) Sebby Sambom, Dalam pernyataan tertulisnya mengatakan pilot berkebangsaan Selandia Baru bernama Philips Mark Marthens tidak akan dilepaskan sampai Selandia Baru dan negara-negara lain bertanggung jawab.
Baca Juga: BEM UI vs TNI: Konflik Papua dan Kompleksitas Hak Asasi Manusia
Ia menyebut Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Eropa, harus bertanggung jawab karena telah mengirim senjata dan melatih TNI-Polri melawan warga Papua. Alibi yang dibangun OPM adalah dengan menuduh negara-negara tersebut sebagai alasan aksi mereka.
Menanggapi permasalahan ini pemerintah mengambil langkah eksplisit yaitu dengan mengadakan rapat terbatas tentu untuk mengupayakan proses pembebasan sandera yang diharapkan bisa segera terlaksana tanpa harus melalui gencatan senjata yaitu dengan negosiasi.
Upaya pemerintah untuk meredam konflik agar tidak tercium ke ranah internasional adalah dengan melakukan kunjungan kerja ke Australia dan PNG untuk mengamankan keadaan tetap kondusif sembari pemerintah terus melakukan negosiasi dengan OPM dibantu dengan beberapa pihak yaitu pejabat lokal Papua, tokoh gereja, dan tokoh masyarakat setempat.
Penyanderaan terhadap Kapten Philip Mark Merhtens ini kemudian memfatwakan kembali peristiwa besar yang pernah yaitu peristiwa Mapenduma. Peristiwa Mapenduma 1996 ini berawal dari aksi penyanderaan terhadap 24 orang peneliti Tim Lorenz yang berasal dari Belanda, Jerman, Inggris dan Indonesia.
Kelompok penyandera di bawah Pimpinan Daniel Y. Kogoya dan Kelly Kwalik. Penyanderaan berlangsung hampir 5 bulan. Selama itu aparat keamanan telah menempuh jalan negosiasi melalui perantaraan gereja dan palang merah atau ICRI.
Kegagalan dalam proses negosiasi untuk mencari jalan damai ini berujung pada operasi militer yang memakan banyak korban sehingga pada masa itu Indonesia dikecam karena telah melakukan pelanggaran HAM berat.
Baca Juga: Otonomi Khusus di Papua
Menurut catatan KOMNAS HAM setidaknya dalam operasi ini 14 masyarakat sipil mati tertembak dan 28 rumah masyarakat habis terbakar di dalamnya termasuk poliklinik Nggeselema.
Ketakutan akan kegagalan negosiasi yang pernah terjadi pada peristiwa Mapenduma menjadi tolak ukur terhadap negara dalam mengambil langkah tepat dan terukur dalam menyelesaikan kasus penyanderaan Kapten Philip Mark Merhtens.
Peristiwa Mapenduma kemudian menjadi Sejarah kelam pemerintah Indonesia karena negara teridentifikasi melakukan pelanggaran HAM berat sehingga menjadi sorotan dunia pada masa itu.
Upaya pemerintah dengan tidak melibatkan pihak luar dalam misi pembebasan sandera terbilang sangat efektif sekaligus memberi ruang kepada negara untuk lebih leluasa dalam proses negosiasi dengan OPM.
Proses tertutup ini juga walaupun terlihat belum membuahkan hasil namun sejatinya negara telah berusaha keras salah satunya dengan melibatkan tokoh masyarakat menjadi mediator dalam proses ini.
Berbeda dengan peristiwa Mapenduma yang mana operasi militer pada masa itu yang dianggap menjadi solusi terbaik malah menjadi bumerang bagi negara.
Proses ini diharapkan mampu memberikan hasil yang memuaskan serta dalam keadaan kondusif sehingga citra negara tetap terjaga, tentunya dengan merealisasikan langkah-langkah yang cermat dan terukur. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kasus ini kemudian mulai disorot oleh beberapa media luar asal Selandia Baru.
Berdasarkan uraian yang di atas, merujuk pada anggapan penting bahwasannya masalah negara adalah bagian dari masalah bersama.
Baca Juga: Dampak Deforestasi terhadap Kehidupan Berkelanjutan di Tanah Papua
Mengingat beberapa kasus HAM berat di Papua yang kemudian menjadi sorotan dunia menjadi sangat sensitif apalagi citra negara dipertaruhkan dalam misi penyelamatan sandera Kapten Philip Mark Merhtens yang disandera OPM.
Dalam menelaah kasus penyanderaan oleh kelompok separatis, kontribusi tulisan mampu menyumbang referensi kepada pemerintah dan beberapa pihak seperti tokoh masyarakat dan tokoh gereja bahkan semua pihak sebagai bahan refleksi. Terlebih daripada itu kasus ini tidak dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk kepentingan tertentu.
Terlihat jelas bahwa konflik separatisme dalam kasus penyanderaan ini merefleksikan sebuah peristiwa dengan pertanyaan rumit dan mendalam yang dapat dirumuskan dalam beberapa bagian pertanyaan yaitu apa yang mendasari kelompok separatis OPM melakukan penyanderaan terhadap Pilot berkebangsaan Selandia Baru Kapten Philip Mark Merhtens.
Kemudian mengapa proses pembebasan sandera Kapten Philip Mark Merhtens oleh kelompok separatis OPM sulit diselesaikan dalam kurun waktu singkat dan bagaimana strategi komunikasi tepat yang dapat digunakan dalam proses pembebasan sandera.
Dalam model komunikasi politik ini, Model komunikasi Lasswell bisa sangat relevan diterapkan karena berupa ungkapan-ungkapan verbal yang terdiri dari lima ungkapan yaitu, siapa, mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa dan akibat apa yang akan muncul.
Menurut Lasswell ada tiga fungsi komunikasi, yaitu sebagai pengawasan lingkungan, kedua komunikasi memiliki fungsi sebagai korelasi dari berbagai bagian terpisah dalam masyarakat yang akan merespon lingkungan dan ketiga, komunikasi memiliki fungsi sebagai transmisi warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Baca Juga: Faktor Terkait dengan Kejadian ISPA di Kabupaten Nduga Provinsi Papua
Dalam komunikasi politik, Lasswell berpendapat bahwa ada tiga kelompok spesialis yang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi dari komunikasi tersebut. Seperti pemimpin politik dan diplomat yang termasuk dalam kelompok-kelompok pengawas lingkungan.
Lasswell menjelaskan bahwa model komunikasi politik miliknya menunjukan bahwa pihak komunikator pasti memiliki keinginan untuk dapat memberikan pengaruh kepada penerima. Oleh karena itu, komunikasi politik dipandang sebagai suatu upaya persuasi.
Kemudian upaya penyampaian pesan dalam komunikasi politik tersebut, dapat menghasilkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang muncul dari komunikasi politik pun bergantung pada cara penyampaian dari pemberi pesan.
Hampir setahun lebih berbagai cara telah dilakukan dalam proses negosiasi tapi tetap saja menemui jalan buntu. Namun jika kita lihat proses negosiasi ini dilakukan secara tertutup sehingga dapat kita analisa secara kasar bahwa pemerintah Indonesia mengambil tindakan untuk mencegah memanasnya situasi politik baik di dalam negeri maupun di luar negri.
Hal ini dilakukan dengan lebih mengawasi setiap media yang ada mulai dari media cetak hingga media massa yang meredaksi peristiwa penyanderaan ini. hal ini tentu berkontribusi dalam proses negosiasi yang lebih mudah dilakukan.
Subjek yang saling berkaitan dalam proses pembebasan sandera memiliki keterkaitan politik yang sangat kompleks sehingga proses pembebasan sandera menjadi lebih sulit. Waktu yang tidak singkat, hampir dua tahun Kapten Philips Mark Martheins setelah melewati negosiasi yang sangat panjang dan rumit.
Baca Juga:Penyimpangan Hukum yang Terjadi pada Masyarakat Adat di Papua
Jika kita lihat proses negosiasi ini tidak berhasil hingga di hadirkannya pihak yang memediasi kedua belah pihak yakni pemerintah Indonesia dan OPM. Sehingga pada bulan September tanggal 21 tahun 2024, Kapten Philips Mark Martheins berhasil dibebaskan dengan dikawal oleh Tim Satgas Damai Cartenz di kampung Yuguru.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa jika kasus penyanderaan kapten Plilip Mark Marthens dijabarkan dengan model komunikasi politik Laswell adalah sangat relevan.
Karena Model komunikasi ini merupakan model komunikasi politik yang sering digunakan untuk urusan komunikasi internasional biasanya berupa negosiasi-negosiasi kepentingan internasional.
Penulis: Priskila Afrida Boby
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
Aktif juga di Ikatan Mahasiswa Cendrawasih (IMACE)
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News